empat empat

50 4 0
                                    

Kana membaluri empat potong roti polos dengan selai blueberry dan meises cokelat.
Dengan apik, ia menyatukannya menjadi sepasang-sepasang. Setelah merasa cukup, ia menyimpannya ke dalam kotak makan.

"Mama masih gak nyangka kalau kamu bisa satu kelas sama anak yang waktu itu kerja di sini, dunia sempit banget ya."

Ujar Belinda sembari merapikan menu sarapan hari ini di atas meja.

"Iya Ma, aku juga masih gak nyangka, sih."

Kana menghela nafasnya sembari tersenyum kecil.
Ia hanya senang semua kesalah pahaman di antara dirinya dan Bara sudah terselesaikan sekarang.

"Janjiannya dimana? Si Bara itu mau ngedatengin kamu kesini?"
Sahut Arga yang baru saja datang dengan rambutnya yang masih basah.

Kana mengangguk mantap. Dari pesan yang tadi Bara kirim, ia sudah dalam perjalanan menuju rumahnya.

"Padahal bisa loh Na, kamu pake mobil yang lain. Ajak aja Baranya sekalian."
Timpal Elian sembari menyeruput kopi hitamnya yang sudah tak begitu mengeluarkan asap.
Ia masih berusaha meyakinkan Kana untuk mau diantar jemput menggunakan 'mobil keluarga' mereka yang saat ini sedang menganggur.

"Ihh, Ayah. Udah ah, pokonya gak ada nego-nego. Keputusan aku udah bulet!"

Kana memincingkan matanya tajam kepada dua sosok yang tengah terduduk di kursi makan.
Mereka masih saja membujuknya dengan halus.
Berbeda dengan Elian dan Arga, Belinda kini justru sudah mendukung penuh keputusannya. Ia rasa, Kana perlu mengenal lingkungan tempat tinggalnya yang baru untuk membiasakan diri.

Ting!

"Permisi!"

Kana menaikkan sudut bibirnya, dengan kilat ia meraih ransel birunya yang tadi tergeletak.

"Ayo, Mama anter ke depan."

Belinda merangkul pundak Kana dan menemaninya berjalan menuju ke ambang pintu.
Kana menerima tawaran Belinda, ia rasa Mamanya harus tahu bahwa Bara adalah sosok yang bisa mereka percaya.

Kana tahu, pasti masih akan selalu ada kekhawatiran di dalam dada keluarganya setelah apa yang terjadi kepada dirinya.

Elian dan Arga mematung untuk beberapa saat, tetapi mereka berakhiran mengekori anak dan ibu itu dari belakang dengan rasa penasaran.

Kana membuka pintu kayunya yang kini menampilkan sosok tinggi dengan seragam putih abu-abu.

Bara mengerjapkan matanya kikuk.
Ia sudah menyiapkan dialog yang pas untuk disampaikan kepada kedua orang tua Kana. Tetapi saat melihat semua mata anggota keluarga itu kini tertuju kepadanya, kata-kata yang sudah tertata rapi di dalam otaknya buyar begitu saja. Apalagi Arga, ia menatapnya dengan raut wajah yang sangat tak bersahabat.

"E-eum, permisi Tante, Om, Bang Arga. Saya mau izin ngajak Kana berangkat sekolah bareng. Saya rencananya mau naik bus di halte depan. Kami cukup naik satu kali aja, setelah itu kami bisa turun di pemberhentian dekat lampu merah. Dari sana kami tinggal jalan dikit lagi buat sampe ke sekola—"

Arga yang tampangnya sengaja ia sangar-sangarkan, tak kuasa lagi menahan tawanya saat melihat tingkah laku Bara.

"Santai aja kali Bar, serius amat lu.
Kaya mau ngelamar Kana aja, sampe rencana hidup lu dijelasin segala."

Kana melebarkan matanya dan segera mencubit perut Arga.

"Kak Argaaa diemmmm!!!"

"E-ehh, i-iya aduhh Na udah lepas!"

Elian dan Belinda hanya bisa tertawa melihat tingkah laku kedua bersaudara itu. Sama halnya dengan Bara yang ikut terkekeh, walaupun kegugupannya semakin menjadi-jadi saat mendengar kalimat terakhir Arga.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang