Juan membuka minuman kaleng sodanya. Lalu ia meneguk minuman itu sampai habis tak tersisa. Juan berjalan menuju mini mejanya yang terletak di dapur. Pikirannya terus melayang akan kehadirannya. Apa yang ia rencanakan dulu, kini sudah hilang entah kemana. Niatnya balas dendam, Juan malah terperangkap dengan perasaaannya sendiri. Perasaan yang Juan sukai. Kehadirannya membuat Juan berubah. Ia tidak menyangka bahwa pesonanya sangat kuat sampai meruntuhkan niatnya dulu.
Getaran ponselnya membuat Juan tersadar dari lamunannya. Segera ia memencet tombol untuk meghidupkan ponselnya. Tertera nama Alina di ponselnya. Juan yang bingung langsung mengangkat telponnya.
"Kenapa, Kak?"
Juan menyerngit mendengar suara isak tangis dari sebrang sana.
"Hallo, Kak. Kenapa Kakak nangis? Apa yang terjadi disana." tanya Juan yang mulai panik.
"Hiks.. Juan.. Papa-"
"Kenapa sama, Papa?" potong Juan yang merasa detak jantungnya berdetak begitu kencang. Wajahnya mulai memucat saat Kakaknya menyebutkan Papanya.
"Hiks.. Papa masuk rumah sakit. Papa kritis, Juan. Kamu pulang, ya. Kasian Mama.." isak Alina tak terkendali. Juan menggepalkan tangannya saat mendengar kenyataan pahit.
"Kakak, tenang. Juan pulang sekarang. Tenangin Mama! Kakak jangan khawatir, Papa baik - baik aja." ucap Juan menenangkannya. Walaupun Juan mengatakan itu, di lubuk hatinya dia merasa down.
"Kakak tunggu kamu. Hati - hati di jalan."
Tut. Panggilan telah berakhir. Juan menaruh ponselnya di meja, tatapannya menjadi kosong. Kabar ini telah membuat pikirannya bleng, (tak menentu). Juan menjambak rambutnya kasar.
Entah apa penyebabnya sampai - sampai Papanya masuk rumah sakit, dan dengan keadaan yang kritis. Dengan langkah sempoyongan, Juan berjalan menuju kamarnya. Membereskan kembali barang - barangnya.
....
Nissa menatap pantulan dirinya di cermin hadapannya. Tangannya terus menyisir rambut panjangnya. Akhir - akhir ini Nissa benar - benar stres. Mimpi yang selalu sama, membuat Nissa merasa gelisah setiap kali bangun dari mimpi buruk itu.
Nissa berjalan keluar dari kamarnya. Turun ke bawah menuju teras rumahnya yang terlihat begitu luas. Saat membuka pintu, Nissa langsung melihat Juan sedang menggeret kopernya di sebrang rumahnya. Nissa menyerngit, bingung melihatnya. Juan yang sekilas melihat kontak mata Nissa, langsung memberhentikan langkahnya.
Juan berjalan kearahnya. Tatapannya begitu sendu melihat Nissa. Nissa yang melihat Juan berjalan kearahnya, entah kenapa menjadi salting sendiri. Salting, bukan berarti Nissa suka padanya. Tapi entahlah, Nissa merasakannya seperti itu.
"Kak Juan mau kemana?" tanya Nissa dengan kerutan kecil di keningnya. Melihat Nissa yang bertanya padanya, membuat Juan mengulum senyumnya. Senyumnya yang begitu lembut, untuk di lihat oleh seorang Nissa. Hanya Nissa, yang bisa melihat kelembutan senyumnya. Biasanya dia selalu menyeringai.
"Gue mau balik, Niss. Papa masuk rumah sakit, gue harus kesana." sahut Juan membuat Nissa diam. Juan membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengannya, Juan dengan lagi tersenyum membuat rona merah itu terlihat di wajahnya.
"Maaf gue gak bisa temenin lo disini. Gue janji saat Papa udah pulih lagi, gue bakal kesini lagi, nemenin lo."
Nissa menggeleng kuat mendengar ucapannya."Gak usah, Kak. Lagian Nissa disini gak lama lagi. Buang - buang duit aja, mending Kakak temenin Papa Kakak. Jaga dia, sampai sembuh."
Juan diam. Ia menegakkan tubuhnya dan membuang wajahnya. Pikirannya melayang entah kemana.
"Mau itu buang - buang duit! Gue gak peduli. Gue pengen selalu ada buat lo." ungkap Juan tulus.
Nissa bungkam.
"Tapi'kan kali ini Papa Kakak yang terpenting. Gak usah ngurusin Nissa kalau ada urusan yang lebih penting yang harus Kakak lakuin... Nissa bukan siapa - siapa Kakak." Nissa merendahkan kalimat terakhir. Nissa langsung melengos, tidak ingin menatap manik matanya.
Entahlah yang Juan rasakan, adalah sakit yang amat sangat terasa sangat sakit. Baru kali ini ia tidak di inginkan oleh para gadis. Hanya Nissa, yang mencoba menghindar darinya. Juan menghembuskan nafasnya kasar.
"Gue berangkat. Jaga diri lo baik - baik. Salamin buat Tante sama Om, kalau gue balik sekarang." sahut Juan datar melihatnya. Juan langsung memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan Nissa. Nissa menggigit bibir bawahnya, melihat sikap Juan yang terlihat berubah.
Nissa melihat Juan yang masuk ke dalam taksi. Dan saat itu juga taksi tersebut jalan meninggalkan tempat ini. Nissa mendesah berat, entah ini baik atau buruk untuknya. Baik karna sekarang Nissa tidak di pertemukan dengannya lagi. Dan buruk! Nissa takut Juan akan melakukan tindakan gak wajar disana, dan entah kenapa Nissa takut kalau Juan menantang Arsal, yang Nissa dengar kalau Arsal sudah pulang ke tempat tinggalnya.
.....
Di ruang tengah itu sangat ramai. Banyak teman lamanya Mama dan Papanya. Bahkan mereka membawa anak mereka yang tak bisa di hitung lagi. Sangat ramai.
"Anniversery yang ke berapa, Ziz?" celetuk Dicky, yang seumuran dengan Papanya.
"Delapan belas tahun, lah." sahut Aziz santai sambil tangannya mengelus rambut Shafaa dengan lembut.
"Makin tua ya kalian." kekeh Maya pada mereka.
"Iya lah, masa mau muda mulu." jawab Shafaa terkekeh, membuat mereka semua ikut terkekeh.
"Hmm.. Mau nambah momongan lagi, gak?" tanya Radit tersenyum jail, dan tatapannya jatuh pada Shafaa yang sedang merona merah di pipinya.
"Nggak!"
Mendengar seruan itu membuat, semua orang yang ada di ruang tengah itu langsung menoleh, melihat kedatangan Arsal dan Arsya yang baru saja pulang dari supermarket.
"Loh, ngomongnya barengan gitu." ucap Gebby tertawa pelan. Arsal hanya memutar kedua matanya. Melihat para Om - Omnya yang selalu menggodanya, baik itu Arsal maupun Arsya.
"Mana pesenan, gue!!." seru Githa, anak dari Dicky dan Zefa. (Note: kalo mau tau masa-masa Aziz dulu, baca My Lovely Bad Boy. Disitu ada teman-temannya Aziz.)
"Githa! Pelankan suaramu." peringat Zefa. Githa langsung mengangguk dan berjalan mendekati Arsal, dan mengambil pesenannya.
"Yeayy!! Makanan gue dateng." seru Githa berjingkrak kesenangan. Yang lain hanya menggeleng melihat tingkahnya itu.
"Cih, alay lo!" celetuk Kenzo, anak dari Gebby dan Ferlyta. Githa mendelik kearahnya sambik menjulurkan lidahnya.
"Yee, sirik aja lo. Bilang aja lo pengen'kan? Ngaku aja deh!" delik Githa tidak suka.
"Siapa? Gue? Sirik sama lo? Nggak banget." sahut Kenzo sewot. Githa menghentakkan kakinya, kesal melihat sikapnya itu.
"Pandhuuu! Omelin Kenzo ih!" seru Githa padanya. Pandhu yang sedang membaca buku, langsung menoleh menatapnya.
"Zo!! apa - apaan sih, lo!! Udah diemin aja dia, Tha. Entar juga diem sendiri." hardik Pandhu, anak dari Radit dan Maya, yang terkesan begitu acuh.
"Terus aja belain dia!! Belain dia sampe lo lumutan sekalian!!." ucap Kenzo yang meninggalkan ruang tengah ini. Pandhu hanya menggeleng, dan menepuk - nepuk sofa sampingnya agar Githa duduk di sampingnya. Githa menurut dan duduk di sebelah Pandhu.
Arsal hanya menggeleng melihat tingkah mereka. Lebih baik Arsal masuk ke dalam kamarnya. Arsal selalu merasa pusing saat Kenzo dan Githa adu mulut, yang sama - sama tidak mau mengalah satu sama lain. Arsal yakin, mereka akan tersesat dengan perasaannya suatu saat nanti. Sudah banyak terjadi, benci akan menjadi Cinta.
Tbc
Update biar cepet Ending, hehe 😬
Saran, ending mau kaya apa? Mau dibuat sad apa happy? Apa biasa-biasa aja? Atau ngegantung😓
Wajib dijawab😚
See you next part💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Prince ✔
Teen Fiction(N) : CERITA INI DALAM MODE REVISI , APABILA ADA TYPO MOHON DI MAAFKAN. [COMPLETE] • PART MASIH LENGKAP • Mewarisi gen papanya. Dingin, datar, cuek nan acuh, itulah kesehariannya. Sampai-sampai dia dijuluki 'Cold Prince' di sekolahnya. Akan tetapi d...