lima delapan

45 4 0
                                    

Kana memilih-milih permen berwarna cerah menyala bak kristal yang berada di dalam toples bening itu. Pilihan akhirnya tertuju kepada tiga butir permen berasa strawberry, anggur, dan melon.
Ia membuka salah satu bungkusnya dan memasukkanya kedalam mulut.

Matanya sesekali menelisik kesana kemari. Ia sudah berkunjung ke tempat ini minggu lalu. Tapi walaupun begitu, masih banyak sudut yang belum benar-benar ia perhatikan.

Beberapa piagam penghargaan terpajang rapi di dinding. Ruangan yang berwarna putih dengan aksen mint itu membuat Kana seolah-olah berada di dalam film Wes Anderson.
Pengharum ruangan yang segar menyeruak, memberikan perasaan nyaman kepada siapapun yang menciumnya.

Clek!

"Hai Kana, maaf barusan Kakak ada urusan di depan. Kamu nungguinnya lama?"
Seorang wanita berpakaian formal dengan balutan jas putih membuka pintu dan memasuki ruangan.

"Enggak kok, Kak."
Kana membalas dengan senyuman ramah.

Wanita berambut sebahu dengan kacamata persegi itu menyimpan beberapa barangnya di atas meja kerja. Lalu ia kembali berjalan menghampiri Kana yang sudah terduduk di sofa. Tangan wanita itu kini sudah terisi oleh papan dada.

Ia mendaratkan tubuhnya tepat di depan Kana. Pandangannya sesaat tertuju kepada kertas yang tersemat di atas papan. Lalu perhatiannya kini kembali berpusat kepada Kana.

"Gimana kabar kamu hari ini?"

Kana menyesap permen yang ada di dalam mulutnya terlebih dahulu, sebelum mengangguk sebagai jawaban.

"Baik, Kak."

Satu minggu yang lalu adalah hari pertama dimana Kana menginjakkan kaki di tempat ini. Pada awalnya ia sedikit gugup untuk bertemu dengan therapist baru. Walaupun psikolog itu adalah rekomendasi dari Hesti— psikolognya dari Bandung—ia masih merasa sedikit khawatir. Pasalnya, tak semua psikolog diluar sana cukup berpikiran terbuka untuk menerima dirinya sebagai pasien. Kana tahu mereka tak akan menolaknya mentah-mentah, mereka akan tetap melaksanakan pekerjaan jika diberikan. Hanya saja, Kana tak ingin berurusan dengan orang yang tak bisa mengerti dirinya sepenuhnya. Terutama mengenai kehidupan pribadinya.

Tapi ternyata wanita bernama Susan itu cukup meyakinkan Kana bahwa ia mampu menanganinya secara professional. Pembawaannya yang humble dan usianya yang hanya tiga tahun lebih tua dari Arga, membuat Kana merasa seperti sedang berbincang dengan sepupunya sendiri.

"Wah bagus deh! Gimana minggu ini? ada yang mau diceritain?"

Walaupun raut wajah Susan terlihat berseri-seri. Dadanya kelabu keruh saat melihat remaja itu.

Kesan pertama yang Susan dapatkan saat melihat Kana adalah lembut.
Jika diibaratkan, Kana itu bagaikan bulu halus yang ditumpukkan menjadi satu.
Dari caranya menatap, dari caranya bergerak, dari caranya bertutur.

Susan selalu merasakan hal yang sama setiap kali ia bertemu dengan pasien barunya. Empati pasti akan selalu menjalar dengan begitu saja secara natural.
Sama halnya saat ia membaca diagnosa dan rekam jejak dari file milik Kana.
Hatinya teriris.

Tetapi saat matanya melihat langsung bagaimana wujud Kana, ada hal lain yang membuat kalbunya merasa lebih tercekik.

Di dunia psikologi tidak ada yang hitam-putih. Semua perbedaan dari reaksi manusia terhadap sesuatu memiliki kompleksitasnya masing-masing.
Walaupun begitu, Susan selalu berpikir bahwa memiliki paras yang rupawan akan memudahkan setiap individu untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih stabil.
Pretty privilege, mungkin kosakata yang tepat.
Seseorang bisa mendapatkan keuntungan lebih besar hanya karena bagaimana mereka terlihat.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang