"Dar, bangun. Kita harus bangunin mereka semua." Nissa mengguncangkan tubuhnya. Dara yang merasa tidurnya terganggu, menepis tangan Nissa sambil bergumam tidak jelas.
"Apa sih ma, Dara masih ngantuk." gumamnya tidak jelas. Nissa memutar kedua matanya.
"Plis, Dar. Bangun ih! Ngebo banget sih, kita lagi camping bukan lagi nginep di rumah Dara!" ucap Nissa mengguncangkan tubuhnya kencang. Dengan sangat amat terpaksa, Dara membuka kedua matanya.
"Apa sih Niss, gue masih ngantuk banget. Kalau lo mau bangunin mereka, bangunin sendiri. Pake toa cantik lo. Plis, biarin gue tidur lima belas menit lagi, sehabis itu lo bangunin gue, okay!" jawab Dara serak dan menarik selimutnya, lalu dia memunggungi Nissa yang mendengus kesal.
Nissa menghela nafas, lalu dia meraih sweater tebal dan langsung memakainya. Setelahnya dia segera keluar dari tenda, kedua matanya dia edarkan, Nissa menghirup udara pagi sedalam-dalamnya. Walaupun Nissa memakai sweater tetep saja aura dingin bisa masuk menusuk ke dalam kulitnya. Nissa berjalan dengan kedua tangan yang ia gosokkan, mencari sumber kehangatan.
Percayalah saat ini masih sangat sepi, dia melirik jam tangannya, tertera jam 4.27 WIB, apa dia bangun sepagi ini? Nissa mengendikkan bahunya, kakinya terus melangkah sampai dia berada di pinggir sungai yang nampak mengalir dengan tenang.
Nissa duduk di batu paling besar, dia memutuskan untuk menghirup udara pagi sembari menunggu pukul 5.00 WIB. Hembusan angin menerpa wajahnya, rambutnya bertebangan kesana-kemari. Sejenak Nissa memejamkan kedua matanya. Tanpa di suruh, memory beberapa hari lalu langsung terngiang, seolah kejadian itu menguasai otaknya. Cara dia bersikap manis dan perhatian membuat Nissa mengulum senyumnya.
"Gue pinta apapun yang terjadi nantinya, lo harus kasih tau sama gue. Jangan ada yang lo sembunyiin dari gue. Sekecil apapun, okay." Arsal mengelus puncak rambutnya.
"Selalu tersenyum buat gue, Niss."
"Sebelum Arsal bilang itupun, Nissa selalu tersenyum buat Arsal." gumam Nissa pelan yang bersamaan dengan hembusan angin.
Nissa menekuk kedua lututnya, lalu dia memeluk dirinya sendiri. Sorot matanya menatap sungai yang mengalir dengan tenangnya, pantulan sinar bulan purnama sangat terlihat jelas di sungai itu. Andaikan hidupnya seperti sungai mengalir dengan tenang, mungkin saja Nissa adalah manusia yang paling bahagia. Tapi itu mustahil, kenyataannya hidupnya di kelilingi masalah dan penyakit yang ia deritanya.
"Sampai kapanpun Nissa cinta sama Arsal. Apa yang Nissa bayangin akhir-akhir ini takut bakal kejadian. Yang dimana Nissa harus pergi untuk selamanya."
Nissa menghembuskan nafasnya, memutuskan untuk menyentuh air sungai itu. Sejenak, Nissa memainkan air sungai itu. Tangan mungilnya membasuh wajahnya dengan air sungai itu.
"Nissa,"
Suara berat namun terdengar lembut di telinganya membuat pemilik nama menengok ke belakang dan dia tercengang melihatnya berdiri dengan senyuman tipisnya.
"Iya?"
"Ngapain disini sendirian? Nggak takut," ucapnya lalu menuntunnya kembali duduk di batu besar itu. Nissa menggeleng pelan.
"Nggak,"
"Arsal sendiri ngapain kesini? Kok tau Nissa ada disini." lanjut Nissa menatapnya bingung. Arsal duduk sila dan tangannya menyelinapkan rambut Nissa ke belakang telinganya.
Arsal tersenyum,"Pengen nyamperin calon pacar." ucapnya yang mengikuti kata-kata Nissa yang selalu bilang 'calon pacar' padanya. Nissa tersenyum malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Prince ✔
Teen Fiction(N) : CERITA INI DALAM MODE REVISI , APABILA ADA TYPO MOHON DI MAAFKAN. [COMPLETE] • PART MASIH LENGKAP • Mewarisi gen papanya. Dingin, datar, cuek nan acuh, itulah kesehariannya. Sampai-sampai dia dijuluki 'Cold Prince' di sekolahnya. Akan tetapi d...