Rara pulang ke rumah dengan tanda tanya, dengan kebingungan yang masih bercabang di kepalanya. Baru saja hubungannya membaik, tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Radit sakit, memang sih sakit itu tidak bisa direncanakan apalagi diketahui terlebih dulu orang lain. Tapi ini terlalu tiba-tiba, dan Rara tidak tahu kenapa.
"Bi, ayah kemana?" Tanya Rara saat duduk di hadapan meja makan.
"Tadi pergi, bapak bilang katanya pulang malem neng. Ada urusan di luar"
Padahal, nanti malam masih ada pengajian 7 hari meninggalnya almarhum bunda. Tapi ayahnya pergi tak jelas, tak tahu kemana dan akan melakukan urusan apa.
"Kak Andri kemana?"
"Mas Andri pergi sama temennya, ngambil Catering buat nanti malem neng"
"Siapa temennya bi?"
"Namanya bibi lupa. Cuma dia pernah ke sini waktu itu buat bantu-bantu pemakaman ibu"
"Radit?" Ya karena Rara hanya tahu Radit yang ada saat itu.
"Bukan. Ini temen kampusnya neng"
"Oh" Iya, Rara ingat. "Billy ya bi?"
"Nggak tahu namanya bibi mah Neng"
Setelah makan, Rara masuk ke dalam kamar. Di kamar, suasananya kembali asing. Sepi, dan hening. Rumahnya hari ini bahkan tidak ada siapa-siapa. Hanya ada bibi dan Pak Adang, supirnya ayah di kantor yang hari ini ditugaskan untuk mengantar jemput Rara.
Rara mengambil handphonenya. Mencari nama Radit, dan menekan simbol telepon. Tersambung, tapi belum diangkat. Rara masih setia menunggu sambil menempelkan benda tipis itu di telinganya.
[Kenapa jelek?] Saat suara itu terdengar, Rara sontak terkejut. Ternyata diangkat.
"Apaan sih jelek-jelek. Lo sendiri kaya ganteng aja" terdengar suara tawa pelan di seberang sana.
[Iya udah. Ada apa ratu cantik sejagad Tangerang? Ada yang bisa saya bantu?]
"Di rumah nggak ada orang. Sepi banget. Cuma ada bibi doang"
[Terus kenapa? Mau minta temenin gitu]
"Teleponan aja. Biar gue nggak takut"
[Takutnya?]
"Takut kamu pergi"
[Lah? Mbanya ngantuk ya? Kok ngawur sih ngomongnya?]
"Serius mas saya nggak bercanda"
[Mbanya tumben, biasanya malu-malu nyatain kalau sama-sama suka]
"Nanti diembat orang lagi, saya nggak mau"
[Tau nggak dengan cara apa yang bikin gue nggak akan pergi?]
"Apa?"
[Menetaplah. Jangan berbuat atau melakukan hal yang nggak aku suka. Karena, aku suka kamu apa adanya. Tanpa harus dikurang-kurangin, atau dilebih-lebihin]
Beginilah Radit dan Rara. Bicara sesukanya, seenaknya, senyamanya, karena yang penting bukan panggilannya, tapi kata yang diucapkannya yang penting.
"Tadi lo kemana? Kok nggak masuk kelas?" Rara memberanikan diri untuk bertanya. Karena, Rara diperintahkan untuk berpura-pura tidak tahu jika Radit sakit.
[Tadi nemenin Rama. Ke perpustakaan nasional. Soalnya kita kan pulang sore, jadi kalau ke sana sore ya udah tutup] Rara menggigit lidahnya. Radit bohong.
"Oh pantesan"
[Kamu nyariin aku?]
"Iya sih. Tapi dit, aku mau tanya sama kamu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
AcakSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...