Malam ini tidur nya terganggu. Iffer bangun karena suara asing yang berasal dari kamar mandi. Suara muntah dan dilanjutkan dengan suara barang-barang yang jatuh ke lantai.
Matanya belum terbuka sempurna, karena baru saja Iffer memejamkan matanya. Dan belum lama juga Iffer dan Radit makan sate ayam bersama di ruang tengah sambil main ps dan membicarakan tentang Rara. Katanya tadi Radit habis telepon Rara dan Rara sedang di rumah sakit.
Iffer membuka pintu kamar Radit yang tidak dikunci, kamarnya berantakan, di kasurnya tidak ada orang. Ternyata rasa ngantuknya membuat Iffer salah masuk ruangan. Harusnya ke kamar mandi, bukan ke kamar Radit.
Sambil berjalan, Iffer mengumpulkan semua kesadarannya, tapi suara benturan yang cukup keras langsung membuat mata Iffer terbuka sempurna. Suaranya masih berasal dari kamar mandi. Tak berpikir panjang lagi, Iffer langsung lari, membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. Dan yang pertama kali ia lihat adalah Radit yang terkapar di lantai dengan darah di hidungnya. Hampir semua bagian tubuh Radit dingin dan wajahnya pucat.
"Dit, Radit" Iffer menggoyangkan tubuhnya Radit, berharap jika anak ini tidak benar-benar pingsan. Tapi Radit tak bangun.
Tak berpikir jauh lagi, Iffer langsung berlari ke kamarnya, mengambil handphone dan menelpon mamanya Radit..
***
Pagi ini Rara memaksakan diri untuk pergi ke kampus. Karena hari ini ada praktikum dan presentasi di kelas."Neng, nggak apa-apa kan? Kok mukanya nggak cerah gitu? Nasinya di habisin neng ya, habis itu minum obat" Ucap Mba Anna.
"Nggak apa-apa mba"
Rara sejak tadi mencoba untuk menelepon Radit, tapi nomornya masih belum aktif. Nggak seperti biasanya, Radit pasti sudah mengaktifkan handphonenya setelah shalat subuh. Apa Radit tidak bangun untuk sholat ya tadi pagi? Tapi mana mungkin. Radit adalah orang yang senang bangun subuh tapi tak pernah senang mandi pagi.
Rara segera menghabiskan makanannya dan bergegas menuju ke kampus naik ojek online karena ayahnya sudah ada berangkat sejak pagi ke hotel untuk mempersiapkan acara pembukaan yang tinggal menghitung hari. Rara menyingkirkan Radit sejenak, karena Kalau mikirin Radit terus, bisa-bisa Rara kesiangan berangkat kuliah.
Sampai di kampus Rara duduk di sebelah Tasya dia tuh kenapa sih selalu dateng pagi-pagi dengan sarapan di mejanya. Ya setiap pagi Tasya selalu bawa teh manis hangat dan juga bekal yang dia makan pagi itu juga. Katanya nggak pernah sempat makan di rumah, kalau makan di jalan takut keselek, dan pilihannya adalah kelas. Aman damai dan kalau pagi-pagi juga belum ramai orang.
"Eh Rah, makan yu bareng gue. Nih gue bawa nasi sama ayam balado buatan bibi di rumah gue. Enak banget sumpah. Lo harus cobain" Tasya langsung menyodorkan tempat makannya. Dia selalu bawa ayam balado pagi-pagi yang pedasnya juga pedas sekali. Perutnya sangat kuat untuk makan yang pedas di pagi hari.
"Gue udah makan di rumah Ca, lo aja abisin cepet." Bukannya menolak tawaran. Tapi Rara nggak bisa makan pedas pagi-pagi, yang ada Rara langsung diare.
"Bentar - bentar, itu muka lo kenapa merah gitu? Kaya bengep gitu sih?" Sepertinya Tasya memperhatikan hampir tiap bagian di wajah Rara.
"Cuma kedinginan semalem. Nggak apa-apa."
"Oh"
Tapi Tasya kembali bicara..
"Eh Rah, lo kenapa sih nggak mau deket sama kak Edric? Padahal dia tuh baik banget, ganteng, Pinter, santuy hidupnya, lo tahu kan muka dia tuh kaya blasteran bule bule gitu?" Tasya bicara dengan mulutnya yang masih penuh dengan makanan. Ia bicara Seperti tidak ada lagi kesempatan untuk bicara serius dengan Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
RandomSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...