empat satu

55 7 0
                                    

Kana menekan pelan beberapa titik dari bagian luka Bara dengan hati-hati. Ia yang mengobatinya saja ikut meringis, apalagi si empu yang benar-benar merasakannya.

Tapi uniknya, sedari tadi Bara tak menunjukkan tanda kesakitan sedikitpun. Kuat sekali dia.

Dengan posisi seperti ini, mau tak mau tatapan Bara akan tertuju kepada Kana. Ia menyenderkan pundaknya ke tangan sofa dan menyelonjorkan kakinya di atas paha Kana. Bara merasa tak enak hati, rasanya sangat tak sopan. Tapi Kana sudah meyakinkan Bara bahwa ia tak keberatan.

Lagi dan lagi, Bara tak bisa menolak.

"Lo habis ngapain tadi disana?"

Setelah suasana dirasa lebih mendukung dan tenang, Bara akhirnya memberanikan diri untuk menjadi yang pertama memecahkan keheningan.

Kana menghentikan pergerakkan tangannya untuk sejenak, ia mengangkat kepala dan mengerjapkan netranya. Sedikit terkejut mendengar Bara yang tiba-tiba bersuara.

"Ehm, gue tadi abis dari mini market depan. Beli spidol buat tugas sekolah..."

Ia memberikan sedikit jeda sebelum kembali menyelesaikan jawabannya.

"Dan pas gue mau balik, gue denger ada suara keras banget. Gue udah ngira kalo mungkin ada orang yang jatoh dari motor. Pas gue samperin, ternyata lo orangnya..."

Sekarang Kana ingat-ingat lagi, ia dan Bara sudah sangat sering mengalami pertemuan tanpa disengaja.
Entah ini yang keberapa kalinya.

Bara mengangguk paham, ia bahkan lupa untuk mengerjakan tugas itu. besok sajalah, ia tak sanggup untuk mengerjakannya hari ini.

"Kalo lo?... Kok bisa tiba-tiba jatuh gitu?... Orang-orang tadi siapa?"

Bibir Kana ia lipat kedalam setelah membalikkan pertanyaan.

Bara termangu untuk sejenak, versi mana yang harus ia ceritakan kepada Kana?

"Tadi pas gue lagi di jalan, tiba-tiba ada orang yang ngejar-ngejar gue. Gue coba buat ngehindar dan nancep gas, tapi ternyata gue gak ati-ati. Gue liat ada kucing di tengah jalan, gue langsung banting stang dan ya... Sisanya lo tau gimana."

Ya, sebaiknya Bara tak perlu membeberkan fakta bahwa orang-orang itu adalah anggota dari komunitas yang memiliki dendam kepadanya. Kana lebih baik sebatas tahu jika mereka hanyalah preman sekitar atau semacamnya.

Sekarang giliran Kana yang mengangguk paham, walau sebenarnya ia cukup peka untuk mengetahui masih ada hal yang Bara sembunyikan.

"Lain kali usahain buat enggak pulang malem ya, Bar. Jangan sampe hal ini kejadian lagi.
Terutama, jangan sampe lo terluka lagi, oke?"

Bara dibuat mematung untuk yang kesekian kalinya. Tatapan teduh, senyuman manis, dan kata-kata hangat itu berhasil membuat bulu kuduknya merinding.

Mendengar kalimat dengan kekhawatiran yang tersirat di dalamnya, membuat dadanya terasa sedikit sesak.
Sudah lama ia tak mendengar nasihat yang begitu halus selain dari ibunya.

"Oh iya, Bar. Ayah lo kemana?"

Bara kembali terhenyak dari lamunannya.

"Dia lagi kerja di luar kota..."

Bara berdecih dalam hatinya, entahlah jika orang itu saat ini sedang bekerja atau bersama kekasihnya. Ia tak tahu dan tak mau tahu.

"Ohhh gitu... Kalo Mamah lo?"

Baru saja Bara diingatkan beberapa menit yang lalu, kini Kana benar-benar bertanya mengenai sosok yang paling dicintanya itu.

Ia menghirup udara dalam-dalam,
"Ibu gue udah berpulang, Na."

Air muka Kana berubah dalam satu detik, tangannya yang masih sibuk menekan cairan dengan kepas kepada permukaan kulit betis Bara kembali terhenti.

"M-Maaf Bar, gue gak tau..."

"Gak apa-apa, lo gak salah..."

Bara tersenyum simpul, berusaha menenangkan Kana agar tak merasa bersalah.
Tapi tetap saja, Kana tiba-tiba merasa tak enak hati karena sudah berbasa-basi mengenai hal itu. Walaupun Kana sendiri masih terkejut, ia tak menyangka bahwa ibunya Bara sudah tiada.

Kana memutuskan untuk menyelesaikan tugasnya dalam sunyi.
Ia tak ingin kembali mengungkit sosok ibu Bara, jika bukan Bara sendirilah yang terlebih dahulu memulai.

"Udah selesai, Bar. Rajin-rajin ganti ya perbannya. Kalau ngerasa sakitnya tambah parah, pergi ke rumah sakit. Jangan sampe kena infeksi karena didiemin."

"Oke, makasih ya, Na."

Bara segera menurunkan kakinya dari paha Kana, tak ingin membuat yang lebih kecil kesemutan karena sudah menopang kakinya cukup lama.

Saat Bara hendak beranjak dari sofa, tanpa ia duga perutnya mengeluarkan suara.
Kana yang mendengar itupun mengalihkan pandangannya kepada Bara dengan dahi yang berkerut.

"Loh, Bar. Lo belum makan?"

Bara merutuki dirinya sendiri, kenapa perutnya harus mengeluarkan bunyi memalukan itu sekarang?!

Sekelibat memori kembali muncul di kepala Kana. Butiran-butiran nasi yang ia lihat di jalan tadi... jangan-jangan, itu untuk makan malam Bara.

"Makanan yang tadi jatuh itu punya lo juga ya?"

Bara tak tahu harus berbuat apa, ia hanya tersenyum canggung sembari menggaruk lehernya yang tak gatal.

"Iya, itu punya gue..."

Kana menghela nafas, malang sekali nasib Bara hari ini.

"Kalo gitu, lo ada bahan makanan gak dirumah ini?"

Bara menggeleng kecil.

Kana kembali berpikir keras. Ia tak melihat ada warung yang masih buka saat tadi berjalan kesini, dan sepertinya mini market depan pun sudah tutup.

Tunggu-tunggu... Mini market...
Kana menepuk jidatnya sendiri, ia kan tadi membeli mie instant di sana!

Kana meraih tote bag yang tergeletak di atas meja dan mengeluarkan dua bungkus makanan itu.

"Gue tadi beli ini di mini market depan. Cuman mie instant sih, tapi lumayan buat ganjel perut sampe besok. Dua-duanya buat lo aja."

Bara kembali menggelengkan kepalanya, kali ini lebih ribut.

"Jangan, Na. Lo beli itu buat makan malem lo, kan? Gue gak apa-apa, kok."

"Udah deh Bar gak usah nolak, lo lagi kekurangan tenaga sekarang. Jangan sampe lo sakit karena belum makan. Atau jangan-jangan, lo gak mau nerima karena cuman mie instant doang, ya?"
Kana menundukkan kepalanya sembari menunjukkan wajah sendu yang ia buat-buat. Walaupun begitu, Bara langsung kelabakan sendiri saat melihat Kana yang kembali mengeluarkan raut sedihnya.

"E-enggak bukan gitu, ya-yaudah deh, gue ambil. Tapi cuman satu ya."

Bara segera meraih salah satu mie instant itu, sebagai pertanda bahwa ia menyetujui permintaan Kana.

Kana tersenyum kecil. Ternyata actingnya berhasil kali ini. Apalah, yang penting Bara mau makan.

"K-kalo lo udah makan?"
Bara balik bertanya kepada Kana.

Kana termenung, ia hanya sempat memakan sepotong kue red velvet untuk makan malam. Ia tak sempat memakan sesuatu yang lebih berat, karena terlalu sibuk mengerjakan tugas.

"Belum sih... Tapi tadi gue udah makan cemilan kok."

Bara memilin ujung bungkus plastik mie berwarna keunguan itu,

"Ehm, orang di rumah udah pada nungguin lo balik?"

Kana dengan sigap kembali membuka layar ponselnya setelah diingatkan, ternyata masih belum ada pesan masuk dari keluarganya.
Syukurlah, ia masih belum kena omelan kakaknya. Tapi tunggu, mengapa Bara tiba-tiba bertanya seperti itu?

"Enggak sih. Emangnya kenapa, Bar?"

Bara menelan ludahnya terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pertanyaan yang mungkin akan ia sesali setelahnya jika mendapat penolakkan.

"Lo mau makan bareng gue?"

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang