tiga belas

94 6 0
                                    

Bara sedang merapikan rambutnya yang basah. Ia usakkan rambut hitam legamnya dengan handuk yang ia barusan pakai.

Hari ini ia mendapatkan kembali panggilan untuk bekerja bersama Nanang. Lebih tepatnya, Bara yang memaksa. Ia mendengar percakapan antara Nanang dengan pemilik salah satu rumah di Komplek Estherial. Awalnya Nanang berniat untuk pergi seorang diri dan memanggil temannya yang lain. Ia tak berniat mengajak Bara, karena ia rasa bocah itu memerlukan istirahat. Tapi Bara memohon dan memberi alasan bahwa ia masih kuat jika hanya untuk mengecat rumah.

Nanang pun mau tau setuju.

Bara memandangi wajahnya di cermin. Lebam-lebam di wajahnya sudah sedikit memudar.
Hanya ada satu plester yang menutupi dahinya.
Ia mendengarkan nasihat sosok itu untuk mengobatinya.

Bara menolehkan kepalanya ke atas nakas di samping ranjang.
Kotak obat itu masih terpajang rapi
disana.
Senyuman kecil terbit di wajahnya.

Saat Bara bangun di kontrakan Nanang beberapa hari yang lalu, ia langsung menceritakan apa yang terjadi dengannya semalam.
Bara bercerita bahwa ia baru saja bertemu dengan malaikat yang memberikannya kotak P3K.
Nanang yang mendengarkan berusaha menahan gelak tawanya.
Bagaimana tidak, ia berkata malaikat itu mendatanginya di depan mini market?
Nanang menawarkan kepada Bara jika ia mau dibawa ke rumah sakit. karena sepertinya, ia yang memerlukan penanganan medis.

Setelah memiliki kesadaran penuh,
mungkin Nanang ada benarnya.
Mungkin sosok malaikat itu hanya manusia biasa yang kebetulan lewat dan merasa iba.
Tapi persetan lah, malaikat atau bukan, sosok itu telah menolongnya secara cuma-cuma.
Tak semua orang sudi melakukannya kepada Bara.

Bara mengeluarkan kaos singlet berwarna hitam dan celana selutut senada dari lemarinya. Ia kenakan setelan pilihannya dengan warna monoton itu.

Jemarinya menyemprotkan cukup banyak semprotan parfume ke permukaan kulit tan nya. Ia harus memakai benda ini setiap ia bekerja.
Bara tak mau membuat orang-orang merasa tak nyaman dengan bau keringatnya.

Setelah merasa penampilannya cukup rapi, ia berjalan keluar sembari menyakui ponselnya.
Di teras rumah, ia berjongkok dan memasang tali sepatu.
Tak mau berlama-lama, ia segera hengkang dari rumah itu.

Wahyu sedari tadi memperhatikan setiap pergerakkan anak semata wayangnya. Setelah Bara pergi, ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar.
Ia masih belum sanggup bertatap muka dengannya.
Ego tinggi dan rasa bersalah menyelimuti yang seharusnya meminta maaf.
Mereka sama sekali belum bertegur sapa setelah Bara pulang kemarin malam.

Anak dan Bapak itu sedang berada di fase kedua.
Tak mengeluarkan sepatah kata setelah bertarung bak berada di perang dunia ketiga.

Wahyu berjalan menuju lemari pendingin di dapur.
Setitik kekecewaan terukir di matanya— Bara sama sekali tak melirik kue dan makanan yang ia beli. Entah Bara tahu atau tidak apa maksud dari hidangan-hidangan itu.
Tapi sepertinya sudah terlambat juga untuk dia tahu.

Secara terpaksa, Wahyu akhirnya membawa kue-kue itu untuk dibawa kerja dan dibagikan kepada para koliganya.
Makanan itu akan menjadi basi dan terbuang jika dibiarkan.

Bara menunggu kedatangan Nanang di jalan yang biasa ia lalui untuk memasuki komplek ini.
Mereka memutuskan untuk berjalan kaki karena jaraknya yang tak jauh.
Motor Nanang sedang di bengkel, itulah mengapa ia tak membawa kendaraanya sendiri walaupun jarak dari kost dan tempat tujuan tak bisa dibilang dekat.
Bara menawarkan untuk menjemputnya, tapi Nanang menolak.
Yang ada ia hanya merepotkan Bara karena ia harus berbolak-balik arah.

Bara belum cukup berani lagi untuk pergi ke gerbang utama komplek ini.
Karena mau tak mau, ia pasti akan melewati taman yang waktu itu ia kunjungi.
Mungkin lain kali, hari ini ia sedang tak ingin bersedih.

"Bar! Yuk langsung!"

Bara mendongakkan kepalanya saat Nanang memanggilnya. Ia pun menganggukkan kepalanya dan berjalan beriringan dengan Nanang.
Mereka tak perlu membawa peralatan apapun.
Katanya yang punya rumah sudah menyiapkan peralatan yang mereka perlukan.

Proyek mereka yang saat itu, sudah rampung beberapa hari yang lalu.
Oleh karena itu, mereka bisa mengambil panggilan pekerjaan yang lain. Oleh karena itu pula, saat itu Nanang menolak permintaan Bara untuk mengajaknya. Ia ingin Bara untuk merehatkan tubuh dan pikirannya. Sudah bekerja seharian, dihantam pukulan juga malamnya.

Nanang ingin Bara untuk kembali fokus belajar. Ia akan secara resmi menginjak kelas 2 SMA. Jika tak dimulai dari sekarang, ia akan kesulitan nantinya.
Bara berjanji kepadanya, jika ini adalah tawaran pekerjaan terakhir yang akan ia ambil tahun ini.
Nanang tahu ia berbohong, paling lama mungkin dua bulan.
Tapi biarlah, setidaknya dia sudah ada kemauan.
Jadi Nanang membiarkan Bara untuk ikut dengannya.

"Rumahnya yang mana? Lo ada alamatnya?"
Bara menatap ke kanan dan ke kiri, menebak rumah mana yang akan mereka ukir ulang.

"Ada. Nih, nomor 29 katanya. Kalau gak salah rumah yang waktu itu baru kejual."
Nanang menunjukkan percakapan antara dirinya dan sang pemilik rumah. Bara hanya mengangguk paham.

Tapi, tunggu.
Rumah yang baru terjual?
Apa ini rumah yang sama dengan yang ada dipikirannya?

Bara dan Nanang terus berjalan, sampai mereka menemui sebuah rumah bergaya kuno dengan halaman yang cukup luas.

Perkiraanya tepat! Ini rumah yang waktu itu ia lihat.
Bara menatap takjub bangunan yang ada di hadapannya. Diantara semua rumah yang ada di komplek ini, sepertinya rumah ini yang terlihat paling cantik.

Di pekarangan rumah, ia melihat beberapa orang yang pernah bekerja dengan dirinya sedang melahap nasi bungkus.
Nanang yang melihat Belinda sedang menyiram tanaman, langsung berjalan menghampirinya.
Instingnya mengatakan, ialah pemilik
rumah ini.
Walaupun penampilannya terbilang simple, Belinda memiliki aura elegant yang bisa dirasakan setiap orang.

"Somewhere over the rainbow
Way up high~
Theres a land that i heard of once in a lullaby~"

Bara yang sedari tadi masih memuji penampilan rumah ini, langsung menoleh saat telinganya mendengar alunan senandung.

Seseorang sedang berjongkok memunggunginya. Ia memakai pakaian berwarna ungu muda.
Sepertinya orang itu sedang bermain dengan anjing peliharaannya.

"Somewhere over the rainbow
Skies are blue
And the dreams that you dare to dream really do come true~"

Lantunan suara merdu orang itu seakan menyihir Bara.
Ia secara tak sadar berjalan mendekati sosok itu yang masih sibuk menata tangga nadanya.
Sepertinya ini yang dirasakan para nelayan yang mati di lautan.
Mungkin suara inilah yang mereka dengar sebelum melihat sirip yang siap menenggelamkan.

Suaranya terasa seperti ombak yang tenang. Suaranya terasa seperti angin malam di pesisir pantai.
Suaranya terdengar seperti samudra.

Sosok itu kini berhenti menyanyikan kata-kata dari bibirnya.
Secara perlahan, ia membalikkan tubuhnya.

Bara mematung di tempat.

"Loh, Mas?"

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang