Sinar matahari dengan lancangnya masuk ke sela-sela rumah pohon itu. Cahaya itu tanpa malu menyorot tepat di wajah Nissa, yang membuat sang empunya menggeliat tidak nyaman. Perlahan, Nissa membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjap matanya, matanya mengedarkan sekitar sini untuk mengumpulkan nyawanya. Setalah merasa nyawanya sudah terkumpul, Nissa tersadar bahwa ia telah memeluk seseorang. Segera ia mendongak lalu melihat kekasihnya masih nyenyak di alam mimpi itu.
Nissa merasa hangat di posisi sekarang. Arsal yang tidur terlentang, dan Nissa menaruh kepalanya di dadanya, yang terasa hangat dan terdengar detakan jantungnya. Nissa tersenyum dan menggeliat kecil.
Gerakkan kecil darinya, tanpa sadar membuat Arsal terbangun dari tidurnya. Arsal mengucek matanya dengan tangan sebelahnya. Ia merasa tangan yang sebelahnya, yang di gunakkan untuk memeluk gadisnya, sangat terasa keram.
"Shhh." desis Arsal merasa keram itu semakin menjadi. Nissa yang mendengar desisan itu langsung mendongak melihat Arsal yang sudah terbangun dari tidurnya.
"Pagiiii." sapa Nissa dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.
Arsal tersenyum kecil."Pagi." balasnya.
Nissa segera bangun dan duduk di hadapannya. Arsal merentangkan tangannya keatas, tangannya terasa begitu kebas.
"Nyenyak tidurnya?" tanya Arsal membetulkan rambut Nissa yang berantakkan.
Nissa mengangguk."Iya."
"Laper gak?"
"Emm.. Gak terlalu, sih."
Arsal mengangguk. Saat berdiri dan menengok ke luar sekedar melihat cuaca pagi hari ini. Begitu cerah, seperti suasana hatinya. Melihat Arsal yang berdiri, entah kenapa wajah Nissa merona. Pasalnya ia untuk kedua kalinya melihat tubuhnya yang proposional itu. Perutnya berbentuk enam roti sobek.
"Arsal pake bajunya, ih! Gak malu apa." cicitnya sambil menunduk.
Arsal menoleh dan terkekeh melihat tingkahnya.
"Kenapa? Bukannya kamu udah liat? Lalu buat apa kamu merasa malu?!"
Nissa memutar matanya. Lalu mendongak melihatnya yang masih terlihat merona di pipinya.
"Tapi gak kaya gitu juga. Aku tunggu di bawah!" sahut Nissa bangun dan turun dari rumah pohon ini. Saat kakinya tidak teralas sandal, ia merasa sensasi dingin di kakinya. Ia berjalan menyusuri tempat ini. Nissa berlari pelan mendekati beberapa kelinci yang berkeliaran disini. Ia jongkok dan mengambil salah satu kelinci itu dan ia taruh di pangkuannya.
"Ihh, lucu banget, sih." Nissa mengelus bulunya yang terasa begitu lembut dan halus. Setelahnya ia taruh kembali di tanah, dan tersenyum melihat kelinci itu langsung pergi begitu saja.
Lalu Nissa berjalan menuju tanaman disini. Semilir angin yang menerpa di wajahnya membuat Nissa memejamkan matanya, sesaat. Sangat sejuk. Namun, ada sebuah tangan yang menutupi kedua matanya. Nissa spontan memegang tangannya.
"Arsal, apa-apaan, sih." ujar Nissa. Arsal memanyunkan bibirnya. Dan menjauhkan tangannya.
"Kok bisa ketebak, sih?"
Nissa menyerngit,"Iya, bisalah. Disini cuma ada kita doang. Kalau bukan Arsal siapa dong? Setan?"
Arsal yang mendengar ucapannya terkekeh. Nissa hanya menggeleng melihat tingkahnya. Konyol.
"Ayo kita pulang."
Mendengar ajakkannya, seketika Nissa langsung teringat akan hal sesuatu. Ia menepuk keningnya, dan menoleh melihat Arsal dengan panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Prince ✔
Teen Fiction(N) : CERITA INI DALAM MODE REVISI , APABILA ADA TYPO MOHON DI MAAFKAN. [COMPLETE] • PART MASIH LENGKAP • Mewarisi gen papanya. Dingin, datar, cuek nan acuh, itulah kesehariannya. Sampai-sampai dia dijuluki 'Cold Prince' di sekolahnya. Akan tetapi d...