Kana mematut dirinya di cermin.
Tubuhnya kini sudah terbalut oleh kain yang masih terasa kaku.
Namanya sudah terjahit rapi di atas saku.
Asing rasanya kembali memakai seragam."Naa... Ayo sarapan!"
Arga mengetuk pintu kamarnya, menyuruh adiknya itu untuk segera bergabung di meja makan.
"Iya, Kak. Bentar."
Kana mengenakan gelang birunya dan menyisir kembali rambutnya. Ia paksakan senyum di wajahnya, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Bohong, jika ia tak gugup.
Tangannya meraih ransel yang sudah disiapkannya semalam. Ia membuka pintu kamarnya dan mendapati sang kakak yang ternyata masih menunggunya.
"Kok nungguin aku, sih. Duluan aja kali—Loh, ini Kakak mau kemana?"
Arga sudah rapi dengan kaos biru tua dan celana hitamnya. Padahal ia paling anti mandi pagi jika tak ada acara.
"Kakak kan mau nganter kamu, Na."
Arga mengambil alih tas yang Kana tadi genggam dan merangkul bahu adiknya.
"Tapi kan aku udah dianter sama Mamah."
"Iyaa, tapi Kakak yang nyupirin. Kakak kan juga harus tau kamu sekolah dimana. Nanti kalau mau di anter jemput kan gampang."
"Ish, aku kan udah bilang mau pulang pergi naik bus kalau udah tau jalan."
"Iyaa, Kakak gak lupa. Tapi kan sekarang kamu belum tau, jadi Kakak yang anter jemput dulu. Udah, gak usah protes."
Kana mencebik sebal, tapi ia menurut saja. Lagi pula memang benar, ia Masih belum hafal rute sekolah ke rumahnya. Bisa-bisa, ia yang tersesat Dan semakin menyusahkan.
Elian sudah menawari Kana untuk dicarikan supir. Mereka memiliki satu mobil lagi yang memang biasanya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Belinda sudah mulai sibuk mencari ruko untuk butiknya, jadi ia tak bisa lagi leluasa mengantar dan menjemput Kana. Dan tentu saja, Arga yang kini akan segera memiliki pekerjaan tetap tak bisa lagi melakukannya.
Kana menolak tawaran Ayahnya itu.
Ia memilih untuk menaiki angkutan umum saja sebagai tumpangannya.
Ia sudah tak ingin merepotkan keluarganya lagi. Ia ingin mencoba semandiri mungkin.Elian, Belinda, Dan Arga sangat tak setuju dengan permintaan Kana pada awalnya. Mereka takut jika ada hal buruk yang menantinya diluar sana. Karena pada akhirnya, ini kota orang. Mereka belum paham seluk beluknya kejahatan yang harus diwaspadai.
Tapi setelah dirundingkan kembali, mungkin ini saat yang tepat untuk memberi Kana kepercayaan untuk mempercayai dirinya sendiri.
Mereka tak ingin menjaganya dan berakhir menjadi mengekangnya.Arga dan Kana akhirnya sampai di meja makan, Elian dan Belinda sudah menantinya sedari tadi.
Ada rasa sakit di pelupuk mata mereka saat si bungsu terlihat kembali mengenakan seragam sekolah.
Tentu saja mereka senang.
Tetapi seperti ada bagian dari kehidupan Kana yang terlewatkan.
Seolah-olah ada yang salah.Kana seharusnya masih memakai celana biru tua, bukan abu-abu.
"Nih, Mamah udah siapin sarapannya.
Terus ini bekel kamu buat istirahat."Belinda menyodorkan roti lapis yang biasa ia makan untuk sarapan, Dan sekotak nasi bento yang sudah dihias semenarik mungkin.
"Aaaa, makasii Mamah!"
Kana menerima pemberian dari Belinda sepenuh hati, lalu melahap roti lapis berisi cream dan strawberry dengan lahap.
Sejujurnya, ia sedang menutupi rasa cemasnya saat ini.
"Semua perlengkapannya udah disiapin kan, Na?"
Pertanyaan Belinda dibalas anggukan oleh Kana.
"Semangat ya, Na sekolahnya. Jangan lupa makan bekel dari Mamah, kalau masih belum kenyang jajan aja di kantin, kalau Kak Arga telat jemputnya langsung pesen taxi online aja, kalau taxi onlinenya keliatan mencurigakan langsung telepon Ayah.
Oh iya, inget ini, kalau ada murid atau guru yang macem-macem sama kamu, langsung lapor sama Ayah, ya!"Ayah dan sifat overprotectivenya.
Kana tersenyum geli dan melakukan pose hormat sebagai tanda mengerti.Lihat, bukan? Ia memiliki keluarga yang selalu siap siaga menjaganya.
Jika dunia di luar sana masih tak seperti bayangannya.
Ia selalu memiliki tempat untuk pulang.Setelah menyelesaikan sarapannya, mereka berempat bergegas keluar dari rumah.
Kana memberikan salam kepada Elian, dan Elian memberikan kecupan di kening anaknya sebagai penyemangat. Ayahnya itu memasuki mobil pribadinya dan segera berangkat bekerja.
Sementara sisa keluarga yang lain menaiki mobil pribadi Belinda.Arga duduk di bangku pengemudi, diikuti oleh Kana dan Belinda yang duduk di bangku penumpang belakang.
Kana meremat ujung pakaiannya, sembari memandangi pemandangan dari jendela mobil.
Orang-orang diluar sana sudah bergegas untuk pergi ke destinasi mereka masing-masing.
Suara klakson dari berbagai arah dan pedagang menjajakan dagangan mereka menjadi musik di pagi hari.Untuk hari ini, Kana tak diminta untuk berada di sekolah pukul tujuh seperti biasanya. Katanya akan ada penyambutan murid baru terlebih dahulu dan apel pagi untuk kelas 11—yang bisa dibilang adalah angkatannya.
Tapi dikarenakan Kana murid baru di kelas dua, ia tak diwajibkan untuk ikut. Itu yang Mira informasikan kepada Belinda—teman sekolahnya saat SMA dulu.
Pemandangan gedung-gedung besar mulai memudar dan berganti menjadi toko-toko kecil.
Tak lama setelah itu, sebuah gerbang terpampang jelas dengan papan nama diatasnya."SMA KENANGA"
Kana menghela nafasnya.
Belinda mengusap punggung tangan anaknya dan tersenyum menenangkan. Kana mengatur nafasnya terlebih dahulu dan turun dari mobil.
"Na, nanti dijemputnya mau pake mobil atau motor Kak Arga?"
Tanpa diduga, Arga ikut turun dari mobil.
"Motor aja Kak, biar sambil ngapalin jalan."
Arga mengangguk paham dan menatap adiknya itu baik-baik.
Tak lama, Arga merengkuh Kana ke dalam pelukannya dan menciumi rambut Kana."You can do this!"
Bisiknya tepat di telinga Kana.Kana tersenyum hangat dan membalas pelukan kakaknya.
"I know. Don't worry!"
Kana melerai pelukan mereka Dan menepuk pundak Arga.
Belinda menggandeng Kana hendak memasuki wilayah sekolah, ia menyempatkan dahulu untuk melambaikan tangan kepada Arga.
Saat pandangan Kana sudah lurus ke dapan sana, ia melihat sosok perempuan di depan gerbang. Mira sudah menanti kehadiran kedua sosok yang tengah berjalan kearahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...