enam delapan

32 4 1
                                    

Bara mengendarai kendaraannya dengan kecepatan sedang. Setelah melewati rumah-rumah disekitar pemukimannya, ia melenggang memasuki gapura Estherial. Ia pula menyapa Pak Joko—satpam komplek sekaligus tetangganya—saat mereka tak sengaja berpas-pasan.

Pagi ini tak terasa begitu kelabu, sinar matahari memberikan warna saturasi yang lebih terang kepada bumi. Pemukiman mewah dengan rumah gedungan itu pun tak pula terasa sepi. Sesekali Bara mendapati beberapa insan lain yang tengah menyiram tanaman atau sekedar bersantai di pekarangan.

Mungkin mereka sudah kembali pulang, pikirnya.

Suasana hati Bara jauh lebih baik hari ini. Biasanya ia akan selalu bergerak dengan lunglai dan memasang wajah lesu saat terbangun di pagi hari. Tapi untuk yang kesekian kalinya selama beberapa minggu terakhir, ada hari dimana Bara dengan ironinya menanti fajar untuk segera menyingsing.

Entahlah, Bara pun tak begitu paham. Yang jelas, ia selalu menjadi lebih bersemangat saat mengetahui fakta bahwa ia dan Kana akan segera berjumpa.

Setelah rumah yang ia tuju sudah berada di hadapan, Bara dengan perlahan mulai menghentikan mesin motornya. Kepalanya sedikit celingukan ke arah jendela, berpikir mungkin Kana bisa melihat dirinya dari dalam sana.
Ingin memastikan, Bara akhirnya memutuskan untuk meraih ponselnya terlebih dahulu dan mengirimkan Kana sebuah pesan.

Tetapi saat ia hendak menekan tombol pesawat, suara gebrakan pintu menghentikan aksinya.

Bara yang melihat sosok itu pun spontan kembali mematikan layar benda pipih di tangannya, tak lupa senyuman juga ikut mengembang di wajahnya.

Kana berjalan dengan terburu-buru menghampiri Bara. Dahinya mengerut menunjukkan rasa cemas.
Ranselnya bahkan belum tergantung dengan rapih di pundaknya.

"Lo udah nunggu lama?"
Kana menarik bibirnya menjadi segaris, berharap bahwa pertanyaannya tak diangguki.

Bara memasang raut kikuknya. Tadinya ia hendak menyapa Kana terlebih dahulu, tetapi sosok itu malah terlihat panik sendiri sehingga membuat Bara kebingungan.

Ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Kana menghela nafasnya dengan lega. Dadanya jauh lebih melongpong sekarang.

"Emangnya kenapa, Na?"
Tanya Bara yang masih penasaran.

Kana terkekeh sembari menggaruk poninya yang belum mengering.
"Gue bangunnya telat tadi. Soalnya kemaren gue keterusan ngerjain PR sama tugas Osis sampe tengah malem. Mama sama Ayah juga lagi pergi ke Bandung, jadi gak ada yang bangunin gue. Makannya tadi gue langsung buru-buru mandi. Terus waktu turun, gue udah ngeliat lo aja disini. Makannya gue mikir kalau lo udah nungguin lama."

Bara bergumam sembari menyerap penjelasan itu.
"Bang Arga juga gak ada, kah?"

Kana mencebikkan bibirnya,
"Ada, lagi mandi tuh orangnya. Masa coba, dia udah bangun dari tadi, tapi dia gak ngebangunin gue. Katanya, dia mikir gue udah berangkat."

Bara terkekeh kecil kala melihat Kana yang kini tengah menggerutu. Jarang sekali ia melihat sisi lain dari wajah ramahnya.

Bara merogoh helm yang sedari tadi tergantung dan menyodorkannya kepada Kana.
Bibir Kana yang melengkung ke bawah mulai kembali tertarik ke atas saat netranya menangkap wujud benda itu.

Kana dengan sumringah menerima sodoran Bara dan mulai memasang  perlengkapan berkendara itu di kepalanya.

Bara tanpa sadar mulai kembali memandangi Kana. Bibirnya pun dengan halus mulai mengeluarkan kata-kata.
"Na, helmnya lo bawa pulang aja ya. Jadi kalau nanti gue anter atau jemput, helmnya udah ada sama lo."

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang