lima tujuh

56 6 0
                                    

Kana melambaikan tangannya tatkala netra coklat itu menemukan sosok yang sedang ia cari-cari.
Senyuman lebar dan lambaian tangan juga terlontar dari perempuan berponi yang rambutnya saat ini ia gelung menjadi dua.

Kana berlari kecil menghampirinya, sesekali ia menunduk sopan dan menarik bibirnya tipis saat harus melewati beberapa orang di dalam aula.

"Hai, Lan! Gue telat gak? Belum pada mulai, kan?"
Kana celingukkan untuk memastikan.
Murid-murid sekolahnya yang juga mengikuti ekstrakulikuler theater sudah memenuhi ruangan itu. Mereka tampil lebih santai dengan pakaian kasualnya.

Jumat kemarin sebelum pulang, para murid yang sudah mendaftar ekskul itu diwajibkan untuk berkumpul terlebih dahulu.
Mereka diberi tahu bahwa esok hari latihan rutin akan mulai dilaksanakan.
Mereka dilarang untuk memakai pakaian yang bertekstur keras seperti jeans—pakaian berbahan lembut lebih dianjurkan karena aktifitas mereka yang akan terus menggerakkan tubuh. Mereka pula dianjurkan untuk membawa bekal makanan dari rumah, karena kantin biasanya tak akan buka saat hari libur.

"Hai Na! Enggak lo gak telat, belom pada mulai kok!"
Wulan menggangguk meyakinkan.

"Tapi ini nih, kayanya si botak masih ngebo deh. Udah gue chat dari pagi tapi belom di bales-bales juga. Awas aja ya kalo tu orang gak jadi dateng."
Senyuman di wajah Wulan hilang dalam seketika saat kalimat itu dilontarkan. Tangannya dilipat di atas dada sembari sesekali menengok ke arah pintu.

"Palingan lagi di jalan. Dia enggak sempet buka hp kali."

Kana mencoba menenangkan. Segala sesuatu hal mengenai laki-laki itu, selalu membuat Wulan menggebu-gebu untuk alasan-alasan tertentu.

"Iya kali ya, ta—Nah, tuh orangnya!"

Kana membalikkan tubuhnya ke arah mata itu mendelik.
Sosok laki-laki tengah menerawang ke seluruh ruangan, seperti anak ayam yang mencari induknya.

"Izal! Sini!"

Sautan Kana membuat Izal mengarahkan pandanganya ke ujung ruangan.

Wajah kebingungannya digantikan oleh raut sumringah. Kedua kaki jenjangnya ia langkahkan dengan cepat untuk menghampiri mereka.

"Hai, Na—"

"Kemana aja lu!? Udah gue chat dari pagi, kaga dibales-bales!"
Belum sempat Izal menyelesaikan sapaanya, Wulan sudah memotong kalimatnya dengan wajah yang menyelidik.

"Gue tadi kesiangan hehe, sorry ya. Terus gue jajan dulu otak-otak di depan, hihi!"
Izal menggaruk kepalanya sembari mengikik tak bersalah.

"Heh! Bukannya udah dikasih tau ya kalo kita dianjurin bawa bekel dari rumah?"

"Iya hehe, gue lupa bawa bekel tadi. Terus ya terpaksa gue jajan dulu, soalnya gue blom sarapan. Laper banget gak kuat gue."

Izal menunjukkan plastik jajanannya yang sudah hampir habis.
Wulan yang melihat itu hanya bisa mendengus.

"Lo pagi-pagi malah jajan yang gak sehat-sehat. Kenapa gak beli nasi aja sih sekalian? Kan banyak tuh di pinggir jalan."

Izal mengulum bibirnya,
"Ya gue juga tadinya mau beli nasi uduk. Tapi warungnya pada tutup. Warteg di deket halte juga katanya masih pada masak, jadi belom ada apa-apa."

Wulan menghela nafasnya, raut kesalnya perlahan-lahan mulai mengendur.
"Yaudah, nanti pas istirahat lo ikut makan bekel gue aja."

Yang mendapatkan tawaran pun, menyunginggkan senyum kemenangannya.

Sementara Kana yang sedari tadi menyaksikan hanya bisa mengangkat ujung bibirnya dengan kepala yang agak dimiringkan.

Tumben sekali mereka akur.
Atau jangan-jangan mereka memang selalu seperti ini.

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang