empat dua

56 4 0
                                    

Bara menyodorkan sepiring mie yang sudah matang kepada Kana.

"Makasih, Bar."
Kana menerima piring itu dengan suka hati. Ia sebenarnya sudah menawarkan Bara untuk menolongnya di dapur. Tapi Bara berujar bahwa ia masih mampu jika hanya untuk memasak mie. Jadi selama 10 menit terakhir, Kana hanya ditemani oleh telivisi yang entah sedang menayangkan acara apa, mengingat hari sudah semakin malam. Bara yang tadi menyalakan benda persegi panjang itu sebagai penghibur untuk Kana jikalau ia merasa bosan.

Bara mengangguk dan mendaratkan kembali tubuhnya ke atas sofa. Bukan sofa yang tadi ia dan Kana duduki, tapi sofa kecil disebelahnya.
Memberikan ruang untuk tamunya agar lebih leluasa.

"Selamat makan!"

Setelah mengucapkan itu, Kana mulai memasukkan makan malamnya ke dalam mulut secara berkala dan mengunyahnya dengan perlahan yang diikuti juga oleh Bara.

Suasana kembali hening untuk beberapa saat, Bara membiarkan Kana untuk menikmati hidangannya dalam damai. Sampai dirasa piringnya sudah hampir bersih, Bara memutuskan untuk membuka suara. Takut-takut ia tak akan memiliki kesempatan lagi untuk berbasa-basi jika Kana sudah menyelasaikan acara makan malamnya, mengingat ia harus segera pulang setelah ini.

"Gimana sekolah, Na? Lo nyaman sama lingkungannya?"

Kana mengalihkan pandangannya kepada Bara sembari menelan sisa makanan di dalam mulutnya, berusaha mencerna dua hal sekaligus pada waktu yang bersamaan.

"Eum.. baik sih. Gue suka sama sekolahnya. Lingkungannya juga nyaman. Temen-temennya juga pada asik! Apalagi kemaren gue nonton demo ekskul di lapangan, pada keren-keren!"

Bara sedikit mengerutkan dahinya mendengar kalimat terakhir Kana.
Ia memang tak melihat Kana untuk beberapa jam di hari ketiga MOS, Bara pikir ia memiliki urusan dengan guru.

"Nonton demo ekskul? Gue kira angkatan kita gak boleh ikutan liat? Atau lo dibolehin guru karena lo murid baru?"

Kana menepuk bibirnya samar.
Ia lupa jika saat itu dirinya mengendap-ngendap untuk bisa menonton penampilan ekstrakulikuler.

"Gue diajak Ryan, hehe... Jangan kasih tau siapa-siapa ya! soalnya secara teknis gue bolos kelas."

Senyum Bara sedikit menukik.
Ia baru diingatkan kembali jika mereka berteman.

"Iya, santai aja. Gue juga waktu itu bolos, kok."

Bara memaksakan kekehannya di akhir percakapan.
Tangannya memainkan sisa mie berwarna kecoklatan itu dengan garpu.

"... Lo sama Ryan kenal dari mana? Dia temen SMP lo dari Bandung, kah?"

Bara mengulum bibirnya. Pertanyaannya tak terdengar seperti orang yang kentara ingin tahu, bukan?

"Ohh... Enggak kok. Kita baru kenal di hari pertama sekolah. Bu Mira nyuruh Ryan buat ngajak gue keliling-keliling. Jadi kita lumayan akrab setelah itu. Dan buat SMP, gue sebelumnya homeschool."

Bara mengangkat wajahnya, memberanikan diri untuk menatap Kana.
Kana yang mengerti raut kebingungan itu akhirnya kembali menjelaskan lebih detail.

"Gue sebenernya pernah sekolah formal sampe kelas 2, tapi akhirnya gue mutusin buat ngundurin diri. Gue homeschool sekitar satu tahun setengah. Setengah tahun pertama buat ngejar kelulusan SMP gue, dan yang satu tahun full itu kemarin pas gue masuk SMA kelas 1."

Bara mengangguk kecil, ia menekan kuku-kukunya sampai terlihat putih.

"... Kalo boleh gue tau, kenapa lo homeschool?"

Kana menjelajahkan netranya, ia sudah menebak Bara akan bertanya mengenai hal ini.

"Gue gak sanggup sekolah lagi di sana."

Entah mengapa sepenggal kalimat itu yang keluar dari lisannya.
Dan entah mengapa ia tak bisa berbohong kepada Bara seperti saat itu ia menutupi alasan sebenarnya kepada Ryan.

Seolah-olah bukan bibirnya yang berkata, tapi hatinya.

Bara mengerjapkan matanya, tak mengira ia akan mendengar jawaban seperti itu.

"Maaf Na, kalau gue udah nanya hal personal kaya gini..."

Kana berdehem samar lalu tertawa kecil,
"Gapapa, kok. Udah lampau juga."

Bukan hanya Bara yang terkejut akan ucapannya, tapi Kana sendiri pun sama terkesiapnya.

Gundah dunia menjadi semakin sunyi saat malam semakin kelam. Hanya ada dentingan kaca, bisingnya televisi, dan tegukan yang menghapus dahaga.

Walaupun sudah meminuman air yang Bara sajikan, masih ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Kana.
Ada sesuatu yang ingin sekali ia tanyakan.

"Bar, lo mau jadi temen gue?"

Bara yang termenung dalam lamunannya sedikit terperanjat kala
mendengar pertanyaan itu.

Apa yang harus ia jawab? Tentu saja Bara ingin sekali menjadi teman Kana. Tapi... Apakah ia harus berucap jujur? Bukannya saat itu ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tak mencoba mendekati Kana lagi.
Mengingat kasta mereka yang begitu jauh.

Kana yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Bara pun menghembuskan nafasnya.

"... Lo malu ya temenan sama gue?"

Bara menoleh kepada Kana, ia menggelengkan kepalanya dengan raut tak percaya.

"B-bukan gitu, Na. Kok, lo bisa mikir gitu?"

Kana tersenyum kecut, lalu menunduk.

"Ya... Gue kan beda sama temen-temen lo yang lain. Gue rasa, gue gak harus bilang perbedaan gue apa. Gue tau lo ngerti maksud gue."

Bara membeku, ia tak mengira bahwa tingkahnya beberapa hari kemarin membuat Kana sampai berpikir dirinyalah akar dari permasalahan.

"Enggak, sama sekali, Na. Gue gak pernah mikir kaya gitu. Gue gak pernah ngerasa malu buat temenan sama lo..."

Bara menghirup nafasnya dalam-dalam, memberikan sedikit jeda sebelum kembali berucap.

"Justru gue takut kalau lo yang malu temenan sama gue... Gue gak ada di tingkat yang sama kaya lo. Kita saling kenal aja karena gue pernah jadi kuli di rumah lo. Bisa lo liat sendiri keadaan rumah gue kaya gimana.
Dan gue rasa, lo juga udah denger rumor-rumor soal gue di sekolah. Gue emang bukan sosok teladan. Citra gue buruk. Beda sama Ryan dan temen-temen lo yang lain.
Mereka bisa ngasih lo pengaruh yang baik.
Jujur, gue seneng banget kita bisa ketemu lagi di hari pertama sekolah. Tapi setelah itu, gue sadar... Lo sekarang bakal ngenalin gue sebagai anak urakan, sampah masyarakat. Gue malu. Gue malu buat deket-deket sama lo. Gue ngerasa gue gak pantes buat temenan sama lo, Na."

Kana dibuat bungkam oleh penuturan Bara. Ternyata selama ini dirinyalah yang sudah berprasangka buruk. Hatinya serasa tertancap paku mendengar Bara yang menganggap dirinya begitu rendah.

Kana mendekatkan tubuhnya ke arah Bara,
"Bar... Coba liat gue."

Bara secara perlahan kembali mengangkat wajahnya yang sempat ia tekuk.
Kini kedua remaja itu saling menautkan pandangan sendu mereka.

"Gue punya pengalaman yang buruk dalam pertemanan. Waktu gue pindah ke jakarta, gue cuman punya niat buat sekolah. Itu aja. Gue gak mau berekspetasi tinggi buat bisa deket sama siapapun.
Tapi suatu hari, gue ketemu sama lo. Dan lo ngubah pandangan gue, kalau ternyata gak semua manusia itu kaya orang-orang yang pernah gue kenal. Lo itu seru banget diajak ngobrol. Dan faktanya, gue gak pernah ngobrol sama orang asing buat 2 tahun kebelakang.
Tanpa lo, gue gak akan bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan ini. Lo adalah salah satu orang yang bisa ngebuat gue kembali terbuka sama dunia. Makasih ya Bar, udah jadi orang pertama yang baik sama gue.
Gue gak peduli darimana pun lo berasal. Gue gak peduli persepsi orang tentang lo gimana.
Izinin gue buat mengenal lo dengan mata gue sendiri dan bukan dengan mata orang lain, ya?"

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang