SMAPM (02) 10

269 15 0
                                    

Sudah seminggu setelah kejadian di Bandung. Radit masih belum menghubungi Rara,  dan Rara juga belum berhenti mengirimi Radit pesan. Radit masih belum bisa berdamai dengan hatinya, dengan semua yang terjadi begitu saja. Kejadian yang bisa ia lihat langsung dengan mata kepalanya.

Rara memang tidak suka,tapi laki-laki akan terus berusaha. Ingat tidak dengan kata ini 'Setiap usaha tidak akan mengkhianati hasil' kalau kakak tingkatnya Rara itu berhasil, Berarti Radit gagal? Begitu.

"Lo mau sosis nggak?  Nanti kita goreng buat cemilan sambil nonton barca ntar malem"

Sekarang Radit dan Iffer sedang ada di sebuah supermarket di dekat kampus karena stok makanan di rumah sudah habis dan besok pagi pasti akan ribet untuk membeli makanan karena besok Radit dan Iffer sama - sama kuliah pagi. Dan Iffer, dia kalau tidak makan pagi pasti pulang kuliah akan mengomel seharian seperti anak perawan hari pertama PMS.  Ribet.

"Beli aja. Tapi gue nggak ikut nonton ya. Besok gue kuliah sampe sore"

"Lo praktek?"

"Iya"

Iffer mengambil beberapat sayuran dan cemilan kemudian langsung membayar di bagian kasir. Iffer memang bukan tipe orang yang belanja sekaligus banyak.  Iffer biasanya hanya belanja untuk kebutuhan makan selama 3 hari. Karena katanya takut ada beberapa bahan yang basi. Menurutnya, udara kulkas sama seperti AC kurang baik.

"Mau kopi nggak lo?" Tanya Iffer pada Radit. Karena mesin penyeduh kopi ada di sebelah kasir dan begitu melihatnya refleks Iffer langsung mau.

"Ya bikinin aja"

"Mba ini kopinya dua ya" Ucap Iffer pada mba - mba kasir yang masih merapihkan barang belanjaan dua manusia ini.

Iffer dan Radit memilih untuk berjalan kaki untuk pergi ke supermarket karena irit ongkos dan juga hitung-hitung mengurangi polusi asap kendaraan. Lagipula, jarak antara rumahnya dan supermarket tidak jauh. Lebih bagus jalan kaki menikmati malam di Surabaya sambil menenggak segelas kopi yang ia seduh di supermarket tadi.

"Lo ngapa sih sama Rara?" Radit tersenyum miring saat mendengar Iffer bertanya tentang Rara.  Sebenarnya Radit tidak marah pada Rara.  Ia marah pada dirinya sendiri. Karena tidak bisa ada di samping Rara saat Rara butuh Radit.  Yang hadir justru orang yang tidak Rara inginkan. Kak Edric.

"Lagi pesimis"

"Ngapa? Ada yang deketin Rara? Dia Lebih ganteng dari lo? Dia Lebih Pinter dari lo?"

"Maybe"

"Ya ampun. Mau tuh cowo paling ganteng se-provinsi, mau dia pinter sampe masuk Harvard.  Tetap aja, kalau cintanya sama lo dia bisa apa?"

"Bisa nikung?"

"Kalau lo tetep ngediemin Rara,  nanti lo nyesel.  Kalau ternyata dia udah nyolong star duluan gimana?"

"Kayaknya gue emang salah pilih kota ini. Harusnya gue sama Rara aja di Bandung kita bisa sama-sama, gue bisa jaga Rara dan Rara bisa menghindar dari si Edric kampret itu"

"Buset kaya anak baru pubertas aja lu nyalahin takdir"

"Ya tapi gue kadang mikir aja si, kalau gua nggak ke sini mungkin gue baik-baik aja sama Rara di sana"

"Sotoy lu Bambang! Nih Dit ya, Dengerin gue nih ya"

"Paan"

"Ya dengerin dulu lah bego"

"Mulut di ayak. Biar alus"

"Bacot lu. Mau dikasih saran kok nyolot si lu"

"Siapa?"

Sahabat Mu, ATAU pacar Mu? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang