tiga sembilan

78 8 0
                                    

Bara dan Kana masih setia berbagi tatap. Lebih tepatnya, mereka masih terkesiap. Belum percaya pasti, jika penglihatan mereka sedang mengelabui diri atau tidak.

Kedua belah pihak itu kini hendak memaksakan bibir untuk membuka suara, menanyakan satu sama lain apa yang sedang mereka lakukan disini. Tetapi secercah cahaya dan deruan mesin motor, membuat yang lebih tinggi kelabakan dan tersadar dengan ancaman.

Bara secara spontan menarik Kana bersembunyi ke balik semak-semak.

Ini sudah bahaya, antek-antek Satria sudah berani untuk menghampiri kawasan rumahnya. Inilah alasan dia tadi melarikan diri, ia tak ingin mereka sampai tahu alamatnya. Mereka tentu akan mencari ribut dan melibatkan orang-orang tak bersalah disekitarnya.

Terutama kali ini ada Kana, mereka kemungkinan tak akan segan untuk menyakitinya. Tidak, Bara tak ingin itu terjadi.

Kana masih belum bisa mencerna apapun yang sedang terjadi saat ini, banyak sekali pertanyaan yang ingin ia teriakan, tapi suasana mendadak menjadi mencekam.
Melihat raut wajah Bara yang serius, ia tak berani untuk mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya bisa menurut untuk saat ini.

Cahaya kecil dan deruan samar kini semakin membesar dan terdengar jelas, menandakan bahwa mereka sudah semakin mendekat.

Bara merengkuh tubuh Kana, berusaha menyembunyikan sosok itu dari pandangan sang musuh.

Kana yang mendapat perlakuan itu sedikit tersentak, ia semakin dibuat termangu oleh aksi tak terduga dari Bara.

Kana bahkan sekarang bisa merasakan hembusan nafas Bara di sekitar perpotongan lehernya. Membuat bulu kuduknya meremang dan jantungnya berdegup tak karuan.

"Lo yakin, si anjing itu lewat sini?"

"Coba lo liat tuh! Ada nasi di jalan, itu kan yang dia beli tadi? Pasti makanan tuh orang jatoh pas kita kejar. Gue yakin rumah sialan itu disekitar sini, kita laporan dulu aja sama Satria!"

"Yaudah, kita balik lagi ke camp."

Percakapan kedua orang itu akhirnya berakhir dengan cepat disertai suara kepergian dari mesin otomotif.

Bara menggeretakkan giginya.
Para bajingan itu sudah keterlaluan sekarang, ia sudah menahan diri untuk tak memulai pertikaian terlebih dahulu. Tapi jika memang jalannya harus seperti ini, maka baiklah. Bara akan memberi mereka pelajaran.

Bara masih setia pada posisinya untuk beberapa menit, untuk memastikan mereka sudah benar-benar enyah dan tak akan berbalik arah lagi.

Melupakan sosok yang sedari tadi membeku dalam dekapannya.

"B-Bar..."

Tubuh Bara serasa tersengat aliran listrik yang begitu kuat saat ia mengingat ada sosok lain di sana.
Dengan perlahan, ia menunduk dan mencari kedua manik mata itu dalam gulitanya malam.

Kedua pasang netra itu saling beradu.
Darah Bara berdesir hebat, terpompa ke seluruh tubuhnya dengan sangat cepat.
Tak ada celah sedikitpun di antara mereka. Bara bahkan bisa mencium aroma lavender dari pakaiannya.
Wajah Kana begitu dekat dengan miliknya.
Ia serasa tersihir sehingga tak sanggup untuk melihat ke arah lain.

Sampai saraf perasanya kembali bekerja dan ia baru menyadari pergelangan tangannya yang tengah melingkar di tubuh Kana.

Matanya terbelalak, dengan secepat kilat ia melepaskan pelukannya dari Kana dan terbanting mundur.

"G-gue gak s-sengaja, m-maaf Na, g-gue bener-bener reflek t-tadi. G-gue gak ada m-maksud yang a-aneh sa-sama sekali. T-tadi, ada orang, ad-ada orang ya—"

"Bara, nafas!"

Kana tanpa sadar kembali mendekatkan tubuh mereka dan mengusap pundak Bara saat menyadari sosok itu berbicara tanpa menghirup udara.

Bara mendengarkan ucapan Kana dan melakukan perintahnya dengan patuh. Ia tak mengerti mengapa rasa takutnya malah muncul di saat ia tak sengaja menyentuh Kana, dan tidak saat ia sedang dikejar-kejar oleh orang yang menganggapnya musuh.
Hanya saja, Bara tak ingin hal seperti hari kemarin terjadi lagi kepada Kana.

Kana memandangi Bara yang sedang meraup oksigen dengan penuh ketelitian. Ia tentu saja masih terkejut dengan aksi spontanitas Bara, tapi kini ada hal lain yang mengambil alih pikirannya.

Siapa orang-orang itu?
Mendengar percakapan singkat dari mereka, ia bisa menilai jika mereka bukan hanya begal atau preman biasa. Mereka seperti sedang mengincar Bara. Apa mereka adalah salah satu dari musuh Bara, seperti cerita-cerita yang sebelumnya ia dengar?

Setelah merasa organ dalamnya berfungsi lebih baik, Bara kembali berusaha untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun tak semuanya.

"Maaf, gue gak sengaja megang-megang lo kaya tadi. Tadi ada orang jahat, gue gak mau lo sampe keliatan sama mereka. Maaf ya, harusnya gue gak lakuin itu."

Tatapan Kana melemah.
Sudut bibirnya terangkat kecil.
Ia tersenyum simpul dan mengangguk paham.

Bara adalah laki-laki pertama yang begitu hati-hati dengan kenyamannya. Dia laki-laki pertama yang meminta izin untuk melakukan kontak kulit dengannya. Dia laki-laki pertama yang meminta maaf saat tak sengaja menyentuhnya.

Kana salah besar, Bara tak sama dengan mereka.

Mereka yang pernah melecehkannya.

"Gapapa kok, Bar. Gue ngerti."

Bara menghela nafas lega.
Ia hendak membantu Kana berdiri, tetapi saat ia menggerakkan kakinya, ringisan perih mencelos begitu saja dari bibirnya.

"E-eh.. lo kenapa? ada luka, ya?"

Kana menyalakan kembali senter ponselnya untuk melihat kaki jenjang lelaki itu lebih baik. Dan ternyata benar saja, ada beberapa tetesan merah yang mencuat dari celana jeansnya.

"Tuh, kan! Lo luka, Bar! Gue panggilin ambulan, ya!"

Kana dengan panik langsung menekan icon berhuruf G untuk mencari rumah sakit terdekat dan nomornya. Tetapi sebelum aksinya berhasil, Bara menutup layar ponsel itu.

"Udah gak usah, ini luka kecil kok. Gue udah biasa dapet luka kaya gini, gue bisa obatin di rumah."

Bara berusaha meyakinkan Kana agar tak menghubungi pihak rumah sakit. Jika Bapaknya tahu, ceritanya akan semakin panjang.

"Tapi Bar, kalo ini ternyata luka serius gimana? Jangan ambil resiko—"

"Ini cuman luka gesekan, masih sanggup buat gue handle. Gue tau kok, batasan antara gue mampu sama enggak. Percaya ya sama gue?"

Bara memberanikan diri untuk kembali menatap Kana di manik matanya. Ini satu-satunya cara agar Bara bisa meyakinkannya.

Kana menghela nafas.
Bahunya melorot pasrah.
Ia juga tak bisa memaksakan kehendaknya.

"Yaudah, kalo gitu..."

Kana mengulum bibirnya sendiri, ada ide gila yang baru saja terbesit di kepalanya.

"Di rumah lo ada siapa sekarang?"

Bara menaikkan alisnya, kenapa Kana tiba-tiba bertanya seperti itu?

"Eum, kayaknya g-gak ada siapa-siapa. Emangnya kenapa?"

Kana menggaruk wajahnya, berusaha menyembunyikan raut muka yang kentara malu dengan hal yang akan ia katakan.

"Kalo gitu gue ikut, boleh?"

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang