Bara kian merutuki dirinya sendiri saat ini. Dengan ekor matanya, ia bisa melihat orang yang ia perhatikan sedari tadi berjalan kearahnya.
Mengapa ia terus menerus meninggalkan kesan yang salah? Ia sudah pasrah jika akan dipecat, tapi ia tak ingin dikira sebagai orang tak sopan atau semacamnya.
Kana membuka jendela sebelah kirinya. Lelaki itu berada di sebelah kanannya, jadi ia sengaja tak membuka seluruh bagian dari jendelanya.
Bara menggigit bibir bawahnya dan menunduk.
"Maaf, gue gak ada maksud buat ngintip. Gue lagi ngecat dinding bagian sini dan gak sengaja liat lo. Gue gak liat apa-apa dan gak punya maksud jahat."
Bara tak membiarkan Kana untuk berbicara. Ia sibuk menjelaskan kronologi mengapa ia bisa berada di sana sembari meminta maaf.
Sementara Kana sedikit terkesiap melihat perilaku Bara.
Kata yang tadi berada di ujung lidahnya, menggantung begitu saja.
Kana tertawa kecil mendengar penjelasan Bara.
Bara yang mendengar kekehan itu, mendongakkan kepalanya kembali."Gak apa-apa kok, Mas. Saya juga gak ngira Mas lagi ngintipin saya."
Kana tersenyum ramah sembari melambaikan tangannya.
Bara menghirup nafas lega.
Dari respon yang ia dapat, sepertinya orang itu benar-benar tak merasa terganggu. Mungkin ia yang terlalu overthinking, entahlah, biasanya ia tak seperti ini.Bara mengangguk mengerti dan sedikit menarik ujung bibirnya.
Tangannya kembali meraih roller cat untuk melanjutkan pekerjaanya.Tak ingin membuat suasana menjadi canggung, Kana mengeluarkan kalimat yang sedari awal ingin ia sampaikan.
"Mas apa kabarnya?"
Baru saja ingin melanjutkan pekerjaanya, Bara kembali dikejutkan dengan sebuah pertanyaan.
Ia nampak berpikir sejenak sebelum menjawab."Gue udah gak kenapa-napa, kok. Luka sama lebamnya udah mulai sembuh, obat merah dari lo manjur..."
Sepertinya ini kesempatan Bara.
Ia berusaha menatap orang itu tepat di manik matanya."Sekali lagi, makasih, ya. Makasih udah mau nolong gue waktu itu, gue bener-bener ngehargain bantuan lo. Dan kalau waktu itu gue keliatan jutek atau semacamnya, gue minta maaf, gue gak ada maksud buat bersikap kaya gitu sama lo."
Kana terdiam untuk sejenak.
Semilir angin tiba-tiba berhembus memainkan rambut Kana, membuat permukaan kulitnya menjadi sejuk.Walaupun menggunakan kata lo-gue, tetapi tutur kata Mas-Mas itu lembut sekali. Ia tak pernah mendengar yang seperti itu. Kana bisa melihat ketulusan di dalam matanya.
Senyum Kana kembali merekah, ia menganggukkan kepalanya dan mengulangi perkataanya.
"Iya, Mas, gak apa-apa, kok. Saya juga tau kalau Mas bukan orang galak, waktu itu kayanya Mas lagi kecapean aja. Tapi syukur, deh, kalau lukanya udah mulai membaik. Masih harus rajin obatin, ya, Mas!"
Kana mengangkat satu jarinya, memperingatkan. Tarikkan di ujung bibir Bara tanpa disadari semakin naik. Ia kembali menganggukkan kepalanya.
"Lo gak perlu panggil gue Mas. Kayanya umur kita gak begitu jauh juga."
Kana mengerutkan alisnya. Benar juga, sampai saat ini ia belum tahu usia tepat lelaki ini.
"Oh iya juga ya, Mas emang umurnya berapa tahun?"
"Gue tujuh belas."
Kana terkesiap. Lelaki ini memiliki umur yang sama dengannya?
Tidak, Kana bukan terkejut karena wajahnya yang sudah tua seperti Mas-mas atau semacamnya. Panggilan 'Mas' yang ia gunakan hanya murni karena sopan santun belaka. Ditambah alasan bahwa lelaki ini memiliki tubuh yang seukuran dengan kakaknya, jadi Kana berasumsi bahwa ia setidaknya satu atau dua tahun lebih muda dari Arga.Ternyata karena ia bongsor, toh. Kana jadi berpikir, apa semua orang seusianya memiliki fisik seperti lekaki ini juga?
"Umur lo berapa?"
Kana terhenyak dari lamunannya.
"Saya juga tujuh belas tahun."
Bara kembali menghentikan tangannya yang sedari tadi sudah mulai menaik turuni dinding itu.
Bara kembali menatap Kana.
Bara tahu, orang ini bukan seorang bocah berusia 12 tahun atau semacamnya.
Tapi Kana memang memiliki fisik yang terlihat lebih youthful dari teman-temannya. Lebih tepatnya, seperti seseorang dengan perawakan yang ia pernah temui saat di bangku akhir SMP.Mungkin faktor genetik, atau pertumbuhannya yang lebih lama.
"Aduh, maaf ya, saya kira Mas lebih tua dari saya."
Kana menyatukan kedua tangannya membentuk pose 'maaf' dan meringis merasa malu.
Bara tersenyum simpul.
"Muka gue emang setua itu, ya, sampe lo kira gue Mas-Mas."
Kana menggeleng ribut.
"Enggak! Bukan gitu, kok. Badannya Mas soalnya mirip sama Kakak saya, jadi saya kira Mas udah sembilan belas atau dua puluh tahunan."
Bara terkekeh kecil dan mengangguk paham.
"Saya sih jarang olahraga, makannya nyampe 160 senti aja enggak."
Kana menumpu dagunya dengan tangan sembari mengerucutkan bibir.
Bara memperhatikan Kana yang sedang misun-misuh itu, lucu juga orangnya."Gue juga jarang, kok. Yang penting banyak gerak aja."
Kana menghela nafas.
Tapi memang benar, bukan? Jarangnya olahraga menjadi satu-satunya alasan pertumbuhannya terhambat—jika Kana tak menyebut fakta bahwa ia pernah tak ingin keluar dari rumah atau kamarnya sama sekali untuk dua tahun."Lo masih panggil gue Mas, btw."
Kana menepuk jidatnya dramatis dan kembali tersenyum meringis.
"Lupa, hehe..."
Kana berdehem, menegakkan tubuhnya, dan menyodorkan tangan kanannya.
"Nama gue Arkana biasa dipanggil Kana, nama lo siapa?"
Kana cringe sendiri mendengar suaranya. Ini percobaan pertamanya untuk menggunakan kata panggilan itu. Sejujurnya, ia lebih nyaman dengan panggilan aku-kamu untuk dipakainya sehari-hari. Tapi saat dipikir lagi, ia tak ingin membuat orang lain salah paham jika ia menggunakan bahasa yang begitu formal. Lebih baik main aman saja.
Bara menaikkan sebelah alisnya.
Tiba-tiba sekali ada perubahan dari kosakatanya.
Sepertinya orang ini memang bukan penduduk jabodetabek atau sekitarnya, terbukti ia masih terdengar kaku saat mengucapkan kata 'lo-gue' itu.Tapi tunggu, siapa namanya tadi? Kana?
"Nama gue Albara, biasa dipanggil Bara."
Bara hendak membalas uluran tangan Kana. Tetapi ia sadar, ada beberapa cipratan cat di tangannya.
Ia pun mengulum senyumnya dan mengurungkan niatnya untuk berjabat tangan.
Takut Kana tak nyaman.Kana yang melihat alasan Bara tak membalas uluran tangannya, langsung menarik tangan Bara tanpa banyak kata.
Bara sedikit tersentak dan kembali menautkan pandangannya dengan Kana."Salam kenal, ya, Bara."
Kana tersenyum manis sekali.
Bara yang melihatnya termenung untuk beberapa detik, hingga sudut bibirnya kembali naik lebih tinggi lagi.
Menunjukkan gigi rapinya kali ini."Salam kenal juga, Kana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...