"Lo beneran bisa sendiri?" Tanya Radit saat Rara baru saja turun dari motornya.
"Iya, gue lebih tahu kayak gimana sifat ayah gue"
Meskipun sebenarnya Rara sangat takut, ini sudah menjelang magrib dan pasti Ayahnya sudah tahu jika hari ini Rara bolos sekolah.
"Iya udah sana pulang, betah banget di sini" Ucap Rara saat melihat Radit yang tak kunjung beranjak.
"Gue liatin sampe masuk ke dalam"
"Gue mau liatin lo sampe hilang di jalanan"
"Ini sih namanya ngusir"
"Emang!"
Radit menyalakan motornya, lalu melajukan motor itu hingga berbelok ke blok rumahnya yang ada di ujung jalan. Rumah Rara dan Radit bisa dibilang berdekatan, hanya berbeda beberapa blok tapi masih satu komplek perumahan.
Rara menarik nafasnya, mengumpulkan seluruh keberaniannya dan setelah terkumpul, Rara melangkahkan kakinya memasuki rumah. Rasa takut semakin menjadi saat melewati tempat mobil ayahnya diparkirkan, ingin berputar arah, tapi ternyata kedatangannya sudah diketahui lebih dulu oleh sang ayah.
"Dari mana kamu!" Tiba-tiba ayahnya muncul di depan pintu, membuat Rara terkejut dan hampir terpingkal ke belakang.
"Jenguk bunda" Ucap Rara pelan. Kini, Rara tak berani untuk menaikkan kepalanya, ia hanya menunduk. Karena kali ini, Rara memang salah.
"Siapa yang izinin kamu jenguk bunda?"
Rara hanya menggeleng, itupun pelan. Karena ternyata rasa takut itu mengalahkan semua keinginan Rara untuk bicara terus terang.
"Ayah kerja, dari pagi sampai sore untuk kamu, untuk menuhin kebutuhan kamu, untuk bikin kamu senang. Ayah cuma minta kamu nurut, apa itu berlebihan? Ayah itu khawatir sama kamu, kalau ada apa-apa di jalan, gimana? Ayah protek sama kamu dan semua laki-laki yang deket sama kamu, karena ayah itu laki-laki. Ayah tahu bagaimana sifat laki-laki. Kalau ayah seperti itu tandanya ayah sayang sama kamu"
Rara menarik nafas panjang, mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, dan kini menatap ayahnya.
"Tapi ayah terlalu mengikat Rara, ayah nggak bisa terus kayak gini. Rara mau bergerak yah.. Rara nggak mau terus-terusan dikurung di dalam sangkar!" Rara menangis, tak lagi kuat menahan apa yang selama ini ia rasakan, tak kuat lagi menahan semua yang terpendam dan akhirnya mengeras hingga menimbulkan nyeri di hati. Rara bukan burung yang terus-terusan ada di dalam sangkar dan pergerakannya terbatas. Rara itu anak manusia, yang harus dijaga tapi bukan diikat.
"Rara mau kuliah di luar kota, Rara mau jalan-jalan keliling kota, Rara mau bebas untuk jenguk bunda, dan Rara mau sekolah sesuai dengan keinginan Rara. Bukan seperti sekarang yah, bahkan sejak dulu Rara dilarang untuk ikut organisasi, Rara harus belajar, Rara harus pulang tepat waktu, dan Rara nggak boleh main. Ayah, coba jadi Rara. Nggak punya banyak teman, bahkan nggak punya teman cuma karena Rara susah untuk diajak kerja kelompok di luar, Rara yang nyusahin banyak orang di organisasi karena selalu pulang lebih dulu. Yah, Rara mau hidup normal...."
Suaranya lirih, air mata sudah menggenang membasahi pipi, dan perih di mata juga sudah mulai terasa. Ini yang Rara mau, berbicara tentang perasaannya, tentang seluruh kekesalan yang sering ia tahan.
"Kedua kakak kamu gagal untuk wujudin harapan ayah, sekarang kamu mau ikutin mereka? Kuliah di luar kota mau ambil apa kamu? Kesehatan lagi seperti kakak kamu itu, iya?" Suara ayahnya mulai meninggi lagi, mungkin emosi di kepalanya sudah mulai mendidih dan bergejolak.
"Yahh, apa salahnya ilmu kesehatan? Rara selalu tanya itu tapi kenapa ayah nggak mau jawab?"
"Masuk kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
RandomSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...