Bab 37 : balas dendam?

28 4 4
                                    


Ada yang bilang, rasa sakit dibayar kata maaf itu curang!

Lalu, apa yang setimpal?
Rasa sakit yang sama?
Penderitaan yang serupa?
Bukan!!!
Tapi ... Kematian secara perlahan!!

Itu baru adil!!

"Akan ku buat mereka menderita! Sampai kematian akan menjadi harapan terakhir mereka untuk bebas!"
(—gadis bertopeng)

***

"Pelangi! Lo gak apa-apa kan?" Risau Aluna ketika mendapati Pelangi terdiam—duduk sembari memegangi lengannya.

"Gak apa-apa. Kalian gimana? Ada yang luka gak?" Pelangi mendekat ke arah Aluna—memeriksa gadis itu, takut jika ada yang terluka oleh kaca yang ia pecahkan.

Semua menggeleng. Tidak ada yang terluka kecuali lengan lecet, itupun karena tali bukan karena pecahan kaca.

"Kita semua gak kenapa napa kok." Ara meyakinkan, matanya tanpa sengaja melihat darah rembes dari lengan Pelangi yang sedari tadi ia genggam berusaha menutupi. Segera Ara meraihnya—melihat lebih dekat.

"Yang luka itu elo, pelangi! Pasti kena kaca kan?" Pelangi mengangguk kecil, "bukan luka parah. Mending kita lanjut, cari jalan keluar dari sini." Pelangi berujar pelan.

"Iya, tapi bentar." Ara merobek ujung kaos yang ia gunakan. "Balut dulu luka lo." Dengan cepat Ara membalut luka yang cukup dalam itu. Sepertinya butuh jahitan.
Sesekali pelangi meringis.

"Udah. Gini aja dulu, ntar kalau udah keluar dari sini kita kerumah sakit. Luka lo harus dijahit." Mata Ara terlihat cemas melihat darah pelangi merembes cepat— mengubah warna kain itu menjadi merah.

"Hmm, tapi pertama tama kita harus cari jalan keluar," Ujar pelangi. "Ayo, jalan!" Pelangi bangun dari lantai becek itu lalu berjalan lebih dulu.
Pakaian yang basah membuat para gadis itu mulai menggigil. Sedikit gemetar tapi tungkai mereka masih bisa di paksa berjalan.

sudah lama mereka menapaki lorong gelap dan becek itu tapi sama sekali tidak menemukan jalan keluar. bahkan, sepertinya mereka masih berputar putar di tempat yang sama.

"Gimana caranya kita keluar?! Ini kayaknya gak ada ujungnya, muter mulu dari tadi." Keluh larissa yang mulai lelah, ia membungkuk—menumpu tangan pada bagian lutut sambil ia sedikit terengah, "gue haus ...." Larissa pun akhirnya terduduk begitu saja di lantai, tanpa perduli dengan pakaian yang kini bergelung dengan lumpur bersama bau anyir yang ikut menempel di pakaian nya. Tempat ini ... Jujur saja sangat mengerikan.

"Jalan lagi yuk ... Di ujung sana kayaknya ada lampu, moga aja kita bisa nemu jalan keluar!" Ara menunjuk penghujung lorong. Ada cahaya remang yang menyorot.
Larissa mendesah berat, "ayo deh, moga aja benar ada jalan keluar."

Para gadis itu kembali berjalan. Rasa penat kini bercampur dengan kantuk, sudah terlalu lama mereka terjaga dan berjalan tanpa henti. Entahlah, tempat ini sepertinya sangat luas.

Setelah beberapa saat mereka akhirnya tiba di lorong yang mereka lihat tadi. Tempat nya memang lumayan terang dengan lampu tempel di beberapa bagian.
Pelangi berjalan lebih dulu saat matanya melihat ukiran aneh di dinding lorong.

"Ini ...." Alis nya mengerut—berusaha menalar apa yang tergambar di sana. Terlihat tidak asing di mata pelangi.
Tangannya meraba dinding perlahan sembari ia teliti setiap detail ukiran itu.
Sedetik kemudian, ia mendongak—mundur perlahan ke sisi dinding yang lain agar leluasa melihat keseluruhan gambar.

"Ada apa sih? Lo liatin apaan?" Tanya Ara heran. Pelangi tak bergeming tapi alisnya masih saja mengerut, sepertinya sedang berusaha mengingat sesuatu.

'gambar ini kayak gak asing ...'

sibling's Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang