tiga tujuh

52 5 0
                                    

Bara menyesap sepuntung rokok dan membuang asapnya ke langit malam.
Memadukan kelabu kota Jakarta yang penuh dengan riangnya knalpot dan cahaya kekuningan motor.

Ia tengah membeli sebungkus nasi goreng dari pedagang keliling di pinggir jalan. Antriannya cukup panjang, maka dari itu ia memutuskan untuk menunggu pesanannya selesai sembari menikmati nikotin dari atas jok.

Malam minggu. Seluruh penghuni kota ini berhamburan untuk merasakan sedikit kebebasan dari penatnya tanggung jawab. Ada yang pergi berjalan-jalan dengan pujaan hati, ada pula yang terlarut bersama sahabat sejati.

Bara dalam perjalanan pulang dari base camp setelah berkumpul dan mengobrol bersama teman-temannya. Kegiatan yang memang biasa mereka lakukan saat senggang. Terutama di hari libur.

Tentu saja, berbagai macam pertanyaan sudah mereka utarakan kepada Bara mengenai hari kemarin. 'Dia siapa? Dia kenapa?'.

Bara menggesek ujung rokok itu ke permukaan aspal sampai si api benar-benar padam, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Kira-kira, Kana sedang apa ya sekarang?

Setelah Lintang dan kawan-kawannya datang untuk melihat keadaan Kana, ia masih enggan untuk hengkang dari UKS.
Bara mengamati terlebih dahulu kondisinya, setelah Kana mulai kembali berbicara, saat itulah Bara benar-benar pergi dari ruangan itu.

Ada rasa khawatir dalam benaknya.
Asumsi-asumsi yang sudah ia coba untuk enyahkan.

Bara menyaksikan bagaimana Kana menjadi rapuh dalam seketika.

Setelah mendengar semua temannya ribut untuk berganti pakaian, ia memaksakan tubuhnya untuk bangun dan menghapus rasa kantuknya.

Ia sudah memakai celana pendek olahraga dari rumah dan menimpanya dengan celana abu-abu, agar tak ribet. Jadi ia hanya tinggal melepaskan celananya dan mengganti seragamnya saja.

Murid laki-laki di kelas ini pun kebanyakan melakukan hal yang sama. Tetapi ada beberapa dari mereka yang benar-benar mengganti seluruh pakaiannya, membuat mereka harus bertelanjang dan memperlihatkan celana dalamnya. Bara hanya bisa menghela nafas melihat perilaku mereka.

Saat pakaian olahraga sudah terpasang, Bara melipat seragamnya asal-asalan dan memasukkannya kedalam ransel.

Dengan sedikit ragu, ia melirik sosok di ujung sana yang juga sedang sibuk merapikan buku-bukunya. Tangan ramping itu meraih seragamnya di atas meja. Ia sepertinya hendak pergi ke kamar kecil untuk berganti pakaian.

Tapi dalam satu detik, raut polos di wajah itu memudar dan digantikan oleh berbagai macam ekspresi yang tak bisa diartikan.

Matanya menelisik kesana dan kemari, seperti tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bara mengikuti arah pandang Kana. Hanya murid-murid lain yang sedang melepaskan pakaian mereka dengan sangat berisik. Apa yang begitu aneh—Tunggu, mengapa Kana terlihat sangat ketakutan sekarang?

Tubuhnya yang semula terbujur kaku, mulai menggigil seiring berjalannya waktu.

Kini giliran Bara yang mematung, bingung dan terkejut bercampur menjadi satu. Ada yang tidak benar, Bara tak bisa diam saja.

Rasa cemasnya sudah tak terbendung, ia memberanikan diri untuk berjalan menghampiri Kana dan bertanya apa yang sedang terjadi dengannya.

Dentingan jam serasa berhenti untuk sejenak saat Bara melihat wajah Kana dari dekat. Kulitnya yang memerah dan bibirnya yang memucat. Terutama mata itu, mata yang biasanya memancarkan kehangatan, kini dingin dan penuh oleh sesak.

Bara seperti dihantam oleh beton melihat wajah pilu itu. Entah mengapa, dadanya terasa sangat perih.

Tanpa banyak basa-basi, ia membawa Kana keluar dari sana.

Bara sempat berpikir jika Kana hanya sedang tak enak badan. Tapi setelah ia resapi dan pahami dua hari ini.
Ada alasan lain yang lebih rumit dan dalam. Sesuatu yang mungkin Kana sendiri tak bisa jelaskan.

Apa ada hubungannya dengan murid-murid lain yang saat itu berganti pakaian di hadapannya?

"Mas baju hitam! Pesanannya sudah jadi!"

Bara menoleh dan mendapati pedagang itu yang tengah menyodorkan makan malamnya.
Ia berjalan sembari mengeluarkan dompet. Ia berikan beberapa lembar uang kepada pria berumur 50 tahunan itu. Sebungkus nasi goreng sudah berada di genggaman tangannya, siap untuk dibawa pulang.

Bara menyalakan mesin motor, ia kenakan helm hitamnya dan segera kembali beradu dengan laju jalanan.

Pikirannya masih melayang-layang di udara. Banyak hal yang berhamburan di dalam kepalanya.

Ia ingin segera hari senin tiba.
Bukan karena Bara merindukan sekolah, ia hanya ingin melihat keadaan Kana. Apakah ia sudah baik-baik saja sekarang? Semoga apa pun yang dialaminya kemarin, keluarganya bisa menanganinya dengan baik. Mereka terlihat seperti orang-orang yang terbuka dan paham mengenai hal sensitif.

Seribu doa Bara panjatkan untuk kebaikkan Kana.

Saat pandangannya sibuk melihat ke arah depan. Seseorang di belakang sana mulai menambah kecepatan kendaraannya.

Bara sudah memasuki kawasan yang cukup sepi. Hanya ada segilintir orang yang berlalu lalang. Rumah-rumah disekitarnya pun sudah memadamkan penerangan, menandakan sang pemilik sedang terlelap.

Karena itulah, Bara kini menyadari ada cahaya dari motor lain di belakangnya. Ia melirik ke arah spion, mencoba mencuri pandang kepada siapa sosok itu.

Perasaannya mengganjal, ia seperti mengenali kendaraan itu. Dengan cermat, Bara mencoba membelokkan motornya menuju jalan lain. Dan benar saja, ternyata mereka sedang mengikutinya.

Bara berdecih kecil, pasti kelakuan Satria dan kawan-kawannya itu lagi.

Bara masih memasuki jalan-jalan asal untuk mengelabui si penguntit, tanpa orang-orang itu sadari selama ini Bara hanya berputar-putar di tempat yang sama.

Sampai setelah kendaraan itu tertinggal di belakang sana, Bara menancapkan gasnya dan melajukan motornya sepecat mungkin.

Kedua orang yang memang sengaja memata-matai Bara, terkesiap karena sang sasaran telah menyadari aksi mereka. Dengan gelapan si pengendara berusaha mengejar jejak Bara, mengikuti perintah orang yang tengah digoncengnya.

Rumah Bara sudah tak jauh lagi, ia sudah berada di pepohonan menuju gerbang utama komplek Estherial.

Tetapi saat rasa lega sudah melingkupi dadanya, seekor kucing tiba-tiba muncul di tengah jalan begitu saja.

Bara tersentak dan membanting stang, hingga kini tubuh dan motornya sudah mendarat di atas aspal. Bara merasakan sakit saat kakinya bergesekkan langsung dengan permukaan kasar itu, ditambah motornya yang kini menimpa setengah dari tubuhnya.
Nasi goreng yang tadi terbungkus rapi pun, kini sudah berhamburan di atas tanah.

Bara berusaha untuk mengacuhkan rasa sakitnya terlebih dahulu dan segera mengangkat motor itu. Tangannya mencoba menyalakan mesin yang sempat padam, tapi dengungan tak kunjung terdengar.

Sial, motornya rusak di saat darurat seperti ini.

Tanpa berpikir panjang, Bara mengangkat motornya dan menyimpannya ke dalam semak-semak. Cahaya penerangan di kawasan ini tak begitu benderang, ia yakin orang-orang itu tak akan menyadarinya.

"Bara..."

Otot tubuhnya serasa menegang dalam seketika saat seseorang memanggil namanya. Ia membalikkan tubuhnya ke belakang untuk melihat pemilik dari suara halus yang tak asing baginya.

Bukan.
Bukan salah satu anggota Streets Snake seperti dugaanya.

Tetapi Kana.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang