Aku tersenyum ketika melihat Yura. Gadis itu baru saja meminum beberapa pil yang diberikan oleh seorang perawat. "Jungkook oppa!" Katanya.
"Eoh." Aku langsung duduk di sampingnya dan berkata, "Sudah lima hari tak melihatmu, maaf ya, aku tidak sempat ke sini."
Ia menganggukkan kepalanya, "Gwaenchanha. Aku tahu kau sangat sibuk."
Kukulum bibirku kemudian, bertanya, "Di mana ahjussi dan ahjumma?"
"Sedang mencari sarapan." Katanya.
"Yuri nuna?"
"Dia di apartemenku."
Aku menganggukkan kepalaku. "Oh iya.. Aku membawa jus apel, cocok untukmu." Kataku. "Aku juga membawa beberapa buah."
"Jinjja?" tanyanya.
"Ye." Aku meletakkan botol minuman yang baru saja aku ambil dari dalam tas ke atas meja. "Bisa mengurangi rasa mual. Jangan lupa untuk meminum ini, oke?"
Ia tidak menjawabku dan malah memanggilku, "Oppa.."
Kualihkan pandanganku ke arahnya, "Eoh?"
"Aku akan pindah rumah sakit." Ia tersenyum ke arahku, kemudian tertawa kecil.
Keningku mengerut, "Jinjja? Memangnya rumah sakit di sini kenapa? Bukankah rumah sakit ini memiliki alat yang memadai untuk melakukan pengobatan ya?"
Kepalanya mengangguk pelan, kemudian ia berkata, "Ayah sudah sangat lama meninggalkan kerjaannya, dan Yuri unnie sudah dua kali mengambil cuti kuliah. Maka dari itu aku meminta untuk dipindahkan ke Busan."
Aku terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Baguslah, jadi aku bisa menemanimu sekalian pulang ke rumah." Kataku.
Ia sedikit terjejut dengan responku. Diam sejenak, sebelum ia berkata, "Aku kira kau akan sedih."
"Sedih kenapa?" tanyaku.
"Ya.. Kan Seoul ke Busan lumayan jauh." ucapnya.
"Aku akan meminta Sejin hyung untuk mengurangi jadwal BTS. Tenang saja, semuanya bisa dilakukan jika itu adalah permintaanku." Kataku, membuatnya memukul lenganku.
Aku tertawa kecil dan berdiri, "Aku jadi ingin strawberry yang aku bawa." Kuambil satu buah kotak, kemudian membawanya ke wastafel yang berada di dekat kamar mandi kamar. Mencuci strawberry tersebut.
Setelah itu kuantar strawberry tersebut kepada Yura dan memakannya bersama. Tiba-tiba Pak Choi meneleponku.
"Yeoboseyo, ada apa?" tanyaku setelah berjalan menjauhi Yura.
"Jungkook-ssi seseorang dari pihak dinas perhubungan menelepon."
Aku menatap Yura yang masih asik memakan strawberry. "Sebentar.." Aku langsung menoleh ke arah Yura. "Yura-ya.. Aku keluar dahulu ya, ada yang ingin dibicarakan dengan ahjussi."
Ia mengangguk.
"Sebentar saja." Kataku. Kemudian aku kembali mendekatkan telepon ketelingaku saat sudah berada di luar. "Pak Choi. Apa yang ia bicarakan?"
"Dia meminta kita untuk bertemu, dan aku sudah mengatur jadwal dengan Bang pd-nim siang ini di gedung Bighit. Kau sedang di rumah sakit?"
"Ne.." Jawabku.
"Tolong beritahu kepada Yoon Yujun-ssi. Pengacaranya bilang, beliau tidak dapat dihubungi sampai sekarang." Ucap pak Choi membuatku langsung berinisiatif mencari paman Yoon.
Aku menoleh ke arah kanan dan kiri sembari berjalan menyusuri lorong. Beberapa perawat yang kutemui tersenyum lebar ke arahku sembari membungkukkan tubuhnya, membuatku membalas perlakuan mereka. Sampai akhirnya aku bertanya ke salah satu perawat yang terlihat pernah memeriksa Yura, karena aku belum juga bertemu dengan paman Yoon.
"Permisi, apa kau melihat paman Yoon.. Ayah dari Yoon Yura, pasien kamar dua ratus lima?"
Wanita itu menunjuk ke arah sebuah ruangan yang pintunya terbuka sedikit. "Aku baru melihatnya di sana."
Aku mengikuti arah jari dari perawat tersebut sebelum berterimakasih dan pamit. Kakiku langsung melangkah ke arah ruangan itu.
Awalnya tidak ada niatan sedikitpun untukku menguping pembicaraan mereka. Namun, karena suara dokter terdengar dengan jelas sampai keluar, akhirnya niat tersebut hadir secara tiba-tiba di benakku. Aku merapatkan tubuhku dengan dinding samping pintu.
"-ya.. Begitulah perkembanganya." Kata dokter tersebut kepada paman dan bibi Yoon. "Seperti yang saya katakan barusan, Yura adalah anak yang memiliki semangat untuk hidup. Kanker di tubuhnya dapat dikatakan berkembang dengan pesat, namun tidak secepat pasien-pasien yang pernah saya obati."
"Apakah anak saya bisa sembuh total?" tanya bibi Yoon. Terkesan to the point, namun sangat aku tunggu jawabannya.
Hening sejenak. Kemudian aku mendengar perkataan dokter, "Mohon maaf. Mengacu pada hasil diagnosis kami, Yura tak bisa sembuh."
Deg.
Aku mengintip ke dalam dan melihat kini bibi Yoon yang tengah dipeluk oleh Paman Yoon. Beliau terisak dipelukan suaminya. Sedangkan yang aku lakukan selanjutnya adalah berhenti melihat ke dalam ruangan.
"Saya hanya dokter.. Bukan Tuhan." Kata dokter tersebut menenangkan. "Saya tak dapat memprediksi hidup seseorang selain dari fakta yang kita dapatkan.."
"Tetapi.. Mungkin hidup gadis baik itu tidak sampai sebulan." Hening sejenak, "Saya minta maaf telah mengatakan hal tersebut. Kita bisa sama-sama berdoa untuk mendapatkan takdir yang lebih baik. Ki-"
Kalimat-kalimat selanjutnya tak dapat aku dengar. Tubuhku jatuh ke lantai, dan mataku masih setia menatap kosong ke arah depan. Jantungku berdegup dengan cepat.
"Jungkook-ah."
Aku langsung menoleh ke arah paman Yoon. Matanya memerah, aku tahu ia tengah menahan nangis. Di sampingnya ada bibi Yoon yang tengah menyeka air matanya.
"K-kau.."
Mataku berkedip selama beberapa kali sebelum aku berdiri dan berkata, "Ahjussi.. Kita harus ke gedung Bighit."
Hanya kalimat itu yang dapat kukatakan, karena aku tidak sanggup untuk bertanya tentang apa yang aku dengar barusan.
Aku tidak sanggup untuk mendengar tentang hal tersebut untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Not Goodbye
FanfictionSeorang idol besar bernama Jeon Jungkook, ternyata telah menjalin hubungan dengan seorang gadis selama lebih dari tujuh tahun. Cobaan demi cobaan mulai menerpa hubungan mereka. Mampukah mereka mempertahankan hubungan yang telah berjalan selama lebih...