lima sembilan

57 5 0
                                    

Bara membawa beberapa piring dari rak dapurnya. Nafasnya ia buang dengan kasar. Matanya bahkan belum benar-benar terbuka. Nyawanya bahkan belum benar-benar terkumpul.

Kakinya ia langkahkan menuju teras rumah. Suara gaduh dan tawa sudah mulai kembali menggandrungi indra pendengarannya.

Dengan malas, ia menyodorkan barang bawaanya kepada empat manusia setengah kuda yang tengah mengobrol ria.

"Lu pada ngapain sih kemari?"

Bukannya Bara tak senang mereka berkunjung.
Hanya saja mengapa mereka harus datang ke rumahnya sepagi ini?!
Ya sebenernya, jam 9 tak begitu pagi.
Hanya saja ia masih ingin istirahat dan bermalas-malasan di rumahmumpung laki-laki itu sedang tak ada.

"Galak amat sih lu, kita juga dateng gak kosong tangan lagi. Nih, lo belom sarapan, kan?"

Nanang menyimpan satu persatu bungkus ketoprak ke atas lima piring, lalu menyodorkan salah satunya kepada Bara.

"Hooh, si Boss sombong nih akhir-akhir ini. Lu kemana aja sih? Kok kemaren-kemaren gak ikut ngumpul?"
Asep mengambil piring bagiannya dan membuka bungkus ketoprak itu.

"Iya, Bar. Kita kan dateng ke sini sebagai bentuk ke khawatiran. Kirain kan lu sakit atau gimana gitu, kemarin pas si Giri neraktir aja lu malah gak ikut alesannya gak enak badan."
Padli ikut menimpali.

Bara kini menghela nafasnya pasrah, ia menerima sodoran dari Nanang dan ikut mendaratkan tubuhnya.

"Dia kan udah punya cemimiw, jadi sibuk lah pasti."
Wildan tertawa cekikikan sembari mengunyah makanan miliknya.

"Hah, siapa?"
Walaupun menautkan alisnya, Nanang tak begitu mengindahkan ucapan Wildan. Bara memiliki kekasih? Rasanya tak mungkin.

"Lisa."

"HAH?!"
Padli dan Asep sontak memekik.
Bara yang bahkan dalam proses menelan tahu, hampir tersedak dibuatnya.

"Lo bilang gak akan kasih tau siapa-siapa!"

"HAH?!?!"
Nanang kini ikut menjadi bagian dari mereka yang terkejut bukan main.
Secara kompak, ketiga laki-laki itu membulatkan mata mereka sembari menutup mulut yang menganga.

"E-ehh, bu-bukan git-"
Bara menggaruk rambutnya frustasi.
Mengapa ucapannya barusan seperti sedang mengonfirmasi kebenaran hubungannya dengan Lisa?

Sementara Wildan kini masih menyantap ketopraknya tanpa raut bersalah sama sekali.

"Ini serius Bar?"
Padli menyenggol lengan Bara.

"Tunggu, ini Lisa temennya Jejes, kan?"
Asep menjelajahkan pandangannya. Kepalanya sedang memutar ulang setiap interaksi yang ia punya dengan perempuan itu.

"Ohh, yang waktu itu ikut Jejes ke warung Pak Slamet? Yang pake baju pink bukan?"

Asep mengangguk yakin saat pertanyaan dari Nanang itu dilayangkan.

Lisa memang sempat beberapa kali menemani Jejes saat Asep ingin bertemu dengannya.

"Bukan gitu..."

Sautan lemah dari Bara membuat keempat orang itu mengalihkan perhatiannya.

"Jadi ceritanya gue waktu itu gak sengaja ketemu sama Lisa di jalan. Dia hampir ketabrak, terus gue tolongin dia. Seragam gue basah gara-gara dia gak sengaja numpahin minumannya. Karena ngerasa gak enak, dia minta buat nyuciin seragam gue. Ya akhirnya gue terima aja. Kebesokannya dia ngembaliin seragaam gue, tapi dia ngasih makanan juga. Katanya sebagai bentuk terimakasih dan permintaan maaf lagi. Yaudah, gue terima juga. Nah, kebetulan si Wildan gak sengaja liat gue lagi dikasih barang itu. Dia ngiranya gue ada apa-apa sama Lisa. Gue yang males jelasin ya udah diem aja,"

Arkana dan AlbaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang