Bara mengarahkan pandangannya ke arah jalanan yang tengah ia arungi. Telinganya ia pasang dengan baik agar semua petunjuk dari Lisa dapat ia patuhi.
Kedua remaja itu telah berada di area lain dari kota Jakarta. Langit sudah semakin menggelap, pemukiman di sekitar sudah mulai menyalakan lampu halaman.
Bara ingat bahwa dirinya pernah melewati tempat ini, saat hang out bersama teman-temannya dulu. Daerah ini sedikit mengingatkannya dengan Estherial, hanya saja perbedaan yang mencolok adalah lebih padatnya pertokoan.
Jika tak salah, ada komplek yang cukup mewah di sekitar sini. Bara bertanya-tanya, apakah Lisa tinggal disana?Walaupun jam masih menunjukkan pukul setengah delapan, tetapi entah mengapa orang-orang sudah memutuskan untuk rampung lebih awal. Tak begitu banyak manusia yang berlalu lalang melewati mereka.
"Belok ke kanan ya, Bar!"
Lisa berujar dengan sedikit menaikan suaranya, antisipasi jika Bara tak bisa menangkap kalimatnya dengan benar karena angin yang berhembus kencang."Oh, oke!"
Setelah menemukan persimpangan, Bara pun mengikuti perintah yang baru saja Lisa berikan.
Tapi tanpa ia sadari, laju motornya secara perlahan mulai melambat dan melambat. Bara pada awalnya tak begitu memperhatikan, namun saat kendaraan roda duanya benar-benar terhenti, ia mulai menukikkan alisnya.
Dengan terpaksa, ia menepi dari tengah jalanan untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi."Loh, ada apa, Bar?"
Lisa merengut kebingungan saat ia menyadari bahwa mereka sudah berada di pinggir jalan dengan keadaan kendaraan yang mati.Bara memincingkan matanya, ia menggaruk pelipisnya keheranan. Tubuhnya ia tundukkan ke bagian kanan dan kiri motor, memeriksa jikalau ada bagian dari ban yang kempes atau semacamnya. Tapi kelihatannya nihil, bentuknya masih sama seperti sebelumnya.
Saat ia hendak menjawab pertanyaan Lisa, matanya tak sengaja menangkap garis panjang di dekat logo.
Dengan spontan, ia pun menepuk dahinya sendiri yang masih tertutup oleh helm. Nafas gundah ia helakan saat kebodohannya sudah ia sadari.
Tentu saja, bensinnya habis.
Sebelum berkumpul dengan teman-temannya, Bara sudah bermaksud untuk mampir ke pom bensin dan mengisi kendaraanya dengan gasoline. Tetapi setelah mengingat bahwa kegiatannya hari ini hanya duduk-duduk santai saja, ia pun mengurungkan niatnya. Ia pikir, nanti saja saat hendak pulang.
Perjalanan menuju mall dan menuju rumah Lisa sudah jelas diluar dari hitungan rencananya.
Laki-laki itu sedikit menolehkan kepalanya,
"Lisa, maaf banget, bensin gue habis."Lisa mengerjapkan matanya untuk beberapa saat, tetapi dengan cekatan ia pun menuruni motor itu tanpa banyak kata.
Pikirannya mulai menjelajah kemana-mana, apakah ini salah dirinya? Apakah jarak dari rumahnya dan mall terlalu jauh, sehingga Bara sampai kehabisan bahan bakar seperti ini?"Aduh, bensin lo habis gara-gara nganterin gue, ya? Maaf banget ya, Bar!"
Bara yang mendengar permintaan maaf tak berdasar itu, segera menggelengkan kepalanya tak setuju.
"Bukan gitu, Sa. Emang guenya yang lupa isi bensin, ini bukan salah lo, kok."Lisa menundukan kepalanya dengan bibir yang terlipat.
Malam ini terasa seperti mimpi baginya. Bisa melihat Bara dari dekat, berbincang dengan akrab, dan diantar pulang menuju rumah—semuanya terasa begitu tak nyata. Tapi kini, rasanya ia malah menjadi sebuah benalu. Pengalaman yang baru ia lalui, kemungkinan hanya menyenangkan baginya seorang.
Lisa tak benar-benar tahu, mungkin saja Bara melakukan semua ini hanya karena murni rasa terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...