Hari ini awan di Surabaya tidak cerah, mataharinya mengumpat di kerumunan awan hitam, hujan turun tidak deras tapi lumayan membuat suasana udara hari ini begitu dingin.
Radit menatap mamanya dari kejauhan, matanya masih memerah karena terlalu lama menangis, Begitu juga Lala yang mulai paham jika ayahnya sudah pergi dan tak lagi kembali. Ada luka yang menyayat hati nya Kala melihat mamah dan adik nya. Dua manusia yang kini sudah menjadi tanggung jawabnya, dan Radit. Sekarang Radit bukan lagi seseorang yang hidupnya bergantung lagi dengan ayahnya, tapi kini ia menjadi tiang untuk mama dan adiknya agar tetap berdiri tegak.
Tiga tahun yang lalu, Dimana Radit ada dimasa antara hidup tapi seperti orang yang mati, dimana ayahnya akan mengorbankan segalanya untuk kesembuhan Radit. Katanya saat itu ada banyak harapan ayah yang bergantung pada anak laki-laki satu-satunya yang hidupnya sedang di ujung tanduk. Ada banyak mimpi ayah yang tertanam di diri Radit. Dan belum ada satupun yang Radit bisa wujudkan untuk sosok yang tegas, yang suka melarang, yang terkesan dingin dan tak peduli, padahal ia adalah orang yang paling khawatir.
Dan sekarang, Radit berdiri di sini berkat semua semangat nya, dengan pengorbanannya. Mungkin jika tidak, Radit justru yang mendahuluinya bertemu dengan Tuhan. Tapi mimpi ayahnya yang membuat Radit bangun, kembali hidup dengan jutaan harapan yang ada di depannya. Semua demi siapa? Ayah dan mamanya..
"Dit, Om pamit dulu ya. Nanti malem ke sini lagi" Radit hanya mengangguk kala ayahnya Rara menepuk pundaknya. "Jangan terlalu larut, Mamah dan Adik kamu itu butuh sosok seperti ayah kamu" lagi-lagi Radit hanya mengangguk, tak menjawab.
Radit masih terkejut dengan keadaan yang begitu tiba-tiba. Padahal baru kemarin, ayahnya menjemput Radit di kampus dan makan malam di luar bersama dengan Iffer. Semalam ayahnya banyak bicara tentang keinginan Radit untuk menjadi Dokter bedah. Dia juga bertanya, Kapan Radit wisuda? Masih lama? Katanya dia sangat ingin melihat anaknya menjadi Dokter.
Radit cuma bisa bilang jika tahapan menjadi seorang Dokter itu panjang, setelah menjadi sarjana kedokteran Radit harus koas dan jalannya masih sangat panjang, karena sekarang saja Radit belum lulus, skripsinya saja masih belum di terima. Tapi ayahnya bicara jika Radit harus semangat, tidak perlu lulus dengan waktu yang cepat, tidak tepat waktu juga tidak masalah.
"Dit, Jadi Dokter itu butuh pengalaman yang banyak, jangan mau terlalu cepat lulus, nggak apa lulusnya lama, selagi kuliah gali pelajaran yang banyak, cari pengalaman sebanyak mungkin. Karena profesi kamu itu bukan profesi yang mudah"
Itu adalah nasehat terakhir yang ayahnya sampaikan pada Radit, selanjutnya pagi itu. Pagi yang paling Radit tidak sangka akan terjadi. Ayahnya terbujur kaku di sofa depan setelah shalat subuh. Saat Radit mau berangkat kuliah, ayahnya sudah tak bangun bahkan sudah tak bernafas.
Radit menatap sekeliling rumahnya, perlahan satu demi satu orang pergi, suasananya semakin sunyi. Padahal ayah memang jarang di rumah, tapi sekarang perasaanya jadi berbeda, seolah sebagian kehidupan itu sudah di renggut. Dan kini tinggal sebagian kehidupan yang hampa.
Bagaimana rasanya istri ditinggal suami, anak ditinggal ayah? Ya, Radit hancur, Mamanya juga hancur. Tapi ia harus tegar, itu bukan pilihan tapi keharusan.
Radit menghampiri Mamanya, ia duduk di sebelah mamanya yang seakan masih tak percaya.
"Eh Kak, Udah makan?" Mamanya menatap Radit saat mengetahui keberadaan Radit yang duduk di sebelah nya. Pertanyaannya selalu sama sejak dulu sampai sekarang.
"Mama udah makan? Kita makan bareng ya" Radit melihat mamanya menyekat air mata, kemudian tangisnya kembali pecah. "Mah, udah mah" Kali ini Radit harus bisa jadi angin penyejuk untuk mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
De TodoSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...