Bara membiarkan Kana untuk menaiki bus yang akan mereka tumpangi terlebih dahulu. Beberapa orang di belakangnya juga sedang ikut mengantri menunggu giliran.
Saat telah berada di dalam kendaraan, Kana dikejutkan oleh ramainya penumpang. Mungkin karena sudah waktunya bagi para pekerja kantoran untuk pulang, jadi berbeda bagi Bara yang tak merasa keheranan.
Mata Bara menelisik mencoba mencari tempat duduk yang masih belum diisi, setidaknya untuk Kana saja sudah cukup.
Hembusan lega ia keluarkan saat menemukan sebuah bangku kosong di ujung bus.
"Na, ayo ke sana!"
Kana mengikuti langkah kaki Bara dari samping. Lalu tangan besarnya menunjuk sebuah spot kosong yang tadi Bara sudah tandai.
"Duduk, N—"
"Eh, Nek. Ayo saya bantu."
Sebelum Bara sempat menyelesaikan kalimatnya, netra Kana menangkap seorang wanita tua yang baru saja memasuki bus itu.
Ia membawa satu ransel besar yang terlihat berat untuk ukurannya. Terlihat jelas jika wanita itu sedang kewalahan, ditambah langkahnya pun sedikit tertatih-tatih."M-makasih, Dek."
Kana membantu nenek itu untuk duduk di bangku yang tadi Bara tunjuk.
Dengan sigap pula, Bara mengambil alih ransel yang ia jinjing agar bisa membuat pemiliknya bergerak lebih leluasa."Maaf, ya Dek. Ini bangkunya buat kamu duduk, ya?"
Kana melirik Bara sejenak sebelum tersenyum ramah,
"Enggak apa-apa kok. Nenek duduk aja, kayaknya Nenek yang lebih capek."Wanita itu hanya bisa mengangguk pasrah, untuk menolak pun tubuhnya sudah tak sanggup.
"Sini Dek, biar ranselnya Nenek yang bawa lagi."
Sosok dengan pakaian sedikit lusuh itu hendak kembali mengambil alih barang bawaanya dari tangan Bara.
Karena bus yang penuh, ia terpaksa akan menyimpan benda itu dipangkuannya."Eh, sama saya dulu aja Nek. Nanti waktu Nenek udah mau turun biar saya kembaliin."
"Aduh jangan, Dek. Nenek nggak mau ngerepotin, berat soalnya—"
Bara menggeleng halus,
"Enggak apa-apa, Nek. Ini ringan kok."Wanita itu kembali mengucapkan kalimat terimakasih. Setidaknya ia bisa merehatkan tubuhnya dalam perjalanan menuju kampung halaman. Beruntung ia bertemu dengan anak-anak yang dermawan seperti mereka.
Kana melirik Bara dengan senyum di wajahnya.
Bara yang menyadari itu, ikut mengalihkan pandangannya kepada Kana."Lo gak apa-apa berdiri kaya gini?"
Tanya Bara sedikit berbisik.Kana menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, mengisyaratkan kalimat 'gak pa-pa'.
Bara menganggukkan kepalanya, ia tak masalah jika harus berdiri selama perjalanan ke rumah. Tapi ia khawatir jika Kana akan kelelahan. Ditambah, ini hari pertama bagi mereka untuk pulang sekolah selarut ini.
Baik sekali Kana, pikirnya.
Mereka berdiri berdampingan dengan satu lengan yang berpegangan kepada gantungan berwarna kuning.
"Eum, Bar. Gue baru tau lo jago main bola. Lo ikut ekskul bola, ya?"
Bara menaikkan alisnya saat mendengar ucapan Kana,
"Ah enggak jago, kok. Gue biasa-biasa aja.
Tapi iya, gue emang ikut ekskul bola."Kana sedikit membulatkan matanya, ia tak menyangka Bara benar-benar mengikuti ekstrakulikuler yang satu itu.
"Ohh pantes aja, soalnya gerakkan lo tadi kayanya keliatan lebih professional dari pada amatiran."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...