"Kana tadi keren banget dah, jujur gua masih kaget."
"Iya, Na. Tadi lo hebat banget main basketnya."
"Lu pada liat gak muka si Daniel? Ngakak banget gue."
"Iyaa, cengo gitu kaya orang bego."
"Shhh... kalo ngomong jangan suka bener."
Lintang, Dafa, Izal, Leni, dan Wulan tengah berbincang sembari menertawakan kejadian yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu. Tangan dan mulut mereka dipenuhi oleh jajanan kaki lima yang baru saja mereka beli.
Nama Kana juga masih tetap mereka sebut-sebut disertai dengan kalimat takjub setelahnya.
Sementara sang pemilik nama hanya bisa terkekeh kecil sebagai tanggapan atas pujian yang tak hentinya ia dapatkan.Kana membiarkan kelima temannya untuk berada di depan barisan agar ia bisa mengawasi mereka, takut-takut jika ada salah satu dari temannya yang salah ambil jalur dan malah terpisah. Saat ini mereka baru saja turun dari bus yang biasa Kana tumpangi, kira-kira jarak rumahnya sudah tak jauh lagi. Beruntung cuaca hari ini mendukung, jadi rasa penat tak akan begitu terasa jika ada angin sepoi-sepoi yang kian berhembus.
Kana menikmati keadaan yang terasa sangat harmonis ini, ditemani oleh Bara disampingnya.
Bara sudah menolak permintaan Kana untuk ikut bergabung bermain bersama kelima kawannya, ia pikir mungkin Kana memerlukan waktu untuk berbaur dengan teman-temannya sendiri.
Tapi setelah diyakinkan, akhirnya ia setuju."Iya, Na. Bukannya waktu itu lo bilang kalau lo gak suka main bola, ya?"
Bara ikut bergabung dalam percakapan. Sedari tadi ia masih bertanya-tanya darimana Kana bisa mendapatkan skill bermain basket seperti itu.
"Emang iya. Kalau buat sepak bola gue emang gak bisa mainnya, walaupun dulu gue suka nontonin temen gue tanding. Anehnya gue emang lemah di bidang olahraga yang satu itu. Mungkin emang bukan tempatnya aja. Tapi buat olahraga lain, kaya bola tangan, bulu tangkis, atau renang... Gue bisa sih lumayan."
Kana memasukkan jelly stick berwarna merah muda ke dalam mulutnya sebelum kembali berbicara.
"Keluarga gue kebanyakan atlet. Dulu juga Ayah sama Mama gue ketemu waktu olimpiade gitu. Ayah gue ikutan lomba basket dan Mama gue ikutan lomba renang. Dari kecil gue suka diajak main basket sama Ayah, jadi dari situ sih gue tau dikit-dikit. Tapi Kakak gue yang jauh lebih jago, soalnya gue dari dulu emang ogah-ogahan. Makannya jangan pada heran ya kenapa gue pendek."
Kalimat terakhir dari ucapan Kana mengundang tawa renyah dari para remaja yang lain. Mereka ikut mendengarkan cerita Kana dengan begitu seksama.
Jika dipikir lagi, mereka belum mengetahui banyak hal mengenai sosok dengan rambut coklat kemerahan itu."Tapi emang bener, gue gak begitu suka olahraga. Renang sih gue suka-suka aja, tapi itu pun ya... Cuman sekedar suka aja."
Bara menganggukkan kepalanya paham. Masuk akal juga, karena memang ketiga anggota keluarganya Kana memiliki tinggi yang di atas rata-rata.
"Tapi kok lo bisa sih masukin bola langsung ke ring nya kaya tadi, kayanya gue yang 185 senti aja gak bisa segampang itu."
Pertanyaan polos dari Bara membuat Kana berdecak dan menyikut pinggulnya. Yang lebih tinggi sedikit terlonjak kaget karena merasakan geli.
"Sombong!"
Kana mengerucutkan bibirnya, berpura-pura bertingkah kesal.
Bara yang melihat itu hanya bisa menahan kekehannya, ia tak bermaksud untuk menyinggung perbedaan tinggi mereka."Sebenernya sih gue juga gak tau gimana caranya. Mungkin karena gue pernah ikut kelas dance, jadi body flow gue lebih bisa diatur. Gue kira setiap orang bisa kaya gitu juga, so i've never seen it as something extraordinary actually."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomansaSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...