Nissa yang melihatnya sedari tadi sudah dibanjiri oleh air mata. Dia benar-benar takut melihat pertengkaran mereka, apalagi wajah Arsal begitu menyeramkan membuat Nissa takut. Tubuhnya bergetar hebat, ingin melerai mereka pun tubuhnya seakan terasa lemas, sampai-sampai untuk berbicara saja tidak sanggup untuk mengeluarkan satu katapun.
....
Arsal membanjur wajahnya dengan sebotol Aqua, kedua matanya mengerjap-ngerjap. Menarik nafas dan menghembuskan secara perlahan, lalu dia melemper botol itu ke sembarangan arah. Tubuhnya merosot ke bawah, Arsal menjambak rambutnya dengan kasar, dia tidak peduli itu akan menimbulkan rasa sakit untuknya. Arsal memukul dadanya yang terasa sesak, kepalanya mengadah keatas disertai air mata yang siap akan jatuh dari pupil matanya.
Nissa. Hanya kata itu yang terus terngiang di otaknya. Gimana keadaannya sekarang? Kenapa dokter belum juga keluar dari ruangannya? Melihat Nissa mimisan begitu banyak membuat Arsal terkejut setengah mati.
Arsal mengelap air matanya secara kasar, kedua matanya begitu sembab. Dia sangat mengkhawatirkannya, dia tidak ingin sesuatu menimpa dengannya.
Shafaa yang berdiri di ujung koridor, mengelap air matanya. Baru kali ini dia melihat Arsal begitu rapuh hanya karna Nissa. Baru kali ini Shafaa melihatnya nangis sampai tersedu-sedu. Dia berjalan dengan langkah pelan, setelah sampai dia duduk tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Lalu tangannya mengusap rambutnya membuat dia langsung mendongak dan terkejut.
"Mama.." ucap Arsal pelan. Shafaa mengangguk dan memeluk anaknya.
"Arsal cengeng ya, ma. Arsal bisa nangis cuman karna Nissa." lanjutnya memejamkan matanya. Shafaa mengusap punggungnya dengan lembut dan kasih sayang.
"Berarti kamu sangat mengkhawatirkan Nissa, kamu udah cinta sama dia. Mama juga kalau di posisi kamu bakal ngerasain apa yang kamu rasain." jelas Shafaa menenangkannya.
Arsal diam, Shafaa tersenyum tipis melihat sikap anaknya. Anaknya sudah dewasa, anaknya sudah merasakan sakitnya jika seseorang yang kita sayangi sedang dengan keadaan yang tidak baik. Itu wajar baginya, dulu pun Shafaa merasakan apa yang anaknya rasakan, dirinya begitu hancur kalau Aziz di nyatakan koma. Yang Shafaa lakukan hanya menangis dan menangis.
.....
Dia tersenyum kecut melihat Nissa terbaring lemah diatas brankar, dia mengusap puncak rambutnya pelan.
"Kapan lo bangun? Gue yakin lo bisa ngelawan penyakit lo itu. Sebenernya ada yang pengen gue omongin sama lo, tapi gue takut nerima respon dari lo nantinya. Mungkin ini terlambat, tapi gue pengen lo tau apa yang gue rasain." ucapnya jeda dua detik."Gue akuin gue gak gentle man sama lo, tapi entah kenapa gue takut ngungkapinnya. Pengen ngobrol sebentar aja Arsal udah langsung bawa pergi lo, gimana gue mau ngomong sama lo?"
"Gue sayang sama lo, tapi gue sadar lo gak bakal noleh ke gue, di hati lo cuman ada Arsal seorang."
Dia tersenyum manis melihat wajahnya yang terlihat damai saat kedua matanya tertutup.
"Gue harap rasa sayang ini hanya sebatas sayang sama teman, gua gak mau rasa sayang ini bakal jadi rasa cinta. Karna hal itu bakal jadi cinta bertepuk sebelah tangan." dia memajukan kepalanya dan mengecup kening Nissa dengan lama.
....
Dengan wajah lesuh Arsal membuka pintu ruangannya, dia tersenyum kecut melihatnya yang terbaring lemah diatas brankar. Arsal menatap wajahnya intens, tangannya mengusap puncak rambut dengan lembut.
"Happy Brithday Niss, kapan lo bangun? Gue ada kejutan buat lo, dan gue yakin lo seneng dengan kejutan gue ini." suaranya terdengar serak namun penuh perasaan pada kalimat tersebut. Arsal mengulum senyumnya, kepalanya maju mendekati keningnya. Dia memejamkan mata saat bibir miliknya bersentuhan dengan kening miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Prince ✔
Teen Fiction(N) : CERITA INI DALAM MODE REVISI , APABILA ADA TYPO MOHON DI MAAFKAN. [COMPLETE] • PART MASIH LENGKAP • Mewarisi gen papanya. Dingin, datar, cuek nan acuh, itulah kesehariannya. Sampai-sampai dia dijuluki 'Cold Prince' di sekolahnya. Akan tetapi d...