Kana dan Bara berjalan beriringan dibawah cahaya lampu penerangan.
Bara memaksa untuk menemani
Kana pulang."Serius Bar, kaki lo gak sakit?"
Kana untuk kesekiakan kalinya memastikan keadaan Bara yang masih mengkhawatirkan."Enggak, emang dari awal juga sakitnya gak seberapa kok."
Bara tetap kukuh untuk mengelak.
Karena pada dasarnya, luka yang saat ini ia alami tak separah dengan luka-luka lainnya yang pernah ia dapatkan.Kana berdecak kecil,
"Ih, padahal kan gue bisa loh pulang sendiri.""Beneran? nanti kalau ada hantu yang nungguin lo di depan gimana?"
"Gak takut!"
"Ah masa? Lo tau gak sih, katanya ada orang yang pernah liat penampakan gitu. Jadi ceritanya ada bapak-bapak yang lewat sini malem-malem, terus dia ngeliat ada perempuan pake baju merah lagi ngelewat juga tapi berlawanan arah. Si bapak ini negur dia, bilang kaya 'mba mau ke mana malam-malam seperti ini?' perempuan itu ngejawab, 'ke depan Pak.' Karena ngerasa gak ada yang mencurigakan, si bapak pergi aja tuh ngelanjutin perjalanannya. Nah, tapi dia ngerasa kalau tiba-tiba ada suara gitu dari belakang. Pas dia nengok, perempuan yang tadi lagi ngerangkak kaya laba-laba ke arah si bapak ini."
Kana hanya mangut-mangut sembari membulatkan bibirnya sebagai respon,
"Oh..""Oh doang?"
Bara mengerjapkan matanya, padahal ia sudah bercerita seserius mungkin.Kana mengendikkan bahunya,
"Ya terus harus gim—"Kana tiba-tiba menghentikkan langkahnya, kalimatnya bahkan tak ia selesaikan. Bara yang langsung menyadari itupun melakukan hal yang sama.
"Kenapa?"
Bukannya menjawab pertanyaan Bara, Kana malah mengacungkan jari telunjuk di bibirnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti sedang memastikan sesuatu.
"Lo denger gak?"
Kana mengubah volume suranya menjadi setengah berbisik. Alisnya naik dan tatapannya menelisik."D-denger apa?"
Bara menyadari suasana yang berubah mencekam setelah Kana mengucapkan pertanyaan itu."Tadi gue denger ada—BARA ITU APA!"
Kana melebarkan matanya dan menunjuk sesuatu di belakang Bara.
Bara yang tersentak secara spontan menarik tangan Kana dan membawanya berlari."A-ADA APA?!"
Bara sedikit berteriak dengan nafas yang terengah-engah, ia masih enggan untuk melepaskan tangan Kana. Bahkan langkahnya yang tadi sedikit tertatih pun enyah begitu saja, seolah-olah nyawa mereka menjadi taruhannya."Hmpfth—HAHAHAHA!"
Kana yang mulai kewalahan karena tiba-tiba dibawa berlari oleh Bara tanpa persiapan pun, akhirnya tak kuasa lagi menahan tawa.Bara mulai melepaskan tautan di tangannya, laju kakinya pun ikut terhenti dalam seketika.
Ia menoleh kepada sosok di sampingnya dengan raut kebingungan."Lo kenapa ketawa?..."
Kana menekan perutnya yang mulai terasa sakit karena tak kunjung bisa menghentikan tawa renyahnya.
"Bara-bara, lo yang cerita kok malah lo yang takut sih?"
Bara menautkan alisnya dengan mulut yang menganga, jadi ia baru saja ditipu?!
"Ohhh, berani ya lo ngebohingin gue!"
Bara tak merasa kesal sama sekali, malah ia ikut menertawakan kelakuannya sendiri."Makannya jangan suka nakut-nakutin! Eh, tapi kaki lo gimana?! Sakit gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...