Rara.
Sekarang, rumah sangat ramai. Kerabat, teman ayah, teman Bunda, teman Kak Rani, teman Kak Andri, dan juga teman-teman Rara ada di luar sana. Rara berada di dalam kamar, mengurung diri, menutup diri dari siapa pun karena bertemu dengan orang-orang hanya akan membuat Rara semakin sesak. Semua orang akan bilang "Ra yang sabar ya, Ra yang kuat ya" karena mereka nggak akan tahu rasanya bagaimana kehilangan seseorang yang sangat berarti, dan kehilangan itu disebabkan oleh diri kita sendiri.
Rara duduk dipojokan kamar, menutup wajahnya dengan kedua kaki. Menangis dengan penuh isak di dalam sana. Mencari sebuah kepuasan batin dengan cara menangis, tapi tak terpenuhi. Menangis saja tak pernah cukup untuk menyesali sebuah kejadian yang sudah terjadi.
"Dek, Ada temen kamu. Buka pintunya" Rara dengar, ketukan dan suara itu adalah milik Kak Rani. Tapi Rara tak mau keluar, Rara tak mau bertemu dengan siapapun. Rara hanya ingin bertemu dan mengobrol dengan bundanya, bukan dengan orang lain.
Penyesalan, bunda, dan tangis. Suasananya hari ini sangat berantakan, perasaanpun sulit sekali untuk dideskripsikan, kacau balau, semuanya menyatu dan melebur menjadi air mata.
"Dek, Keluar yuk. Jangan gitu sama tamu" Suaranya terdengar lagi. Tapi Rara tetap kekeh, dia tak mau keluar karena di luar hanya akan menambah duka.
Rara tak mau larut dalam bayangan ini, dalam kondisi ini, dalam keadaan ini. Tapi, Rara bukanlah orang yang kuat, Rara bukan orang yang mudah menerima, Rara adalah orang yang sangat bergantung pada bunda, tanpa bunda Rara tak akan bahagia seperti yang sudah terjadi saat bunda koma.
Seperti mimpi, tapi ini nyata. Rara berulang kali memejamkan matanya, lalu membukanya kembali, berharap kalau ini hanya ilusi, bukan fakta nyata. Tapi tak bisa, tak ada yang bisa menghindari takdir, termasuk Rara. Sekarang bukan waktunya untuk pura-pura kuat, sekarang juga bukan waktunya untuk menyambut orang-orang di luar sana. Rara tak butuh banyak orang hari ini. Rara hanya ingin sendiri menenangkan dirinya sendiri untuk bisa menerima takdir.
***
Setelah pemakaman, Radit mencoba menembus tembok pembatas yang sudah Rara buat, sebuah tembok yang membatasi semua orang agar tidak bersentuhan dengannya dalam kondisinya saat ini. Tapi Radit tak bisa, Radit tidak bisa berdiam diri dan membiarkan Rara larut dalam kesedihannya. Radit hapal betul siapa Rara, dia adalah orang yang sulit berdamai dengan keadaan. Termasuk untuk hal ini. Harus ada pendorong yang membuat Rara keluar dari jurang kesedihan.
Sekarang, Radit sudah ada di depan kamar Rara. Dengan persetujuan ayahnya, Radit mencoba untuk masuk. Percobaan pertama adalah dengan mengetuk pintu, sekitar 5 kali ketukan, tak ada suara respon apapun. Saat ketukan ke enam, tak sengaja pintu kamar itu terdorong dan terbuka. Tidak di kunci.
Tak ada pilihan lagi, Radit masuk ke dalam kamar itu. Mengelilingi keadaan ruangan yang berantakan, matanya berkeliling ke segala arah sampai akhirnya pandangan matanya berhenti di pojokan kamar. Ia menemukan Rara di pojok kamar dengan wajah yang terlungkup.
"Hey Ra" Panggil Radit dengan sedikit sentuhan halus di bahunya. Tak usah menunggu lama, Rara terbangun, membuka matanya, dan mata itu benar-benar bengkak.
"Gue tahu rasanya. Lo jangan kayak gini terlalu lama. Lo juga nggak seharusnya nutup diri, di luar sana banyak orang yang mau ketemu sama lo" Ucap Radit sambil duduk di samping Rara.
"Gue nggak butuh semua orang yang ada di luar sana." Suaranya dingin.
"Lo butuh gue?"
"Nggak! Gue mau sendiri. Gue nggak butuh siapapun"
"Tubuhku kecil, masalahku besar. Halo masalah besar, aku punya tuhan yang lebih besar" Tangan Radit berisyaratakan sebuah sesuatu yang besar. Dengan senyuman agar Rara juga ikut tersenyum.
"Gue bukan anak kecil. Lo bisa keluar sekarang. Gue nggak butuh lo di sini"
Yang Radit lakukan sekarang hanya mengerti, tidak boleh membuat semuanya menjadi lebih rumit. Rara itu batu, dia itu keras, Radit tidak boleh ikut-ikutan menjadi batu, karena batu bergesek dengan batu akan menjadi api.
"Gue di sini, karena tempat gue seharusnya emang di sini. Ra, gue terpaksa harus pamit. Kalau lo cari gue, gue ada di Rumah Sakit komplek sebelah. Lala tadi siang masuk ICU karena paru-parunya kambuh. Bunda pesen, kalau gue harus ke sana setelah urusan gue di sini selesai. Awalnya gue pikir gue harusnya di sini aja, temenin lo. Tapi oke, gue paham apa yang lo rasain. Sekarang lo butuh sendiri, kalau lo butuh gue jangan ragu untuk telepon, mungkin tanpa harus lo hubungin gue akan dateng. Gue pamit ya Ra, Jangan lupa makan sama istirahat"
Tak ada jawaban dari Rara, yang ada hanya hembusan angin. Radit melihat Rara terdiam dengan pandangannya yang lurus dan kosong. Sedikit berat untuk pergi, tapi Radit harus pergi, membiarkan Rara sendiri sesuai dengan kemauannya. Harusnya memang begitu, Rara mau apa yang dia mau, apa yang dia inginkan meskipun itu salah. Yang harus Radit lakukan adalah mengikuti, bukan menentang.
***
Kita memang tak akan pernah bisa memaksa diri sendiri untuk menyukai apa yang sebenarnya tidak kita sukai. Perasaan itu murni, perasaan itu nyata, perasaan juga tulus. Tapi untuk kali ini, Rara akan coba menentang, Rara mau melawan perasaan sedih ini, Rara harus keluar sendiri. Bunda akan bahagia jika melihat Rara juga bahagia tanpa tangis dan air mata.
Rara mencoba untuk membangkitkan dirinya, mendengarkan kata-kata Radit yang terus berputar tanpa henti "Tubuhku kecil, masalahku besar. Halo masalah yang besar, aku punya tuhan yang lebih besar"
Ya, Cukup sampai di sini kesedihannya, Rara harus bangkit dan bersiap untuk masa depannya, tanpa bunda.
***
A/N :
Maaf banget, Part kali ini pendek banget karena jadwal sekolah nggak kekontrol dan banyak banget kegiatan di luar sekolah yang nggak kalah padatnya. Gue cuma mau bilang, terimakasih banyak untuk yang udah baca, walaupun nggak vote, karena Vote itu menurut gue hak kalian. Gue cuma mau bilang, Terimakasih banyak, dan jangan bosen untuk baca kisah Rara dan Radit di Kota yang romatis ini, Tangerang.
Acung tangan yang tinggal di kota Tangerang? Punya kisah di Citra Raya, Jembatan Berendeng, dan Modernland? Samain yuk kayak Rara Dan Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
RandomSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...