Miss

12.9K 1.8K 81
                                    

"Kenapa kau tidak memberikan video tersebut pada kami sedari awal?"

Ia tersenyum kecil, "Aku minta maaf karena tidak memberitahu pada kalian semua lebih awal.. Karena aku baru mengetahuinya tadi malam."

"Ne.. Tidak ada yang tahu sebelumnya tentang video di ponselku.." Kata Jiseol tiba-tiba. Perempuan itu mengaitkan jari-jemarinya. "Hyuna unnie.."

Badanku dan paman Yoon langsung menegak mendengar nama perempuan itu. Aku sangat terkejut ketika mendengar Jiseol memanggil perempuan itu kakak.

"Aku mengenalnya baik.. Sangat mengenalnya." Ia menelan ludahnya, "Sekitar tiga tahun lalu, ia menjadi ARMY bersama denganku. Kami meneriakkan fanchant bersama, membeli banyak album kalian, dan pergi ke konser yang kalian adakan.." Hening sejenak, "Namun.. Sejak fansign yang diadakan saat itu, aku lupa tepatnya kapan.. Hyuna unnie menjadi sangat berbeda."

Keningku mengerut. Ingin berpikir lebih lanjut, alasan kenapa ia menjadi sangat berbeda setelah fansign yang BTS adakan.

"Ia susah untuk dihubungi, dan menjadi sangat jarang kumpul denganku dan ARMY lainnya." Jiseol menghembuskan napas panjang, "Sudah lebih dari tujuh bulan aku dan dia.. Kami tidak berhubungan lagi. Ia sama sekali tidak membalas pesan-pesanku dan mengangkat teleponku."

"Sampai aku melihat seseorang tengah dijambak perempuan itu.. Awalnya aku ragu bahwa yang menjambak adalah Hyuna unnie.. Aku memiliki rabun jauh yang cukup parah, maka dari itu aku berinisiatif melihatnya melalui ponselku, karena kita dapat memperbesar gambar bukan?" Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Aku bahkan tidak sadar bahwa ternyata ponselku malah merekam... Baiklah.. Sampai akhirnya aku sadar bahwa aku mengenal kedua orang itu."

"Yura-ssi, dan Hyuna unnie.." Hening sejenak, "Tiba-tiba aku melihat tubuhmu dari belakang, dan langsung saja aku pastikan.. Ternyata benar." Lanjutnya.

Ia mendorong ponselnya ke arahku. "Di situ terdapat rekaman videonya.. Kalian bisa melihatnya."

Paman Yoon langsung menekan layar ponsel yang telah menampilkan sebuah video yang terjeda. Beliau kembali menekan layar ponsel tersebur sebelum video di ponsel tersebut terputar.

Tampak dari kejauhan Yura yang tengah dijambak oleh Hyuna. Selang beberapa detik kemudian, Hyuna menampar Yura, kemudian langsung terlihat tubuhku yang menutup kamera tersebut. Aku menoleh setelah itu, aku berlari ke arah Yura yang tengah didorong oleh Hyuna ke jalan raya, sebelum mobil menghantam tubuh Yura.

Paman Yoon menjauhkan ponsel tersebut. Tangannya terangkat untuk memijat keningnya. Beliau memejamkan matanya.

"Maaf.. Awalnya aku berniat untuk tidak memberitahu tentang video itu.. Karena walaupun begitu.. Hyuna unnie sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri." Ia menghela napasnya, "Namun hatiku jadi tak tenang, dan baru tadi malam aku berani bercerita pada Nara.."

Ia mengusap wajahnya, "Aku.. Mewakili Hyuna unnie.. Meminta maaf ata-"

"Tak perlu." Kataku tiba-tiba. Aku menoleh ke arah salah satu tangan paman Yoon yang terkepal dengan kuat. "Wanita sial-" Kugelengkan kepalaku, "Wanita itu.. Aku tak akan pernah memaafkannya."

-

Kini aku yang mengambil alih kemudi. Aku tahu paman Yoon sudah sangat lelah, beliau benar-benar memantau segala perkembangan hukum. Mataku melirik ke arah Yura yang tengah memejamkan matanya dengan kepala bersandar pada Yuri. Di sampingnya ada bibi Yoon yang asik menatap ke arah jalan.

Tak terasa beberapa jam setelahnya akhirnya aku sampai ke kampung halamanku. Tepatnya sore hari. Busan. Sudah beberapa bulan aku tak ke sini. Aku mengantar keluarga Yura terlebih dahulu ke rumah sakit, sebelum  Junghyun, kakakku menjemputku.

"Ahjussi.. Ahjumma, kami pergi dulu!" Pamit Junghyun sebelum ia menepuk pundak Yuri,  "Ingin pulang bersama tidak?"

Yuri menatap ibunya, sedangkan yang ditatap menganggukkan kepalanya. "Ne.. Tunggu sebentar."

"Yura-ya.. Aku pulang dahulu, eoh?" Aku mengusap lengan Yura, "Nanti malam mungkin aku akan kebali.." Aku menatap bibi dan paman Yoon, "Ahjussi, ahjumma.. Aku duluan."

"Yura-ya.. Aku pulang, ya! Aku akan ke sini nanti!" Teriak Junghyun dan dibalas tawa kecil dari Yura.

Setelah itu kami keluar dari kamar rumah sakit dan kembali menuju rumah. Mataku menatap ke arah pohon-pohon tinggi di pinggir jalan, sampai aku melihat jalan kecil, jalan tercepat menuju rumahku. Tempat dimana aku menolong Yura dari preman-preman cilik. Aku langsung mengingat detail dari kejadian tersebut.

Aku menghembuskan napas. Sampai kini kutemui diriku yang sudah terbaring di atas kasurku. Setelah sampai rumah, ibu langsung menyuguhkanku banyak makanan, kami berbincang-bincang cukup lama tentang banyak hal, termasuk Yura.

Ibu juga bertanya padaku tentang keadaanku saat ini. Aku terlihat lebih buruk dari terakhir beliau liat di televisi. Yang ibu lihat di televisi adalah diriku yang memakai riasan, dan dituntut harus selalu bersemangat di depan fans.

Ibu sedih mendengar tentang kabar Yura. Mulai dari penyerangan Yura sampai penyakit Yura yang kembali. Namun ibu bilang beliau lebih sedih ketika melihat anaknya, aku, terlihat sangat kacau. Kantung mataku yang membesar dan menghitam, pipiku yang tirus, dan tubuhku yang semakin mengurus.

Aku memang sering lupa makan karena harus bolak-balik dorm, gedung Bighit, rumah sakit, dan panggung. Atau karena aku yang terlalu semangat dalam mencari barang bukti, dan terlalu asik membaca mengenai artikel tentang hukum yang berlaku di Korea.

Ku hembuskan napas panjang, sebelum kemudian aku berdiri dan berjalan ke arah jendela. Terlihat jendela kamar Yura dari kamarku. Biasanya setiap malam kami akan bertukar pesan menggunakan tulisan, berbicara tanpa mengeluarkan suara  atau sekadar saling menatap dalam diam.

Ingatanku tentang kejadian-kejadian masa lalu di sini terputar di pikiranku. Aku dapat melihat terasnya. Dahulu dia selalu disitu, memakai sepatu, dan menunggu paman Yoon untuk mengantarnya sekolah

Terlihat sebuah sepeda berkeranjang di samping terasnya. Sepeda tersebut masih sama seperti beberapa tahun lagi. Sepeda yang selalu ia pakai, dulu, saat aku mengajarinya cara mengemudikan sepeda dengan benar.

Aku sangat merindukan saat itu. Kami dapat melakukan apa yang kami suka tanpa harus memikirkan banyak pihak, tanpa harus memikirkan perasaan fansku. Bahkan saking aku memikirkan perasaan fansku, aku sampai lupa memikirkan perasaan Yura.

Aku merindukan saat kami dapat melakukan apa yang kami inginkan, tanpa harus takut orang lain akan marah. Tanpa harus takut bahwa orang lain akan mencelakai satu di antara kami bersua. Tanpa harus takut tentang banyak hal.

Aku merindukan saat aku tak perlu takut Yura meninggalkaku selamanya. Tak perlu cemas jika Yura akan mengalami sakit yang sungguh parah. Tak perlu cemas dengan apapun yang dapat memisahkanku dan Yura.

Aku merindukan saat itu. Merindukan kami yang dahulu. Merindukan Yura yang sehat, dan aku yang belum terkenal.

-

Aku masuk ke kamar Yura dan menemukannya tengah menonton televisi. Di sampingnya ada Yura, mereka hanya berdua di sini.

"Oppa.." katanya lembut. Tidak sesemangat dulu, ia tidak berteriak seperti biasa ketika melihatku.

Senyuman tipis kuhadirkan, kemudian aku duduk di sampingnya. "Tumben sekali kalian menonton berita."

"Memangnya kau.. Menonton drama korea," gurau Yuri.

"Cih.." Kataku.

Sedangkan Yura tertawa kecil sembari menatap ke arahku. Ia terlihat sangat lemas, sehingga yang aku lakukan adalah menggenggam tangannya.

"Oppa.." Panggilnya.

"Uhm?"

Ia menunjuk ke arah layar televisi, "Aku ingin ke pantai.."

"Jika dokter memperbo-"

"Dokter akan memperbolehkan!" Katanya cepat. "Eoh? Aku benar-benar ingin ke pantai."

Akhirnya kepalaku mengangguk.

Aku tidak menyukai fakta di mana hatiku berkata akan mengabulkan permintaan Yura di saat terakhirnya.

Ku benci diriku sendiri.
---

Vommentnya jangan lupa yaa wkwk

It's Not GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang