Kana sepertinya akan menyudahi acara tanam menanamnya hari ini. Secara penampilan, taman itu sudah sesuai seperti apa yang ada di bayangannya.
Hanya perlu di elevate lagi lain kali.Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk kembali melanjutkan dinding kamarnya yang belum selesai dipoles.
Kana menepuk-nepukkan tangannya, berusaha membersihkan sisa-sisa tanah yang masih menempel di sela-sela jari.
Ia berjalan menuju wastafel di taman belakang itu. Seraya mencuci tangannya, Kana memperhatikan Bara yang masih sibuk mengecat.Ia masih tak menyangka bisa kembali bertemu dengannya. Hanya diawali oleh ketidak sengajaan, tetapi garis tangan mereka masih tersambung sampai saat ini. Entahlah sampai kapan, tapi ia sangat senang memiliki seseorang untuk diajak bicara. Awalnya Bara memang terlihat mengintimidasi, tetapi setelah melihatnya beberapa kali tersenyum, ekspresi garang yang sering ia tunjukkan ternyata hanyalah lapisan atas dari dirinya. Kana rasa masih banyak lapisan lain yang belum ia ketahui.
Ditambah, Bara ternyata seumuran dengan dirinya dan dia sudah sibuk bekerja. Pekerjaanya pun bukan sesuatu yang terbilang mudah untuk dijalani remaja seusia mereka.
Kana tak ingin berasumsi, tetapi mungkin Bara bukan datang dari keluarga yang berada atau berkecukupan. Tetapi mungkin juga, Bara bekerja karena kemaunnya sendiri dan tak ada sangkut pautnya dengan perekonomian.
Tetapi apapun alasannya, Bara terlihat sangat telaten dalam menjalani kehidupannya.Kana mungkin tak akan sanggup, jika ia berada di dalam sepatunya.
Tanpa sadar, Kana berjalan menghampiri Bara. Kini ia memperhatikan karya tangan orang itu, hasilnya ternyata memuaskan.
"Wahh, hebat banget Bara, catnya gak belang-belang."
Bara yang baru menyadari Kana sudah berdiri di sampingnya, hanya menggeleng kecil; mengelak pujiannya.
"Gak ada apa-apanya kok ini. Berkat Abang-Abang yang lain juga, jadi gue gak begitu susah ngimbangin."
Bara masih berkutat dengan pekerjaannya.
Sementara mata Kana yang awalnya memperhatikan penyatuan antara warna periwinkle dan putih itu, kini beralih menatap Bara.Rambut gagak hitamnya sedikit basah karena keringat yang bercucuran di dahinya. Sesekali Bara mengenakan punggung lengannya untuk menyeka. Otot biseps nya yang tak terbalut apapun tercetak jelas saat menaik turuni roller nya.
Cahaya matahari yang hampir menguning, menerangi tubuh Bara seperti menyorotinya.
Keduanya melebur dan meninggalkan kesan seolah kulit sawo matangnya terbuat dari emas."I love your skin."
Bara menghentikan pergerakkannya.
Apa telinganya saat ini tak salah dengar?
Dengan perlahan, ia menolehkan kepalanya untuk memastikan apakah perkataan itu benar-benar keluar dari sosok yang ada di sampingnya.Kana yang awalnya masih memandangi kulit Bara, kini beralih menatap wajahnya.
Kana mengerjapkan matanya untuk beberapa saat, sampai ia perhatikan baik-baik ekspresi Bara yang terlihat kebingungan.
Kana merasa aneh, apa yang salah?
Tapi tunggu, ia mencoba untuk mengingat ucapannya tadi dan mencernanya lagi lebih baik.Mata Kana terbelalak dalam seketika,
"EHH, maksud gue bukan gitu, euh.
I love your skintone! Maksudnya kulit lo tan gitu, bagus, eksotis. Maaf, gue gak bermaksud yang aneh-aneh, kok, eum..."Kana gelagapan sendiri berusaha meluruskan kesalah pahaman.
Tapi ia rasa, wajahnya sudah kepalang sangat merah sekarang.
Ia pun melihat lengannya seolah-olah memeriksa jam tangan—padahal ia tak memakainya."Ehh, udah jam segini. Gue masuk dulu, ya, dahhh!"
"Na, Tu—"
Kana berlari memasuki rumahnya secepat kilat, meninggalkan Bara yang berusaha mencegatnya tetapi tak bisa.
Kana menutup wajahnya yang sudah seperti strawberry yang ia tadi tanam, sangat memalukan jika ada orang rumah yang melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arkana dan Albara
RomanceSurat cinta untuk masa remaja, simfoni pahit dan manisnya cinta pertama, senandung kosong berdebu dari sebuah duka. . . . Arkana memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya setelah sempat terjatuh ke jurang depresi. Rumah baru, sekolah baru, kota...