69. Kiss

158 7 0
                                    

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ

Ruangan ini terasa lebih dingin bagi perempuan yang berada di atas tempat tidur dengan selimut tidak benar-benar dia gunakan untuk menghangatkan tubuhnya. Tatapannya hanya lurus pada satu objek yang tidak begitu menarik, tapi tatapannya jatuh begitu saja pada titik tersebut. Dia termenung dengan tatapan yang benar-benar menunjukkan betapa beratnya pikirannya.

Dynne yang menunduk itu kemudian melirik ke arah ponselnya yang tiba-tiba saja menyala dan membuyarkan lamunannya. Tubuhnya yang masih lemas ini akhirnya bergerak menggapai benda pipih canggih yang terlihat ada panggilan suara yang masuk. Terdiam selama beberapa saat, Dynne menatap layar ponselnya tersebut.

Sebelum akhirnya dia bergerak menjawab panggilan telepon tersebut.

"Dynne, lo kemana aja? Kenapa gak masuk kerja?"

"Please kerjaan kita banyak, kerjaan yang gue kirim juga belum lo selesain."

"Gak biasanya, lo lagi kenapa?"

Pertanyaan bertubi-tubi yang Harvey berikan kepada Bosnya yang baru membolos 1 hari benar-benar tanpa keterangan yang jelas. Dan hari ini seharusnya dia sudah berangkat kerja dan sampai di kantornya. Tapi karena Dynne saat ini masih berada di tempat tidurnya tanpa tanda kalau dia akan berangkat hari ini.

Walau begitu lemas, Dynne kemudian menjawab. "Cuti, semua pekerjaan gue serahkan ke lo."

"Untuk bayarannya bisa lo cek nanti, kalau kurang langsung kasih tau gue." Imbuhnya.

"What? Dynne seriously, kenapa? Kalau lo cuti semuanya harus ditunda."

Dynne berdeham singkat. "Itu pekerjaan lo sekarang."

"Dynne—"

"Thanks." Tandas Dynne kemudian mematikan telepon tersebut, menurunkan ponselnya. Dynne juga melepaskannya dari tangannya, sementara dia bergerak mengusap wajahnya yang masih terlihat begitu pucat. Dynne benar-benar merasa lemas, tubuhnya masih masih terasa demam. Itu semua dia rasakan karena perasaannya sedang tertekan saat ini.

Pikirannya begitu berat karena kebimbangan yang sedang dia alami. Ada dua sisi yang sedang dia pikirkan, berhenti atau tidak.

Di tengah dirinya yang sedang termenung itu, pintu kamarnya itu kemudian terbuka. Menampilkan seorang lelaki yang masuk ke dalam dan menghampiri Dynne dengan membawa nampan berisi makanan, minuman dan juga obat-obatan.

"Waktunya makan, jangan ngelak." Kythan berkata.

Melihat lelaki tersebut mengangkat mangkuk makanannya, Dynne benar-benar tidak berselera. Pagi sudah terlewati, itu artinya waktu Sarapannya juga sudah terlewat. Saat ini hampir waktu makan siang, jadi Dynne makan di tengah-tengah sarapan dan makan siang.

"Tubuh lo masih belum ada tanda-tanda sembuh, jadi lo harus makan dan minum obat lagi." Kythan bersuara sembari mengarahkan sendok berisi makanan tersebut ke arah mulut Dynne yang bibirnya yang terlihat jelas pucat tersebut.

Mengalihkan pandangannya, Dynne tidak bergerak sama sekali saat sendok berisi makanan tersebut seharusnya sudah siap dia terima.

"Dynne." Kythan bersuara.

Beberapa saat kemudian, Dynne baru mengangkat pandangannya kembali dan membalas. "Gue minum obatnya aja."

Kythan terlihat sedikit mengerutkan keningnya. "Gak bisa, lo harus isi perut lo dulu." Timpalnya.

Dynne menggeleng, makanan yang semalam dia makan saja sudah tidak ada di perutnya. Jadi untuk apa lagi dia membuang-buang makanan yang dia makan. "Sia-sia." Balas Dynne dengan suaranya yang cukup rendah.

BREAK UPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang