empat belas

100 7 0
                                    

Kana dan Bara masih setia mematung untuk beberapa saat.

Kana tak percaya, ia bisa kembali melihat sosok yang tak sengaja ditemuinya malam itu. Matanya menatap wajah Bara dengan lekat. Masih terlihat lebam di beberapa sudut, tapi warnanya sudah tak begitu pekat.
Dan satu hal lagi, ini pertama kalinya Kana bisa melihat wajah itu dengan jelas.

Bara tak percaya, ia bisa kembali melihat sosok yang telah menolongnya malam itu. Lebih tepatnya pula, ia tak menyangka sosok dihadapannya ini nyata. Ia bukan hanya imajinasinya belaka.
Ya, tentu saja. Orang itu pasti nyata, buktinya kotak obat itu masih tersimpan rapi di kamarnya.
Tapi entahlah, ada sesuatu di dalam diri Bara yang tersentuh.
Ternyata masih ada manusia di dunia ini yang sedikit mempedulikannya.

"Loh, siapa ini, Sayang? Kamu kenal?"
Belinda berjalan menghampiri Kana sembari tersenyum. Ia tak sengaja mendengar pekikkan anaknya, jadi ia simpulkan, Kana mengenali anak laki-laki itu.
Sementara Nanang memasang raut wajah bingungnya, sejak kapan Bara mengenal penghuni baru rumah ini?

Pandangan Kana dan Bara terputus dalam sekejap saat mendengar seseorang mengintrupsi.
Bara memalingkan wajahnya sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Kana mengerjapkan matanya, masih berusaha mencerna keadaan. Ia alihkan perhatiannya kepada Belinda.

"O-oh, i-ini aku eumm, aku pernah ketemu sama Mas-nya di depan mini market."
Kana mencoba menjelaskan hubungan mereka yang, entah bisa dibilang hubungan atau bukan.
Ia hanya tertawa kecil canggung, berharap sosok laki-laki itu tak merasa risih.

Belinda mengangguk mengerti.
Bara menunduk dan tersenyum ke arah Belinda, mencoba untuk sopan.

"Ini temen saya Tante, dia bakalan bantu-bantu juga hari ini."
Nanang ikut menanggapi, sepertinya ia sudah sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.

"Oh, kalau begitu, kalian sarapan dulu, ya! Ayo, sudah saya siapkan."
Belinda kembali berjalan memandu langkah mereka berdua.
Nanang dan Barapun mengekori wanita dengan surai panjang itu.

Bara masih terkesiap mengenai siapa yang baru ia temui. Tubuhnya serasa menjadi lamban untuk digerakkan.

Sementara Nanang sedang mengulum senyumnya.
Dari ekspresi wajah Bara, dari penjelasan sosok asing itu, ia menyelesaikan teka-teki ini dengan sendirinya.
Pasti anak pemilik rumah ini yang Bara temui hari itu.
Nanang tak bisa menyalahkan Bara sepenuhnya, sosok itu memang terlihat... Entahlah, ia bahkan tak bisa mendeksripsikannya.
Ia mengerti mengapa Bara sempat mengira sosok itu adalah malaikat.
Tapi tunggu, ia memanggil Bara dengan sebutan apa tadi? Mas?

Nanang sudah tak sabar untuk segera pulang dari tempat ini dan mengejek Bara habis-habisan.

Kana yang ditinggal sendiri, kembali bermain dengan anjing tetangganya.
Lebih tepatnya, ia mencoba untuk mengalihkan atensinya dari laki-laki itu.

Jujur, ia sangat malu!

Pikirannya kembali mengingat adegan memalukan yang ia lakukan malam itu.
Ia merutuki dirinya sendiri dalam diam.

Bara berkumpul dengan pekerja lainnya yang masih melahap sarapan mereka. Obrolan ringan di antara mereka ia hiraukan. Makanan di tangannya yang terlihat lezat pun tak begitu menarik perhatiannya.

Bara sesekali mencuri pandang ke arah Kana. Tapi ia alihkan kembali, setiap kali yang di pandang dirasa akan berbalik dan memeregokinya.
Haduh! Mengapa ia serasa menjadi seorang penguntit.

Bara mencoba untuk fokus melahap nasi bungkus itu dan mengenyahkan suara-suara di kepalanya.
Hanya saja, ia sedang berpikir.
Apa ia harus kembali mengatakan terimakasih?
Mungkin saat itu, ia tak terdengar sungguh-sungguh.
Terlebih sikapnya sangat ketus dan bisa membuat orang itu salah paham.
Tapi, ia menjadi sangat gugup saat berpikir ia harus kembali berbicara dengannya.
Akh, sudahlah, bisa-bisa energinya habis duluan sebelum mulai bekerja.

Setelah semua pekerja menyelesaikan sarapan, Elian menjelaskan kepada mereka bagaimana visualisasi akhir yang ia inginkan.
Cat yang terlihat seperti campuran biru, ungu, dan metalic itu kini sudah dikeluarkan sedikit demi sedikit dari embernya. Roller sebagai alat perpindahan warna sudah dibagikan.
Para pekerja berembuk sebentar dan membagikan area masing-masing agar lebih efisien.

Dan hari pun dimulai.

Mereka semua bekerja dengan sangat kompak dan baik. Walau tak selues yang ahli, Elian dan Arga tetap ingin membantu untuk meringankan.
Sementara Belinda sedang memasak di dapur untuk makan siang para pegawai nanti siang.

Bara meminum air dari botol mineral yang sudah disiapkan oleh pemilik rumah. Tangannya mengelap keringat yang sedikit bercucuran di keningnya.
Matahari sudah menampakkan jati dirinya.

Bagian rendah dari sudut samping rumah ini sudah ia kerjakan dengan cukup rapi—mungkin satu kali lagi timpa saat nanti sudah kering.
Bara mendongak ke atas, dinding luar dari lantai dua masih polos.

Bara berjalan menuju salah satu pekerja dan meminjam tangga yang sudah tak lagi ia pakai.
Lalu ia ambil sebuah meja kayu untuk menyimpan cat bagiannya, agar ia tak perlu bolak-balik mengambil cat itu saat sudah habis.

Ia menaiki tangga besi itu dan perlahan demi perlahan ia baluri dinding putih di hadapannya dari ujung bagian awal.
Secara telaten ia kerjakan tugasnya dengan baik, dengan berusaha tak meninggalkan satu titik kecil pun yang masih belum tertutup.
Terus ia lakukan itu, hingga ia sampai di bagian jendela.

Bara memindahkan tangganya sedikit lebih meminggir, agar ia bisa lebih leluasa. Kakinya kembali menaiki satu persatu tangga itu. Tangannya yang memegang roller kembali ia putar dengan lihai.
Tapi tak sengaja, ia melihat sesuatu dari balik jendela.

Bara menghentikan kegiatannya untuk sejenak. Ia melihat orang itu ada di dalam sana.
Bara menghela nafasnya gusar.
Ia perhatikan apa yang orang itu sedang lakukan.

Kana menatap dinding kamarnya lekat-lekat, ia bertanya kepada dirinya sendiri; apa ini sudah sama seperti apa yang ada dipikirannya?

Kana menutup matanya terlebih dahulu. Ia ingat baik-baik sebuah memori yang menjadi inspirasinya hari ini.
Hembusan angin, aliran air, suara tawa keluarganya.

Kana kembali membuka matanya.
Langit ungu, laut biru, dua dunia bertemu.
Ia semakin memingatnya.

Kana kembali menggerakkan sebuah pensil dengan jari-jarinya. Seperti sebuah tarian, ia membiarkan jiwanya mengambil alih raganya.
Setelah berkutat untuk beberapa saat, Kana berjalan mundur untuk memandangi garis tangan di hadapannya.

Ia tersenyum tipis, sketsanya sudah jadi. Tugasnya sekarang hanyalah membuat kenangannya menjadi lebih menyala.

Kana membalikkan tubuhnya untuk mencari cat yang sudah ia siapkan.
Tapi tak sengaja, matanya menangkap
seseorang yang sedang menatapnya dari balik jendela.

Bara gelagapan saat aksinya ketahuan oleh yang diperhatikan. Ia palingkan wajahnya dan kembali melakukan kegiatannya, mencoba untuk terlihat sibuk.

Sialan! Ia benar-benar menjadi seorang penguntit!

Kana mengurungkan niatnya untuk mengambil cat dari keranjang rajut seninya.
Ia mengulum bibirnya.
Sepertinya Mas-mas itu sedang mengecat bagian luar kamarnya dan tak sengaja melihat dirinya sedang menggambar.

Rasa malunya bertambah.
Semoga saja ia tak melakukan hal yang aneh tadi.

Kana kembali melirik lelaki itu dengan ujung matanya.
Ia berpikir untuk sejenak.

Apa perlu ia hampiri orang itu? Sejujurnya, ia ingin menanyakan kabarnya. Ia tahu, ini akan terasa memalukan. Tapi jika begini terus, hubungan di antara mereka pasti akan terus menerus canggung. Ditambah, jika memang jarak rumah mereka tak begitu jauh, mereka pasti akan saling berpas-pasan lagi suatu hari nanti.
Jadi lebih baik, ia cairkan saja es yang menghalingi mereka.

Kana mengangguk samar.
Kakinya secara pelan tapi pasti berjalan menuju arah jendela.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang