tujuh belas

101 9 0
                                    

Kana sedang sibuk memilah tanaman yang masih bisa dipertahankan dan mana yang tidak. Tak terlalu banyak yang sudah mati, tetapi satu atau dua pasti ada saja. Tanaman itu adalah tanaman peninggalan pemilik rumah sebelumnya.

Sama halnya dengan Kana, Belinda tengah membantu Kana untuk merombak ulang taman di belakang rumahnya ini. Anak bungsunya itu memang sangat suka berkebun.

Tangan Kana meraih sebungkus benih bergambar bunga lily dari dalam paper bag berwarna cokelat. Tak hanya satu jenis bunga, Kana sudah membeli banyak sekali benih dari jenis-jenis yang lainnya juga.

"Na..."

Kana mendongakkan kepala saat mendengar Belinda memanggilnya.

"Mamah, ke dapur dulu, ya. Sebentar lagi waktu jam makan siang, kamu bisa kerjain ini dulu sendiri, kan?"

"Ohh, bisa dong. Mamah ke dapur dulu aja, udah gak banyak juga, kok, yang mau Kana tanam."

Belinda tersenyum teduh melihat Kana bersemangat melakukan hobinya lagi. Ia mengusak kepala Kana yang tengah memakai topi, lalu berjalan masuk melewati pintu belakang.

Hanya berjarak beberapa kaki dari tempat Kana berdiri, Bara kini juga tengah memiliki kesibukannya sendiri. Tangannya masih setia menaik turunkan roller yang sudah dilumuri oleh cat.

Seluruh rumah sudah hampir terbalut rapi dengan warna barunya. Sesuai keinginan sang pemilik, mereka akan menimpanya satu kali lagi agar catnya tak mudah luntur saat terkena cuaca yang mudah berubah.
Mungkin satu hari lagi, dan pekerjaannya akan rampung.

Saat pertama kali melihat bagian belakang rumah ini, Bara sangat terkagum-kagum. Sebuah kolam dengan bunga teratai, taman tua dengan beberapa akar yang mulai merambat, dan patung-patung kuno yang masih kokoh berdiri.
Mungkin orang-orang akan merasakan kesan angker saat melihatnya, tapi bagi Bara, justru kesan mistis itulah yang menjadi daya tariknya.

Bara membalikkan tubuhnya untuk kembali mencelupkan roller nya ke dalam kotak kecil penuh dengan cairan berwarna.
Tetapi, matanya tak sengaja bertaut kepada seseorang yang sedang mencium setangkai mawar.

Setelah bertemu dengan Belinda, Bara sekarang tahu dari mana penampilan royal Kana berasal. Ibunya saja mirip dengan aktris Elizabeth Taylor. Pantas saja anaknya mewariskan aura yang sama.

Dan melihat Kana kini tengah berdiri diantara patung-patung dengan latar bunga yang mencuat dari akarnya, membuat dirinya terlihat seperti sosok dari lini masa yang berbeda.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas kurang, Elian sudah memerintahkan para pekerja untuk segera beristirahat dan mengisi perut mereka.

Bara dan Nanang merehatkan tubuh di bawah pohon kecil.
Tak lama, Arga datang menghampiri dan ikut bergabung untuk makan siang bersama. Nanang dan Arga hanyut dalam percakapan mereka, sementara Bara hanya terdiam dalam sunyi sembari memakan jatahnya.

Kana dan Belinda keluar dari dalam rumah dengan tangan yang penuh membawa nampan berisi dengan gelas-gelas. Setelah memastikan para pekerja mendapatkan air putih, mereka menyediakan satu gelas penuh thai tea dingin untuk dibagikan—siapa tahu mereka ingin yang segar-segar.

Tangan Kana kini dibaluti oleh sarung tangan yang berbeda, takut-takut kotoran dari tanah yang ia sentuh masih menempel dan mencemari minumannya.
Ia dan Belinda membagikan gelasnya satu persatu.

"Nih, Bar."

Kana memberikan satu gelas terakhir kepada Bara. Bara yang sedari tadi melamun, akhirnya terhenyak dan mengucapkan terimakasih.

Kana yang merasa kelelahan akhirnya memutuskan untuk merebahkan dirinya di samping Bara.
Topi bundarnya ia lepaskan dan ia kibas-kibaskan seperti kipas.

"Jakarta hareudang juga, ya."

Bara menolehkan kepalanya saat merasa Kana mengajaknya berbicara.
Tapi ia terdiam untuk sejenak dengan wajah bingung, ia tak mengerti maksud dari kata yang Kana katakan.
Kana yang menyadari Bara tak mengerti arti dari ucapannya, kini tertawa. Benar juga, ia bukan orang sunda.

"Maksudnya panas, gersang."

Bara terkekeh pelan,

"Iya, emang Jakarta kaya gini dari dulu. Harus bawa kipas kemana-mana, kalau gak mau kepanasan. Apalagi kalau musim panas gini."

Kana mengangguk sembari mengulum bibirnya.
Bara hendak melanjutkan acara makannya, sampai sebuah pertanyaan muncul di kepalanya.

"Lo emang pindahan dari mana?"

Bara menatap Kana sekilas yang masih setia mencari secuil udara sejuk.

"Bandung."

Bara mengangguk paham,
"Emang disana gak panas kaya gini, ya?"

Kana terlihat berpikir untuk sejenak,
"Kalau panas sih sesuai cuaca, ya. Mungkin sekarang juga lagi panas-panasnya di sana. Tapi udaranya emang lebih asri, sih. Seenggaknya di wilayah tempat gue tinggal kaya gitu, jadi gak usah takut kepanasan."

Kana menghela nafasnya pelan.
Ia jadi rindu kampung halamannya, padahal baru beberapa hari berpisah.
Karena sejujurnya, ia belum pernah lagi melihat bagaimana dunia di sekitarnya tumbuh dan berkembang. Ia hanya mengingat bagaimana dunianya terlihat dua tahun yang lalu. Sebelum... Semuanya terjadi.

Bara membatin, pantas saja tutur katanya terdengar lebih halus. Entah semua orang Bandung seperti itu, atau hanya keluarga Kana saja.
Karena sepertinya, mereka memang keluarga yang penuh dengan kelembutan.
Ia tak begitu menyangka, jika ada keluarga seperti itu di dunia nyata.

Bara hendak kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya, sampai ia tersadar akan satu hal.
Kana tidak membawa makanannya sendiri seperti Kakaknya.

"Eh, Lo udah makan, belum? Gue gak enak main makan aja, sampe lupa nanya yang punya rumah."

Kana menggeleng kecil,
"Belom sih, tapi gue bisa nanti, kok. Soalnya belum selesai ngerjain tamannya. Tanggung."

"Beneran, nih? Yaudah ya, gue makan. Tapi lo jangan dibiasain kaya gitu, badan lo juga butuh energi, jangan dipaksain buat beraktivitas kalau perut belum keisi. Nanti sakit lagi."

Nanang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka. Bukannya ia sengaja ingin menguping, tapi memang jarak antara mereka yang berdekatan membuat telinganya secara bebas menangkap suara yang berterbangan.
Bukan sebuah rahasia lagi, Bara memang selalu perhatian kepada setiap orang yang dekat dengannya.
Tapi kembali lagi, 'dekat'. Dan untuk seseorang yang terbilang baru di hidup Bara, Kana sepertinya benar-benar meninggalkan kesan yang baik.

Seperti Nanang, Arga pun sama halnya mendengarkan perbincangan itu. Di satu sisi, ia bertanya-tanya bagaimana Kana dan anak itu bisa menjadi sangat akrab.
Tapi di sisi lain, ia bahagia bukan kepalang. Untuk pertama kalinya lagi, ia mendengar Kana berbicara dengan orang luar. Setelah dua tahun mengurung diri dan bahkan kesulitan untuk berkomunikasi dengan keluarganya sendiri, Arga sempat kehilangan harapan. Tapi kini, melihat adiknya secara spontan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, harapan itu kembali lagi hidup.
Sepertinya, ia harus berterimakasih kepada si Bara-Bara itu.

"Iyaaa, lanjut makan aja, gih."

Kana mempersilahkan Bara untuk kembali fokus mengisi tenaganya.
Bara pun menurut, tak ingin menunda pekerjaanya lebih lama.
Ia mengais potongan kecil ayam fillet dengan sendok menuju mulutnya.
Teksturnya yang krispi bersatu dengan lembutnya saus tomat manis menjadi perpaduan yang sempurna.

Kana memperhatikan Bara yang lahap memakan hidangannya itu lalu berkata,
"Gimana ayamnya? Itu gue loh yang buat."

Bara mengerjapkan matanya dengan mulut yang penuh. Kana yang melihatnya, kembali tertawa.
Lucu sekali.

"Kenapa, sih? Sebegitu gak percayanya, ya?"

Bara berusaha menelan makanan ke dalam kerongkongannya.
Kepalanya menggeleng keras.

"Enggak, bukan gitu. Tapi ini enak banget loh, Na. Seriusan lo yang buat?"

"Iyaa, gue yang buat. Dimandorin sama Mamah, sih. Tapi ya, bisa dibilang ada campur tangan Kana di dalemnya."

Bara balik tersenyum.
Melihat Kana yang begitu ceria dan supel, membuat suasana hatinya menjadi lebih baik juga.
Sepertinya Kana tak pernah memiliki satu masalah sama sekali dalam hidupnya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang