delapan

125 9 0
                                    

Bara memarkirkan motornya di depan sebuah warung kopi. Para manusia yang tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing mengalihkan perhatiannya dan menyambut kedatangan mereka berdua.

"Bar! Sini main kartu!"
Wildan melambaikan tangannya dan mengajaknya untuk bergabung.

Terlihat anggota Blue Raven yang kini sedang berkumpul ada 12 orang— hanya setengah dari jumlah asli mereka. Beberapa dari mereka sedang bermain kartu dan sebagiannya lagi sedang mengobrol ria entah tentang apa.

Sebelum Bara menghampiri mereka, ia menghampiri Pak Slamet terlebih dahulu untuk memesan kopi.
Komunitas mereka memang sudah menjadikan tempat ini sebagai salah satu basecamp. Masih banyak yang lainnya, hanya saja inilah spot favorite mereka untuk berkumpul.

Setelah jadi, ia membawa dua gelas kopi itu untuk bergabung dengan Wildan dan yang lainnya.
Satu gelasnya lagi untuk Nanang, tak perlu diperintahkan pun ia cukup peka untuk memesannya.

"Gimana boss, nguli aman?"

"Ya gitu lah,"
Nanang menyeruput kopinya dengan hati-hati karena masih panas. Tangannya tanpa enggan meraih kripik singkong yang entah milik siapa, lalu memakannya.

Bara mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Ia raih pemantik yang tersimpan di atas meja, lalu menyalakannya.

"Yok, Bar. Lu mau join?"

Padli menawarkan Bara untuk ikut bermain remi dan berniat untuk mengulanginya dari awal.

"Gak deh, lu pada aja. Lagi males."

Bara mengeluarkan asap dari mulutnya dan menyeruput kopi hitam miliknya.

"Lu mah, males mulu."

Bara mendelik kepada Asep lalu berkata,

"Gimana Jejes? Lo udah minta maaf?"

Sikap Asep menjadi berubah saat mendengar nama kekasihnya disebut.

"B-belom. Gue gak berani."

Bara mendecih pelan mendengar jawabannya.

"Gak berani minta maaf, tapi berani selingkuh."

Bara menggaruk bibirnya sebelum kembali meneguk kopinya.
Sementara Asep di bangkunya sudah ketar-ketir sendiri.

"Gue tanya sekali lagi. Lu sayangnya sama Jejes atau cewek yang satunya?"

Asep menundukkan kepalanya, tak berani menatap Bara yang kini memasang wajah sangar.

"Gue s-sayang Jejes. Waktu itu sama Sinta cuman iseng-iseng aja."

Asep bercicit kecil yang masih bisa didengar oleh Bara.
Sementara yang mendengarnya hanya bisa menghembuskan nafas gundah.

"Minta maaf sama Sinta dan akhirin hubungan kalian sebaik mungkin. Jangan sakitin dia, dia juga korban dari keegoisan lo. Sehabis itu minta maaf sama Jejes. Jelasin semuanya.
Sukur-sukur kalau dia masih mau nerima lo."

Bara memijat pelipisnya sejenak.

"Kalau sampe lo kaya gitu lagi sama perempuan, out lo dari sini."

Asep yang sedang diceramahi hanya pasrah sembari mengangguk lemah. Ucapan Bara tak ada yang salah, ini semua memang salahnya.

Nanang, Padli, dan juga Wildan berusaha menahan tawa mereka saat melihat Bara mengancam Asep habis-habisan.

"Awww... Serem amat bang."

Padli terkikik geli dengan tangan yang masih sibuk memainkan kartunya.

"Ya harus gitu lah, Pad. Bara kan emang dokter cinta, yageya?"

Wildan menekan pipi Bara yang dihadiahi tepisan keras.

"Dokter cinta tapi jomblo."

Bara menatap Nanang tajam saat mendengar anggota tertua di klub ini malah menjadi ikut-ikutan.

"Iya Bar, cari lah cewek. Yang suka lu segaban gitu, masih aja lu cuekin."

"Bener, sayang tuh muka kalau cuman dipake buat nguli. Gue yakin kok, siapapun yang jadi pacar lu bakal bahagia sejahtera sentosa."

"Berisik lu pada."

Jengah mendengar ucapan teman-temannya, Bara memutuskan untuk hengkang dari sana.
Ia meminjam gitar milik Ruben dan berjalan menuju kursi kecil yang berada di bawah pohon.

Bara membetulkan senar gitarnya terlebih dahulu, mencoba untuk menemukan kunci yang tepat.
Ia genjrengkan alat musik itu dan bersenandung tak jelas.

Setiap kali ia membutuhkan pengalihan, ia selalu memainkan gitarnya dan bernyanyi.
Walaupun memiliki suara yang merdu untuk didengar, Bara tak pernah benar-benar mencoba menunjukkan bakatnya kepada siapapun.
Ia lebih suka memendamnya sendiri.

"I could make you happy, make your dreams come true~"

"Nothing that i wouldn't do~"

"Go to the ends of the earth for you~"

"To make you feel my love."

Apakah Bara pernah jatuh cinta?
Pertanyaan yang cukup rumit.

Bara pernah dua kali memiliki hubungan dengan seseorang.

Tika, ia mengencani gadis itu saat masih berada di kelas 2 SMP.
Tentu, Bara menyukainya.
Menurut Bara, Tika itu cantik.
Tapi pada akhirnya, Bara rasa perasaanya kepada Tika tak menambah sedikitpun.
Hanya sebuah kekaguman, namun bukan cinta.
Bara pun mencoba untuk mengakhiri hubungan itu secara baik-baik.
Tapi hasilnya nihil, Tika sangatlah kecewa dan tak menerima perpisahan mereka baik-baik.
Bara masih merasa tak enak hati setiap ia mengingatnya.

Mala, ia mengencani gadis itu saat masih berada di kelas 3 SMP.
Mala menyukai Bara secara terang-terangan. Tapi melainkan bertingkah seperti penggemar yang aneh, justru ia selalu membantu Bara setiap saat.
Secara perlahan, Bara pun mencoba membuka hatinya.
Menurut Bara, Mala itu manis.
Ia memakai kacamata bulat dan kucir kuda setiap harinya.
Tetapi, perasaanya kepada Mala tak berkembang juga.
Ia hanya mengagumi sosok itu.
Bara pun untuk yang kedua kalinya mencoba untuk mengakhiri hubungannya.
Beruntungnya, Mala mengerti.
Setidaknya, itu yang ia tunjukkan.

Sekian dari banyaknya perempuan yang pernah ia kagumi.
Hanya ada satu yang ia cintai.
Ibunya.
Rambut panjang hitamnya yang ia sisir setiap pagi.
Lesung pipinya setiap ia tersenyum berseri.
Wangi kulitnya yang akan selalu Bara ingat sampai mati.

Terutama, bagaimana caranya mencintai.

Tak akan ada yang seindah ibunya.
Dan tak akan yang bisa menggantikannya.

'PRANG!!'

Lamunan Bara buyar dalam sedetik saat ia mendengar sebuah kaca pecah menjadi berkeping-keping.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang