Dylan dan Ayden baru kembali dari perkebunan pada hari Minggu menjelang siang. Sang ibu yang melihat wajah cerah anaknya mengernyit heran.
"Apa yang membuat kamu senang boy?" Tanya sang ibu yang menyambut kedatangan mereka.
"Tidak ada mi, aku hanya baru bertemu seseorang yang asyik diajak bicara di desa itu" Ayden menjawab sambil membalas pelukan ibunya.
Dylan belum menceritakan apapun pada istrinya, dan melihat tatapan istrinya meminta kejelasan, Dylan memberi kode jika nanti akan ia ceritakan.
"Senang mendengarnya"
"Hm, mami kalau bertemu dengannya pasti juga akan suka, dia seperti Didi" mendengar ucapan putranya membuat Lalitha berwajah sendu. Itu adalah luka keluarga Manuella.
"Koko senang sekali ya?" Tanyanya.
Mata Ayden memerah dan air mata menggenang di pelupuk matanya, sudah sangat lama Ayden tidak mendengar panggilan itu sebab posisinya saat ini adalah bungsu di keluarga intinya.
"Aku ke atas dulu ya sayang" Dylan meninggalkan istri dan anaknya yang tengah mengharu biru, ada yang lebih penting untuk ia urus.
...
Selesai membersihkan diri Dylan langsung berada di ruang kerjanya. Dylan meraih ponselnya dan menghubungi seseorang. Cukup lama dering telepon berbunyi sampai telepon itu terhubung.
"Apa lagi?" Pertanyaan ketus itu terlontar.
"Aku mohon kali ini kakak pulang, aku ingin menunjukkan sesuatu pada kakak, jika kakak tidak suka kakak bisa pergi selama apapun kakak mau" tidak ada jawaban dari seberang telepon beberapa saat.
Hembusan napas terdengar dari seberang setelah beberapa saat diam.
"Huuft, baiklah lusa aku akan pulang, jika kau hanya beromong kosong jangan pernah menghubungi aku lagi untuk memaksaku pulang".
"Aku jamin kakak tidak akan pergi lagi setelah ini" setelahnya telepon ditutup dari lawan bicara Dylan.
...
"Ben, saya akan pulang selama tiga hari jika tidak ada perubahan, jika selama tiga hari saya tidak kembali kesini kamu susul saya" ucap sulung Manuella pada personal asistennya yang dipanggil Ben, Benedict Graham.
"Baik tuan"
.
.
.
.
.Sesuai perkataannya pada Dylan, kini kakak pertama Dylan sudah berada di mansion utama kediaman Manuella. Damian Auriga Manuella, sulung Manuella yang kini menjabat sebagai CEO dari Manu's Group.
Damian tiba saat dini hari, tepatnya pukul 2 pagi, ia langsung terbang setelah menyelesaikan pekerjaannya. Padahal kedatangannya sudah ditunggu-tunggu oleh keluarganya tapi Damian datang saat semuanya sudah tertidur.
Saat pagi hari semua orang terkejut melihat Damian sudah duduk di bangku utama meja makan dengan iPad ditangannya dan buah pisang potong yang tinggal sedikit serta air yang masih setengah gelas.
"Kakak kapan tiba?" Dylan tanpa sadar meninggikan suaranya membuat Damian menatapnya tajam.
Dylan bungkam menyadari jika suaranya meninggi pada manusia otoriter dihadapannya.
"Kakak" Ditrian memanggil dengan penuh kerinduan.
Damian menghembuskan napasnya lalu berdiri.
"Kemarilah"
Ditrian dan Dylan tanpa kata langsung mendekat kearah kakak tertuanya dan memeluknya bersamaan. Pemandangan itu disaksikan oleh seluruh penghuni mansion, tidak hanya keluarga tapi para pekerja juga tidak luput dari memerhatikan pemandangan yang tidak pernah terjadi di mansion Manuella ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Real Heirs
Teen FictionIni hanya tentang Devananta dan kisahnya Meski sampulnya historical tapi isi ceritanya modern kok