Kana menengadahkan kepalanya saat matanya menangkap sesosok figur yang berjalan memasuki kelas.
Rambut berantakan yang masih setengah basah, seragam yang sedikit kusut dengan atribut yang dipasang asal, ransel hitam yang menggantung di pundak kanannya.
Kana tersenyum tipis, ia sudah menanti kehadirannya.
Kemarin ia tak sempat menyapa Bara secara langsung. Selepas berkeliling dengan Ryan, guru bahasa indonesia masuk begitu saja tanpa menyisakan waktu lenggang. Kana sudah berniat untuk menghampirinya saat bel pelajaran sudah habis, tetapi Bara malah pergi secepat mungkin setelah suara musik itu berbunyi.
Bara menyimpan ransel dan menyugar rambutnya terlebih dahulu sebelum duduk. Ia berdiri di hadapan jendela kelas untuk melihat setidaknya bayang-bayang dari wujudnya walaupun buram. Ia berdiri memunggungi Kana.
Kana menggigit bibirnya, mungkin ini waktu yang tepat.
"Sebentar ya,"
Kana permisi terlebih dahulu kepada kelima sekawan yang sedari tadi masih mengobrol, meninggalkan sedikit kerutan mengenai kemana Kana akan pergi.
Kana berjalan perlahan dengan langkah yang kecil.
Sesekali ia berhenti dan bertanya kepada dirinya sendiri, apa harus saat ini?Entah mengapa ia serasa begitu gugup hanya untuk berkata 'hai' kepada Bara. Ia bahkan bukan orang yang asing bagi Kana.
Mungkin karena pertemuan mereka yang masih diluar dugaannya.Ada sedikit rasa aneh yang menggantung di hati Kana mengenai Bara. Sesuatu yang tak pernah ia ungkap kepada dirinya sendiri.
Saat Kana menatap Bara.
Ia teringat dengan kampung halamannya, ia teringat dengan rasa roti panggang di toko langganannya, ia teringat dengan aroma pakaian yang baru Belinda setrika, ia teringat dengan warna pagi hari di minggu buta, ia teringat dengan lembutnya bulu Priscilla, ia teringat dengan belaian menenangkan Fino.Ada sesuatu mengenai Bara yang terasa begitu dekat dengannya.
Mungkin karena itu pula, ia lebih mudah untuk beradaptasi sekarang.
Karena Bara memberikan kesan
bahwa masih ada orang baik di luar sana.
Laki-laki baik di luar sana.Kana sudah berdiri satu meter di belakang Bara.
Ia menghela nafasnya,
"Bara!"
Bara menolehkan kepalanya, mencari asal suara yang memanggil namanya.
Sama halnya dengan Kana.
Lisa berdiri di depan kelas sembari melambaikan tangannya.
Bara menautkan alisnya untuk sejenak, sampai ia teringat alasan mengapa Lisa menghampirinya kemari.
Ia mengelap tangannya yang sedikit basah ke atas seragam, lalu berjalan untuk menemui Lisa yang sedang menenteng tote bag putih.Meninggalkan Kana dengan kata yang masih tersekat di kerongkongannya.
Kana mengerjapkan matanya, menyaksikan kedua orang itu berlalu keluar dari kelas.
Sepertinya ini bukan waktu yang tepat, Bara sedang ada urusan.
Dengan kikuk, ia kembali berbalik arah dan melangkahkan kakinya.
Sejujurnya, Lisa sangat malu harus menghampiri Bara ke kelasnya.
Tapi karena ia sudah bertekad untuk bertanggung jawab, Lisa lahap habis semua rasa enggannya."Eum... Ini Bar, sekali lagi makasih dan maaf ya soal kemaren."
Bara menerima sodoran tas itu dari Lisa.
"Iya sama-sama, lo gak usah minta maaf lagi. Lain kali lebih ati-ati kalau deket jalan raya, jangan sambil main hp, mata fokusin ke sekeliling. Btw, makasih ya udah nyuciin baju gue."
Lisa mengganguk dengan air muka bersalah. Ia benar-benar sangat ceroboh kemarin. Ia bahkan tak berani untuk memberi tahu kedua orang tuanya itu, bisa-bisa Lisa akan terus dipantau 24 jam.
Tapi Lisa berjanji, ia akan lebih berhati-hati dan berpikir cermat dengan setiap hal mulai sekarang.
Bara sedikit mengintip isi tote bag itu, pandangannya seperti menangkap sesuatu yang tak berbentuk seperti seragamnya.
Ia merogoh benda itu dan mengeluarkannya.
Lisa yang menyadari Bara kini sudah mengetahui benda kotak yang ia selipkan tadi, menjadi sedikit gelagapan.
"E-eh, itu sandwich buat lo. Tadi pagi gue buat lebih. T-tapi kalo lo gak mau gapapa kok, lo bisa kasih ke orang lain, atau mau gue ambil balik aja?"
Lisa sudah mempersiapkan skenario terburuk yang akan terjadi. Mungkin Bara akan merasa risih dengan perlakuan Lisa. Tapi sungguh, Lisa tak ada maksud apapun, ia hanya ingin memberi hadiah lain sebagai ucapan terimakasih.
Bara menghela nafasnya sembari tersenyum,
"Makasih ya Lisa, gue bakal makan ini."
Waktu rasanya seperti berhenti untuk Lisa. Ia seperti kehilangan kemampuannya untuk bernafas.
Bara menyebut namanya. Lisa.
Bara sekarang mengetahui keberadaan dirinya.Terlebih senyum itu.
Senyum yang sudah ia tunggu bertahun-tahun lamanya.Semuanya terbalas sudah.
Lisa menganggukkan kepalanya dengan senyum di wajah cantiknya.
"Gue duluan ya."
Bara balas mengangguk paham dan kembali memasuki kelasnya saat Lisa sudah berbalik arah.
Lisa serasa masih terbang di langit ketujuh. Semuanya terasa seperti mimpi. Ada rasa enggan untuk meninggalkan Bara, ia masih ingin melihat senyum dari malaikat penolongnya itu.
"Cieee... Yang abis ngapelin mas gebetan."
Jejes—sahabatnya dari SMP itu segera menghampiri Lisa yang masih sibuk senyum-senyum sendiri. Tadi pagi, Lisa meminta Jejes untuk menemaninya ke kelas Bara. Tapi ia diperintahkan untuk menunggu sedikit jauh, alasannya karena Lisa tak ingin Jejes sampai menjahilinya dan membuat Bara curiga.
"Apaan sih Jes, jangan nyebelin deh. Masih pagi ini."
Tutur kesal dari Lisa berbanding terbalik dengan lengkungan bibirnya yang semakin menaik.
"Aaacieeee... Yang akhirnya dinotice!"
Wildan yang baru datang ke kelas, segera menghampiri Bara dan meraih tas jinjing itu dari atas meja untuk memastikan sesuatu.
Ia sebenarnya sudah menyaksikan apa yang baru saja terjadi di depan kelasnya."Ohhh, ternyata yang katanya jomblo, diem-diem udah punya pacar ya..."
Bara mengurungkan niatnya yang hendak mendaratkan tubuh di atas bangku, satu alisnya menaik dan menukik mendengar perkataan Wildan.
"Siapa?"
Wildan berkacak pinggang jengah,
"Ya elu lah, tong, siapa lagi?"
Bara masih tak mengerti maksud temannya itu apa.
"Lu sama Lisa pacaran kan? Pantes aja dia setiap nemenin Jejes ketemu Asep pasti suka senyum-senyum sendiri kalo ada lo. Sekarang semuanya masuk akal!"
Wildan berbicara penuh kemenangan saat ia berpikir telah berhasil memecahkan misteri dunia.
Bara yang kini mengerti arah dari tuduhan Wildan hendak mengelak,
"Apaan sih lo, eng—"
"Udah-udah, gue gak akan bocorin sama anak-anak yang lain. Asalkan ini nih, PJ!"
Wildan menggesek jari jempol dan telunjuknya.
Bara menghembuskan nafasnya, ia lelah menghadapi manusia setengah burung beo yang satu ini. Biarkan saja mulutnya berbusa sendiri.
Sementara di ujung yang lain, Kana tak sengaja mendengar semua perbicangan antara dua orang itu.
Binar matanya sedikit meredup.
Bara... Memiliki kekasih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...