"Nang!"
Sosok yang Bara panggil membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kearah yang bersaut. Bara memarkirkan motornya di depan rumah besar itu.
Terlihat jelas rumah itu sedang direnovasi. Kalau tak salah, sang pemilik ingin menambahkan satu lantai baru dan sebuah taman bermain di halaman belakang.
"Eh, Bar. Yuk masuk ke belakang, Mandornya dah nunggu."
Nanang mengajak Bara memasuki wilayah belakang rumah ini, Bara mengangguk patuh menuruti perintah.
Usia Nanang terpaut lima tahun lebih tua darinya. Mereka bertemu melalui klub motor yang bisa dibilang mereka pimpin —Blue Raven.
Karena Nanang memiliki banyak koneksi, Bara sering kali memintanya untuk dicarikan pekerjaan selingan.
Apapun akan ia jabani, memotong rumput, bekerja di pabrik, membangun rumah, semuanya akan ia lakukan.
Awalnya Nanang menolak keras permintaan Bara. Toh, walaupun ia terlihat kuat, ia masih tetap saja anak di bawah umur.
Tapi karena keinginan Bara yang sangat keras, akhirnya Nanang membantu mencarikan pekerjaan yang terbilang ringan untuk remaja seusianya kerjakan.
Dan terbukti pula, ia selalu mengerjakan semua tugasnya dengan telaten.Bapak Bara masih memberikannya uang jajan seperti seharusnya, memenuhi kebutuhan sekolahnya, dan apapun yang Bara mau jika ia meminta. Ia masih sanggup menghidupi anaknya.
Tapi justru itu yang membuat Bara tak ingin menerima uang dari Bapaknya sepeserpun.
Sebisa mungkin, ia mencoba untuk memenuhi keperluannya sendiri.
Ia tak ingin bergantung kepada manusia itu.Setelah berbicara dengan mandor yang Nanang maksud, Bara langsung melaksanakan perintahnya. Ia mengenakan sebuah rompi yang telah diberikan, tak lupa ia pula mengenakan topi kuning khas pekerja bangunan. Takut-takut sesuatu jatuh dari atas dan mengenai kepala mereka—akibatnya bisa fatal.
Bara diberikan tugas untuk mengaduk semen lalu mengantarkannya, membawa batu bata, dan membawa puing-puing sisa bangunan. Bara melakukan semuanya dengan apik.
Debu yang berterbangan dan teriknya matahari tak mengurangi semangat Bara. Sesekali ia mengelap keringat yang bercucuran di keningnya, lalu kembali mengeluarkan tenaganya tanpa banyak mengeluh.Satu-satunya hal yang menghentikan kegiatan Bara adalah teriakan mandor yang berkata 'Sudah waktunya istirahat!'.
Nanang pun mengajak Bara untuk beristirahat sejenak di depan halaman rumah itu. Para kuli yang bekerja pun ikut meneduh di sana, karena tak terlalu banyak kotoran yang berceceran."Nih."
Nanang menyodorkan sebuah kotak makan kepada Bara. Sepertinya pemilik rumah ini yang sudah menyiapkan konsumsi untuk para pekerja.
Bara pun menerimanya dengan senang hati dan menyuapkan beberapa sendok makanan itu ke mulutnya."Lu minggu depan udah masuk sekolah, kan?"
Nanang berbicara sembari melahap lauk pauknya.
Bara yang diberikan pertanyaan pun menoleh dan mengangguk."Kurang-kurangin kerja. Banyakin belajar. Lu mau hidup kaya gini terus?"
Bara menautkan kedua alisnya. Apa yang salah dengan kehidupan seperti ini? Bukankah, ini kehidupan yang Nanang sendiri tempuh?
"Emang kenapa? Gue bahagia-bahagia aja kalo hidup gue cuma nguli doang."
Nanang yang mendengar jawaban Bara secara spontan memukul kepalanya dari belakang.
"Lu gak ngerti maksud gue? Iya, gue tau kalau hidup bahagia ya bahagia aja sekalipun cuman ngamen doang. Tapi hidup lu masih panjang, Bar. Seenggaknya kalau lu emang cuman ditakdirin buat kerja serabutan, tuh otak isi pake ilmu. Biar lu gak gampang dibego-begoin sama orang."
Bara hanya menghela nafasnya pasrah mendengar penjelasan Nanang. Memang ada benarnya.
Bara masih belajar seperti seharusnya. Nilai-nilai yang ia dapatkan saat ujian cukup memuaskan bagi seseorang yang urakan sepertinya. Tapi semenjak ia menginjak bangku SMA, perhatiannya teralihkan kepada pencarian cuan.
Sehingga acara belajarnya pun mulai terganggu dan terbengkalai."Inget, Bar. Lu baru beberapa bulan jadi 17 taun. Inget, lo masih bocah ingusan. Pikiran lo harusnya isinya cuman main sama sekolah doang. Stop bertingkah seolah lo udah 25 taun."
Nanang kembali menyuapkan sisa makanannya di kotak itu, lalu meneguk es teh di tangannya sampai habis. Sementara Bara menjadi terlelap dalam nasihat Nanang.
Bagi Bara, Nanang adalah kakak laki-laki yang tak pernah ia punya.
Ia selalu menjadi panutan dan pijakan saat ia butuh. Ia belajar banyak mengenai kehidupan dari Nanang.
Ia yang bilang, orang-orang seperti mereka tak punya waktu untuk mengeluh dan meminta.
Jika bukan mereka yang berusaha setengah mati untuk bertahan hidup, tak akan ada yang mau menolong tangan kotor seperti mereka.Nanang sudah sedari kecil hidup dengan kerasnya jalanan. Seluruh badannya ditikam dan dibentuk oleh kerasnya kota Jakarta.
Bara masih harus bersyukur, ia mendapatkan kasih sayang dan kehidupan yang layak walaupun hanya sebentar.
Nanang pernah memiliki adik yang pada akhirnya berpulang karena tak terobati. Sepertinya karena itu mereka begitu dekat sampai saat ini.
Tak ada yang mengerti jiwa yang berduka, kecuali jiwa berduka yang lain.Satu hal berguna yang Bara dapatkan dari Bapaknya hanyalah ilmu mengenai bagaimana konstruksi bangunan bekerja.
Bapaknya sudah berkeja menggeluti lapangan yang serupa sedari lama.
Saat Bara masih kecil, ia sering dibawa untuk melihat-lihat proyek yang sedang ia kerjakan.
Hanya itu, tak lebih.Setelah waktu istirahat habis, Bara, Nanang, dan pekerja yang lain kembali mengerjakan tugas mereka yang terhenti. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan tekun sampai langit sudah mulai menguning.
Mandor mengisyaratkan bahwa proyek ini bisa ditinggalkan sampai sini terlebih dahulu. Semua kuli dipersilahkan untuk pulang.
Bara perkirakan rumah ini akan rampung, mungkin dua hari lagi. Beberapa sudut sudah terlihat terbentuk kembali. Jadi besok, ia akan dipanggil kembali untuk mengerjakan sisa pekerjaan yang tertinggal.
"Yuk, Nang. Jadi?"
Bara dan Nanang berjalan menuju motornya yang masih terparkir rapih.
"Kata anak-anak sih jadi, tapi gue numpang ya, Bar. Gue gak bawa motor."
Nanang terkekeh sembari menggaruk kepalanya. Bara hanya menggeleng merasa dimanfaatkan.
"Lu nyuruh gue kesini bawa motor buat jadi ojek lo, kan? Nih, gue udah bawa helm dua."
Bara menyodorkan helm yang tergantung di stang motornya.
"Tau aje, lu."
Bara memasukkan kunci motornya dan menyalakan mesinnya.
Ia menaiki jok alat transportasi itu, diikuti oleh Nanang setelahnya."Duluan ya, Bang."
Bara dan Nanang menundukkan kepalanya sopan saat mereka menemui pekerja lain yang hendak pulang.
"Iya, Nang, Bar, Hati-hati!"
Bara mengendari sepeda motor itu dengan tenang. Sesekali matanya terlihat takjub saat ia melihat rumah-rumah yang berdiri di komplek ini. Bara hanya bisa bermimpi, jika ia bisa tinggal di lingkungan semewah ini.
Tapi satu hal yang ia sadari mengenai rumah-rumah ini, adalah bagaimana mereka selalu terlihat kosong.
Seolah-olah mereka hanya membangun rumah ini untuk ditinggalkan.
Rumah mahal dan besar tak ada artinya, jika tak memiliki kehangatan di dalamnya, bukan?Tanpa sengaja, Bara mengangkap tanda-tanda kehadiran manusia lain di sini. Ada beberapa orang yang sedang keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju sebuah rumah.
Bara ingat, ia pernah melihat tanda 'dijual' di rumah itu.
Dan sekarang spanduk itu sudah tak ada.
Sepertinya orang-orang itu penghuni baru rumahnya.Bara tak bisa melihat wajah orang-orang itu. Tapi ia dengan jelas melihat seseorang sedang berdiri mengenakan celana biru dan jaket putih membelakanginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...