Bara sudah memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Ramai riuh ia dengar siswa-siswa yang lain bersautan. Bertegur sapa dan menanyakan kabar mereka setelah liburan. Ditambah hari ini kelas 10 yang baru masuk sedang melalui masa orientasi siswa. Makin jadi lah, sekolah macam pasar.
"Bar!"
Wildan berjalan mendekati Bara yang masih belum turun dari motornya."Napa?"
Jawab dan tanya Bara seadanya.
Ia menyimpan helmnya di atas tang motor dan merapikan terlebih dahulu rambutnya sebentar."Ye, cranky amat lu pagi-pagi. Belom sarapan, ya?"
Bara mendelik kepada temannya yang satu itu.
"Kalo belom kenapa? Lu mau neraktir?"
Wildan berdecak kesal.
Sekarang, kembali ke topik mengapa ia memanggil Bara."Kite sekelas tau, Bar. IPS G! Tadi gue liat di mading."
Bara turun dari motornya dan melengos begitu saja. Wildan yang merasa diabaikan kini berjalan menyusulinya.
Bara yang menyadari Wildan masih mengintilinya, akhirnya mengeluarkan suara,
"Bukannya emang udah dikasih tau di grup, ya? Lo gak joint?"Wildan berpikir untuk sejenak, lalu nyengir sembari menggaruk kepalanya.
"Oh, iya, ya. Kemaren udah dimasukin sama si Leni."
Bara hanya menghela nafasnya sembari menggelengkan kepala.
Di antara teman-temannya, memang Wildan lah yang terkadang sering tak terkonek dengan jaringan di otaknya.Hari ini, ia tak mengenakan atribut sekolah. Dasi, sabuk, dan topinya tak bisa ia temukan—lebih tepatnya ia malas untuk mencari. Lagi pula, ia memang sering tak mengenakannya. Hanya saja karena hari ini hari pertama masuk sekolah, pasti guru dan osis akan semakin disiplin dalam penaatan aturan yang satu itu.
Wildan juga terlihat tidak memakainya. Dan ia tebak, teman-temannya yang lain juga tidak.
Baiklah, setidaknya dia ada teman untuk dijemur di depan lapangan.Bara dan Wildan memutuskan untuk pergi ke gudang belakang. Di sanalah biasanya ia dan teman-temannya yang lain berkumpul.
Lapangan masih digunakan oleh siswa baru untuk masa orientasi, jika tak salah jam 8 nantilah kelas 11 akan dikumpulkan.
Jadi, mereka memiliki waktu luang untuk sekedar bersantai terlebih dahulu."Bar, Wil!"
Padli melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar kedua temannya yang baru datang itu segera duduk. Bara dan Wildan secara spontan menjatuhkan pantat mereka keatas sofa tua bekas kepala sekolah.
Di sana sudah berkumpul beberapa anggota dari Blue Raven juga. Mereka dari kelas yang berbeda, tetapi selalu menghabiskan waktu bersama jika senggang."Gimana kepala lo, Pad?"
Bara menunjuk kepala Padli yang sudah tak lagi ia beri perban.
Beberapa hari yang lalu, Nanang mengirimkan foto Padli yang sedang diobati di rumah sakit."Akh, udah gak apa-apa gue. Lagian dari awal juga gak ada yang serius, kok. Udah gak usah dipikirin."
Teman Bara yang satu ini memang juara satu dalam ketegori 'sok kuat'.
"Yang bener lo, demam lo kemarin gara-gara kebentur, kan? Jangan maksain pergi ke sekolah kalo sakit."
"Gue kemaren sakit bukan karena itu, kok. Kemaren gue salah makan aja, trus malemnya masuk angin gara-gara diajak adek gue jalan-jalan. Serius gak ada hubungannya. Liat aja nih gue, sehat sentosa kan?"
Bara memijat pelipisnya samar mendengar ocehan Padli. Entahlah cerita yang ia berikan itu benar adanya atau tidak. Bara tahu, Padli paling tak ingin disuruh untuk beristirahat dan mengambil masa off dari komunitas.
Ia akan merengek untuk selalu diajak, walaupun tubuhnya berdarah-darah sekalipun."Justru gue yang mau nanya, tuh kepala lo gimana? Bukannya lo kena pukul juga?"
Padli membalikkan pertanyaan itu.
Tangan Bara yang awalnya memegang pelipis, kini beranjak menuju keningnya.Ah, dia baik-baik saja. Kana yang mengobatinya.
Bara menjadi teringat saat-saat tangan Kana menyentuh lukanya dan membasuh rasa perihnya secara perlahan. Kalau ia pikir-pikir lagi, lukanya saat itu bisa dibilang cukup serius. Entah mengapa lukanya saat ini bisa kembali tertutup dan mengering.
Sudah ia bilang bukan? Kana itu ajaib."Napa lu senyum-senyum?"
Wildan mengangkat alisnya bingung, saat sosok yang duduk di sampingnya tiba-tiba menaikkan ujung bibirnya.Kan seram juga, apalagi mereka berada di belakang sekolah.
Bara segera mengebaskan ekspresinya lagi, duh, mengapa ia jadi memikirkan Kana saat ini. Apalagi kata-kata yang terlintas di kepalanya terdengar sangat cheesy, ingin muntah sendiri dia.
Tapi di sisi yang serius, Kana kira-kira bersekolah dimana ya?
"Siapa yang senyum-senyum. Kepala gue gak apa-apa, kok. Cuman sobek dikit doang. Pake obat merah aja, jadi."
Bara mendelik sejenak kepada Wildan dan menjawab pertanyaan Padli yang sempat tergantung.
"Nih, Bar. Pesenan lu."
Asep datang membawa sebungkus gorengan dan segelas kopi hitam untuk Bara."Thanks, ya. Nih, gue gantiin."
Bara memberikan Asep selembar uang lima puluh ribu. Tadi pagi, ia memang meminta pertolongan kepadanya lewat ponsel. Kopi di rumahnya habis, dan tentu saja Bara tak sanggup menjalani hari tanpa kafein. Untuk sebungkus gorengan ini, ia membelinya untuk dibagikan kepada anak-anak yang lain.
"Gak ada uang kecil nih gue, nanti aja ya gue gantinya."
Bara menggelengkan kepalanya sembari menyesap segelas cairan hitam itu.
"Gak usah, buat lu aja."
Asep sumringah mendengar pernyataan itu.
Lumayan juga, bekalnya hari ini memang lebih sedikit dari biasanya.
Pendapatan Babehnya kemarin malam tak begitu besar, jadi ia tak berani untuk meminta."Beneran, Bar? Makasih lohh."
"Asal inget apa yang gue bilang."
Senyuman di bibir Asep memudar secara perlahan. Ia menaikkan alisnya bingung, tetapi sejujurnya ia mengerti apa yang Bara maksud.
"Nanti pulang jelasin semuanya sama Jejes. Jangan gantung dia terus."
Pundak Asep meringkuk dan kepalanya mengangguk patuh.
"Iya, emang niatnya juga begitu, kok."
Bara mengangkat pandangannya dan melihat Asep yang menjadi murung.
Ia tahu betul, Asep ini bukan lelaki bajingan. Tapi tetap saja, ia melakukan kesalahan. Entah lah, Bara masih tak mengerti pola pikir orang yang ingin berselingkuh.
Ia juga tak ingin mengerti.Intinya, Bara masih bisa mengarahkan Asep. Jangan sampai ia berakhir seperti... Sudahlah.
Semoga ini yang terakhir."Udah lu, gak usah sok sedih begitu. Makan gih."
Cengiran Asep kembali terbit di wajahnya. Bara pula memerintahkan anak-anak yang lain untuk mengambil bagian mereka.
Mereka mengobrol dan menyantap cemilan pagi dengan santai.
Sampai lupa, jika sekarang jam sudah menunjukkan pukul 08:10."Hei! Kalian lagi ngapain di sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...