dua sembilan

59 3 0
                                    

"Lo gak apa-apa, kan?"

Bara mengamati keadaan Lisa dari ujung rambut sampai ujung kakinya.

Ia tengah membeli beberapa buku kosong di salah satu toko pinggiran jalan raya. Bara baru menyadari persediaan buku di rumahnya sudah habis. Ia telah menyelesaikan pembayaran dan hendak berjalan menuju motornya yang terparkir. Sampai matanya menangkap sesosok yang hampir saja terjun bebas ke atas aspal.

Lisa masih membisu. Ia tak menyangka lelaki yang baru saja mampir ke dalam khayalannya, menampakkan wujudnya saat ini.

Ditambah, sekarang Lisa berada di dalam rengkuhan Bara.

Bara yang menyadari posisi mereka, segera melepaskan kontak kulit itu.

"Maaf, gue refleks."

Bara berdehem sembari menggaruk tengkuknya canggung. Mencoba memberi perempuan ini waktu untuk mengumpulkan nyawa. Sepertinya ia masih syok.

Tapi sang empu masih tetap saja terdiam, membuat Bara semakin khawatir jika memang ia terluka atau semacamnya.

"Hei!.."

Bara melambaikan tangan dan menjentikkan jarinya di depan wajah Lisa.

"E-eh.."

Lisa menggelengkan kepalanya dan mengerjapkan mata. Entahlah ia sudah berapa lama menatap Bara lamat-lamat. Mungkin saja ia terlihat seperti orang yang kesambet barusan. Akh, Lisa malu sekali.

"G-gue gak apa-apa, makasih banget udah nolongin gue. Gue yang salah gak merhatiin jalan. Maaf udah repotin lo!"

Lisa sedikit menundukkan kepalanya saat ia merasa wajahnya semakin memanas. Tetapi matanya menangkap seragam Bara yang kini sudah sangat basah dan berwarna keunguan karena ulahnya.
Duh, dasar Lisa tukang menyusahkan!

"Yaudah, gue pergi duluan ya."

Ketika Bara sudah yakin gadis ini baik-baik saja, ia hendak berbalik dan segera pulang ke rumah.

"Eh, tunggu!"

Lisa menahan lengan Bara agar sosok yang lebih besar itu tak pergi.
Bara membalikkan kembali tubuhnya dengan kerutan di dahi.

"Baju lo basah..."

Bara menunduk melihat seragamnya yang sudah tak berbentuk. Ia juga baru sadar pakainnya basah kuyup oleh mimuman manis itu. Pantas saja, tiba-tiba perutnya terasa sejuk.

"Oh, yaudah gak apa-apa. Gue bawa jaket, kok."

Sebuah ide terbesit di kepala Lisa, tetapi ia sedikit ragu untuk mengungkapkannya. Tapi ya sudahlah, ini dia yang salah. Dia harus bertanggung jawab.

"K-kalo gitu gue cuciin y-ya?"

Bibir Lisa tak bisa diajak kompromi. Gerak-geriknya sangat memperlihatkan jika saat ini ia tengah gugup.

"Udah gak usah. Gue gak apa-apa, kok."

Bara menolak selembut mungkin, takut-takut perempuan ini malah merasa bersalah untuk sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.

Bara tahu perempuan ini adalah salah satu murid SMA Kenanga, ia pernah beberapa kali melihatnya bersama Jejes—pacar Asep. Tapi kini Bara perhatikan, ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat yang berbeda, mungkin perasaannya saja.

Bara sedikit melirik nama yang terjahit di seragam perempuan itu untuk memastikan.

'Alisa Mariana'

"Kita murid satu sekolah, kok. Lo di rumah ada seragam yang lain, gak? Kalau ada, gue balikin seragam lo besok. Tapi kalau enggak, gue anter nanti sore."

Tentu. Pikiran dan tubuh Lisa sedang tidak sinkron sekarang. Ia bisa saja berkata maaf untuk yang kedua kali dan berterimakasih atas pertolongan Bara dan segera pulang ke rumah. Mengetahui Bara yang terlihat tak masalah atas kekotoran yang ia buat, seharusnya Lisa merasa lega.

Tapi entah mengapa, ia kian membujuk Bara agar bisa membalas hutang budinya.

Bara menggaruk alisnya sebentar, bingung harus merespon apa.

"Gue ada seragam di rumah, bisa gue ganti buat besok. Lo gak usah repot-repot, tapi makasih atas tawarannya."

Lisa mengulum bibirnya, sepertinya keputusan Bara sudah final.
Ada sedikit rasa kecewa di hatinya.

"Gue gak ada niatan aneh-aneh, kok. Kalo kaya gini, gue jadi ngerasa gak enak. Setidaknya, biarin gue ngebales kebaikan lo untuk kali ini, ya? Lo udah sering bantuin gue."

Bara tertegun saat mendengar kalimat terakhir Lisa. Sering membantunya? Kapan? Maksudnya apa?

Bara berpikir untuk sejenak. Ia menyingkirkan kalimat terakhir yang Lisa lontarkan, mungkin salah bicara atau semacamnya.
Yang tengah ia pertimbangkan kali ini yaitu apakah ia harus menerima permintaan Lisa.
Ia tak ingin menyinggung perempuan dengan rambut panjang ini, jika ia terus menolak.

Lagi pula, Lisa bukan orang yang begitu asing, ia temannya Jejes dan mereka satu sekolah.
Tak ada salahnya, memberikan Lisa kepercayaan.

Bara menghela nafasnya pasrah,
"Yaudah, kalo gitu gue ke toilet umum dulu di sana, lo tunggu aja di bangku itu."

Lisa mengikuti arah tunjuk jari Bara, ada toilet umum tak begitu jauh dari toko buku yang tadi Bara kunjungi.
Ada bangku besi kecil juga di depannya.

Lisa mengangguk sembari tersenyum tipis.

Saat sudah merasa jelas memberi instruksi, Bara berjalan menuju tempat tujuan diikuti oleh Lisa yang ikut mengekor.

Bara mengeluarkan jaket kulit hitam dari dalam ranselnya dan hendak memasuki salah satu bilik itu, sampai Lisa menahannya kembali,

"Eh, tasnya gue aja yang pegang. Takut lo malah ribet."

Lisa menganggukkan kepalanya berusaha meyakinkan, Bara yang sudah merasa permukaan kulitnya lengket pun tak lagi ingin mengulur waktu.

"Yaudah, nih."

Bara menyerahkan ransel hitamnya kepada Lisa dan berlalu begitu saja.

Lisa mendaratkan pantatnya ke atas bangku besi itu dan mengeratkan jemarinya kepada ransel Bara.
Tak lucu, jika tiba-tiba ada jambret atau semacamnya. Bukannya berbalas budi, ia malah kembali berhutang kepadanya.

Mata Lisa menelisik ransel hitam yang berada di atas pangkuannya.
Tak ada yang spesial atau menarik.
Tapi justru sesuatu tentang ransel ini membuat Lisa tak bisa berhenti memperhatikannya.

Ada perasaan tak asing saat melihatnya.

Tunggu.

Apa ini masih tas yang Bara kenakan semenjak SMP? Serius, ia tak pernah menggantinya?

Sebuah memori terhubung dan terputar begitu saja dalam kepalanya dengan hitungan mundur.

Kenangan kedua, Bara menyelamatkan Lisa.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang