38. Red

145 8 3
                                    

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Saat ini Dynne sedang berhadapan dengan kakaknya—Lilien, mereka adalah saudara yang selama bertahun-tahun ini jarang sekali bertemu. Entah karena kesibukan mereka masing-masing, atau faktor yang terjadi pada keluarga mereka. Hingga saat ini pun, ketika orangtua mereka sudah kembali bersama pun. Pertemuan antara dua saudara perempuan yang pada normalnya harus sangat dekat itu, masih saja sama. Jarang bertemu.

Lilien yang ingin mengecek keadaan adiknya yang terlihat mulai mereda karena tidak adanya pergerakan yang dilakukan olehnya.

"Kamu sudah memikirkan semuanya?" Tanya Lilien.

Dynne yang mengangkat pandangannya itu menatap kakaknya selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menjawab. "Soal apa?"

"Victorie, akhirnya kamu sadar apa yang telah kamu lakukan." Balas Lilien.

Menarik sudut bibirnya tipis, Dynne kemudian mengalihkan pandangannya. Dia juga bergerak menyandarkan tubuhnya pada kursi yang dia duduki. Menandakan kalau dia tidak tertarik dengan pembicaraan yang saat ini sedang dilakukan.

"Kakak mengerti apa yang Dynne inginkan." Ujarnya.

Lilien terdiam selama beberapa saat, dia berpikir sejenak mengenai apa yang baru saja adiknya katakan. Sebelum akhirnya dia kembali bersuara. "Aku tau semuanya, aku mengerti bagaimana dirimu Dynne. Mau bagaimana pun apa yang kamu lakukan pada Victorie akan sia-sia, dan tidak akan berakhir."

"Kamu melawan orang yang mengerti dirimu." Ucap Lilien.

Dynne kembali menatap Lilien lurus. "Lalu kenapa masih tetap seperti ini? Membalas perlawanan tidak akan mengakhiri apapun." Tuturnya dengan banyak makna lain yang sebenarnya Lilien sudah mengerti. Dynne seperti mengatakan, jika kakaknya mengerti. Kenapa hingga detik ini, Dynne masih belum berakhir dengan semua masalah yang ada di dalam dirinya.

"Kamu ingin aku berhenti melawan? Sama saja dengan membuat Victorie hancur." Timpal Lilien.

"Itu akhirnya." Balas Dynne.

Lilien menghela nafasnya, Lilien tau apa yang Dynne inginkan. Tapi dia sendiri yakin itu bukan satu-satunya cara dan cara yang adiknya lakukan itu sangat bertentangan denganya maupun seluruh keturunan Victorie.

Menggelengkan kepalanya, Lilien membalas tatapan Dynne dengan lebih sendu. "Jangan berpikir hanya satu cara,"

"Keluar dari semua ini? Ada cara lain, dengan menghapus nama itu dari—"

"Dynne," sela Lilien memotong ucapan adiknya. Tatapannya seketika berubah menjadi tegas.

"Jangan selalu memikirkan diri sendiri, semuanya juga membenci hal yang sama. Tapi mereka bisa memanfaatkannya, aku bisa memaafkannya."

"Kita ada diposisi yang sama Dynne, aku juga ada di sana." Tandas Lilien.

Dynne menatap Lilien yang memiliki emosi dalam setiap ucapannya. "I didn't understand at the time."

"And I'm not as strong as you." Imbuhnya.

Bangkit dari tempatnya, Dynne kemudian berjalan untuk pergi menuju ruangan miliknya sendiri. Kamarnya yang dia tempati sejak dia pergi dari rumah yang sebelumnya dengan kondisi penuh trauma, dan kamar ini menjadi saksi dia melawan semua rasa sakit itu hingga akhirnya terbiasa.

Masuk ke dalam satu ruangan yang masih ada di dalam kamar ini, Dynne membuka satu lemari dan mengambil sebuah botol berwarna hitam. Melihat botol itu selama beberapa saat, Dynne memikirkan semua kelekatan arti yang dimiliki botol Red Wine tersebut dengan Victorie.

BREAK UPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang