enam

141 10 0
                                    

Albara membuka matanya secara perlahan. Tetapi secara kasar, ia mencoba untuk menutupnya kembali.
Sialnya rasa kantuk sudah sepenuhnya hilang. Bajingan, ia masih hidup hari ini.

Bara menolehkan kepalanya ke samping. Dari jendela di kamarnya, ia bisa melihat matahari yang kini bersinar terang.
Bara mendecih kecil, apa yang dunia rayakan hari ini?
Tak ada alasan untuknya terlihat segembira itu.

Diantara musim yang ada, Bara paling membenci musim panas.
Ia bukan membencinya karena udara yang terasa semakin gersang.
Kegiatannya pun dapat dilakukan lebih leluasa di cuaca seperti ini.
Hanya saja, ia paling benci saat dunia menunjukkan bahwa hanya dirinya yang masih berduka.
Dia paling benci, melihat dunia yang tak kontras dengan bagaimana dirinya terlihat di dalam.

Tapi persetanlah, ia tak punya waktu untuk merenung dan menjadi melankolis.

Dengan malas, Bara mengangkat tubuhnya dan memaksakan dirinya untuk berjalan menuju kamar mandi.
Tapi sebelum itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu sebelum berjalan keluar dari kamarnya.
Syukurlah, manusia itu masih belum pulang ke rumah.

Setelah merasa aman, ia kembali melanjutkan langkah kakinya sembari mengambil handuk yang tergantung. Selepas menutup pintu, Bara segera menanggalkan pakaiannya dan menyemburkan air dari bak mandi menggunakan gayung. Segar juga rasanya.

Sehabis selesai melakukan mandi asal-asalannya, Bara berjalan menuju dapur dengan handuk sebagai penutup pinggang.
Ia tuangkan beberapa sendok kopi hitam ke dalam gelas dan mengisinya dengan air panas.

Bara meraih ponselnya dari dalam kamar, lalu kembali berjalan menuju teras rumahnya.
Ah, ini satu-satunya hal yang ia sukai mengenai musim panas.
Berjemur.
Kini Bara mendudukkan tubuhnya di atas kursi dan membiarkan cahaya matahari menyerap semua air yang masih menggenang di tubuhnya.

Tangannya sedari tadi memainkan ponselnya, membalas pesan-pesan yang belum sempat ia jawab.
Bibirnya sesekali meneguk kopi yang ia buat tadi. Setelah merasa cukup bosan dengan rasa kopi, ia mengambil sebatang rokok dan sebuah pemantik yang terselip di bawah meja.

Ia nyalakan rokok itu, menghembuskan asapnya keluar, dan menyesap rasa yang tertinggal di bibirnya.

Sesekali akan ada tetangga yang berjalan melewati rumahnya. Tapi tak ada satupun dari mereka yang terihat terkejut. Remaja berusia 17 tahun yang masih bersekolah dan sudah terang-terangan menggunakan rokok? Bukan sesuatu yang mengejutkan disini.

Tetapi, mungkin satu hal yang membuat beberapa orang masih tak terbiasa melihat Bara melakukannya adalah karena gambaran yang sudah mereka dapatkan saat ia masih kecil.
Tak ada satupun dari mereka yang menyangka, bahwa anak kecil yang penurut, pintar, dan lugu itu akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sosoknya saat ini.

Semua orang tahu, alasan mengapa Bara menjadi urakan dan terkesan brandalan seperti ini.

"Hehh, pagi-pagi udah ngerokok aje."

Bara mengangkat kepalanya dan melihat perempuan paruh baya yang kini tengah berdiri di depan terasnya.

"Ehh, Mpok Lela. Enggak kok, buat ngisi perut aja."

Bara menyunggingkan senyum ramahnya sembari mematikan rokoknya di dalam asbak.

"Ngisi perut kok pake rokok. Nih, Mpok bawain makanan beneran."

Mpok Lela menyimpan sepiring nasi merah yang dihiasi dua paha ayam bumbu kecap dengan bihun di atas meja.

"Aduh Mpok, kenapa repot-repot sih, Bara kan udah bil—"

"Udah-udah, Mpok gak nerima penolakan. Kemaren Mpok bikin kebanyakan, daripada dibuang mubazir, kan? Makan tuh buat sarapan. Sepet Mpok lama-lama liat lu ngerokok doang."

Bara menghela nafasnya dan menerima pemberiannya. Ia selalu merasa tak enak setiap kali Mpok Lela memberikannya makanan seperti ini.

"Iya deh, Mpok. Makasih, ya."

Mpok Lela mencoba menutupi raut sendu di wajahnya.
Sosok di hadapannya semakin terlihat tak terurus.
Otot-otot yang tumbuh di tubuhnya ia dapatkan dari pekerjaan berat, bukan dari perut kekenyangan setelah makan teratur.

"Yaudah, Mpok balik dulu, ye. Abisin noh, awas aja kalo ada sisa."

"Iyee Mpokk, Sip!"

Mpok Lela membalikkan tubuhnya dan kembali berjalan menuju rumahnya yang berjarak tak begitu jauh dari rumah Bara.

Sebenarnya, Mpok Lela sengaja menyiapkan Bara sarapan hari ini.
Ia tahu, Bapak dari anak itu sedang tak ada di rumah.
Mpok Lela dengar, ia sedang ada proyek bangunan di Tasik dan tak akan pulang untuk beberapa hari.

Di antara penduduk kampung ini, hanya Mpok Lela lah yang terlihat benar-benar memedulikan nasib Bara.
Ia mengenali anak itu saat ia baru saja keluar dari rahim ibunya.
Ia paham betul sejarah tentang anak itu.
Dan ia juga tahu, Bara masih sedermawan Bara yang dulu.

Penampilannya saja yang bisa membuat orang terkecoh. Tetapi Bara begitu sopan terhadap sosok yang lebih tua darinya. Ia kerap kali membantu warga yang meminta pertolongan.
Tak ada satupun darah keji yang mengalir di tubuhnya.

Hanya saja, orang-orang lebih suka menilai tanpa ingin mencari tahu dan mengerti lebih dalam.

Bara akhirnya melahap beberapa suapan dari piring itu. Setidaknya, hari ini ia benar-benar mendapatkan tenaga untuk bekerja.
Tangannya sedari tadi masih memainkan ponselnya.
Ia mengirim satu pesan kepada salah satu temannya untuk memastikan sesuatu. Dan beberapa saat kemudian, ia mendapatkan jawaban.

"Jadi Bar, rumahnya di dalem Komplek Estherial. Walopun deket sama rumah lu, tapi lu bawa motor ya, biar kita nongki-nongki sama anak-anak pas nguli kelar."

Setelah mendapatkan konfirmasi, ia segera menghabiskan sarapannya dan berjalan kembali ke dalam rumah. Ia menyimpan terlebih dahulu piring Mpok Alpa di atas meja makan. Ia akan mencucinya dan mengembalikannya selepas urusannya selesai.

Bara membuka lemari pakaiannya dan mengambil sebuah singlet hitam senada dengan celana panjangnya.
Sejujurnya, ia tak memiliki pakaian dengan warna lain, jadi ia tak memiliki banyak pilihan.
Karena cuaca yang cukup terik, ia memutuskan untuk tak memakai luaran apapun. Lagipula tujuannya tak begitu jauh, untuk apa terlihat begitu rapih.

Selepas memakai pakaiannya untuk hari ini, Bara bergegas memakai sepatu dan meraih kunci motor di atas nakas.
Ia mengeluarkan motor hitamnya dari dalam rumah dan memarkirkannya terlebih dahulu.

Bara menutup pintu dan menguncinya. Lalu ia kembali menaiki motornya, menyakakan mesinnya, dan mengenakan helm.

Bara mengatur nafasnya terlebih dahulu. Setelah selesai, ia melajukan kecepatan motornya.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang