SMAPM (02) 15

244 16 1
                                    

Rara menangis sedu di dalam kamar. Pikirannya tak berujung. Kenapa bisa Radit langsung pergi tanpa ada kata lagi. Tanpa mau menjelaskan. Apa karena Rara sudah keterlaluan dengan sikap nya kali ini? Tapi apa salahnya? Dimana salahnya? Rara nggak berhak kecewa sama Radit? Atau Rara harus dipaksa mengerti dengan keinginannya Radit? Tapi Radit nggak pernah mau coba ngerti apa yang Rara mau.  Radit sekarang selalu menutup semuanya dari Rara. Dan Rara benci itu.

"Ra, ayah boleh masuk?" Suara ketukan pintu itu membuat Rara bangkit. Ia menyekat air matanya. Mencoba untuk tenang tanpa sedu lagi, meskipun bekas tangisnya tetap Ada.

"Masuk yah"

"Hari ini nggak kuliah?" Rara hanya menggeleng. "Kenapa?"

"Nggak enak badan" jawab Rara singkat.

"Nggak enak badan apa nggak enak hati?" Rara masih diam. Jujur saja Rara juga masih kesal dengan ayahnya perihal masalah Rara tidak diberi izin untuk pergi ke Surabaya. "Kalau udah nggak percaya, kenapa bertahan? Kenapa masih mau sama Radit yang senang bohong?"

"Radit punya alasan. Tapi nggak masuk akal"

"Itu kamu tahu. Masuk akal kalau menurut Radit. Tiap orang punya sudut pandang yang berbeda, mungkin aja kalau dari sudut kita, emang nggak masuk akal. Tapi kalau dari sudut yang lain, kan beda ceritanya"

Rara diam. Tidak mau berkata lebih banyak. Kini seolah yang ada dipikiran Rara semuanya benar. Tidak ada yang salan. Yang salah hanya Radit dan pikiran yang sampai detik ini masih sulit dipecahkan.

"Besok kamu harus kuliah. Kamu harus inget hal apa yang membawa kamu sampai ke kota ini. UAS sebentar lagi, ayah nggak pengen denger kamu gagal cuma karena masalah ini. Lakukan hal terbaik yang kamu bisa."

"Iya yah"

"Minimal dengan hasil yang baik, kamu nggak terlalu galau lagi mikirin Radit gini"

"Hmm"

Saat ayahnya keluar kamar, Rara mengambil ponselnya. Ia mengetik sesuatu ke nomornya Radit. Berharap dapat balasan, tapi sepertinya tidak mungkin. Radit saat marah tak bisa di sentuh. 

Nggak ada yang bisa bikin waktu berhenti. Walau cuma sedetik.
Aku nggak ngerti lagi kenapa aku harus egois kayak gini, aku nggak tahu kenapa aku selalu banyak nuntut, aku yang selalu khawatir, aku nggak bisa percaya, aku nggak ngerti kenapa diri aku sekarang selalu menuntut orang lain untuk sama aku, untuk ngertiin aku, untuk sepemikiran sama aku. Padahal aku sendiri tahu. Orang punya pola pikirnya masing-masing dan dunia juga nggak cuma mengelilingi aku.
Aku mau sedetik itu dikembalikan. Aku mau menarik kata-kata kalau aku nggak percaya sama kamu. Bukan kamu penyakitnya, tapi aku. Aku yang selalu curiga dan selalu menganggap kalau ketakutan aku terjadi sama kamu.

Kemudian Rara kirim pesan itu. Tak seperti biasanya langsung muncul tanda biru di pesan. Tandanya Radit sudah membuka pesan Rara.

Rara terus menatap ponselnya, satu menit mungkin Radit butuh membaca isi pesan itu dengan seksama. Lima menit, tidak ada tanda-tanda jika Radit mengetik pesan. 15 menit tidak ada pesan masuk dari Radit. 30 menit kemudian Rara menonaktifkan handphone nya. Positif pesannya hanya dibaca. Tidak dibalas.

***

"Obatnya udah diminum kak?" Tanya Hanum pada anak laki-laki nya.

Raditya adalah anak yang kurang lebih 11 tahun yang lalu ia rawat di rumah sakit, dengan kondisi yang sama seperti sekarang. Dulu, saat usianya 8 tahun, Radit adalah anak yang sangat murung bahkan seperti sudah kehilangan harapan untuk hidup lagi.

Singkat cerita, ia tahu anak yang hanya dirawat oleh ayahnya ini baru saja ditinggalkan oleh ibunya. Ibunya pergi ke luar negeri untuk menikah dengan pria yang ia cintai, pria yang bisa mewujudkan ekspektasi nya tentang seorang suami idaman. Mungkin ayahnya Radit bukan orang yang bisa memenuhi segala tuntutan anak dan istrinya.

Sahabat Mu, ATAU pacar Mu? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang