dua tiga

70 6 0
                                    

"Inilah contoh murid-murid yang tidak teladan!"

Suara Pak Yanto menggema di seluruh lapangan. Tangannya menunjuk-nunjuk para murid yang sedang berdiri di depan lapangan, berbeda dengan murid lain yang dipaksa untuk menontoni mereka.

Keringat Bara bercucuran memenuhi keningnya. Bisa-bisanya guru ini membuat mereka berjemur di musim panas seperti ini. Ditambah telinganya harus mendengarkan omelan keras dari guru killer seperti Pak Yanto. Habislah ia hari ini.

"Kamu, kemari!"

Bara menegakkan kepalanya, kala ia mendengar suara pria berumur 50 tahunan itu seperti memanggil salah satu dari murid yang dihukum.

Tak diduga, matanya beradu pandang dengan Yanto. Yang jelas, membuat dirinya gelagapan sendiri. Haduh, Salah apalagi dia.
Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, siapa tahu bukan dirinyalah yang guru itu maksud.

"Iya, kamu yang tinggi kesini sekarang! Malah planga-plongo."

Bara menghembuskan nafasnya pasrah dan berjalan gontai.

"Coba beritahu alasan kenapa kamu tidak pakai atribut sekolah!"

Tanya Yanto penuh penekanan kala murid itu sudah berdiri di sampingnya.

Bara menggaruk kepalanya bingung.
Apa jawaban yang harus ia beri? Atribut sekolahnya hilang, atau ia yang lupa menyimpannya.
Tapi jika ia berkata atributnya hilang, mereka pasti akan memaksanya untuk membeli perlengkapan yang baru. Sayang sekali uangnya, ia yakin atributnya terselip di kamar.
Tapi jika ia berkata lupa menyimpan, bisa-bisa ia akan diomeli lebih panjang dan dijemur lebih lama.

Akh, sudahlah. Cari aman saja.

"Hilang, Pak."

Pak Yanto tersenyum miring.

"Wah, klisye sekali alasannya. Bapak perhatiin dari semester lalu, pakaian kamu selalu polos kaya gini. Harusnya kamu inisiatif untuk menyiapkannya dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum libur dimulai. Emang pada dasarnya aja kamu yang gak mau menaati peraturan dan disiplin. Squat jump, sekarang!"

Bara melebarkan matanya tak percaya. Ia kira, ia hanya akan dimarahi sejenak dan disuruh pergi ke koperasi. Sialan, mengapa Pak Yanto ingatannya begitu tajam?

"Apalagi? Ayo lakukan!"

Ia bisa mendengar teman-teman di belakangnya sedang menahan tawa.
Sementara murid-murid lain di hadapannya juga tengah menahan senyum.

Ah, dipermalukan sudah ia hari ini.

Mau tak mau Bara melaksanakan hukuman yang ia dapatkan.
Satu sampai sepuluh, ia masih kukuh mengerjakannya.
Dua puluh sampai tiga puluh, ia mulai merasa sangat kewalahan.

Bara sempat berhenti untuk sejenak dan mengambil nafasnya terlebih dahulu. Pak Yanto pun tak menegurnya, jadi ia tak buru-buru melanjutkannya kembali.

'Krek!'

Suara gerbang depan terdengar terbuka samar-samar oleh Bara.
Siang-siang begini? Ada guru yang terlambat, kah? Tidak adil sekali, seharusnya mereka juga ikut dihukum sepertinya.
Apalagi jika ternyata itu seorang murid.

Bara mendongakkan kepalanya dengan tangan yang masih bersimpu pada lutut.

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ini ia yang berhalusinasi karena kecapean atau bagaimana? Mengapa ia melihat seseorang yang sangat mirip dengan Kana?

Sang terduga tengah berjalan dengan dua wanita di sampingnya.
Ia mengenali sosok wanita di sebelah kanannya, itu Bu Mira.
Sosok wanita di sebelah kiri yang tengah merangkul yang lebih kecil terlihat mirip dengan Bu Belinda.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang