SMAPM 9

692 30 0
                                    

Radit langsung berlari menuju ke ruang osis. Rara pasti sudah menunggu, dan Ruang osis mungkin saja sudah sepi karena tadi saat di jalan Radit membaca pesan dari Rama jika Yunda sudah pulang terlebih dulu, dan Rama sedang di ruang guru untuk mencari dokumen yang ternyata hilang.

Hujan deras di luar tadi membuat Radit datang dengan tubuh yang basah kuyup, rambut yang sudah lepek, dan baju yang seperti baru saja selesai dicuci. Kalau tahu jika akan seperti ini, Radit tak akan pergi mengantar Cindy, Radit akan menetap di sekolah dan menemani Rara membuat anggaran dana yang selalu selalu ditagih oleh nenek sihir Vitak.

Sampai di dalam ruang osis, Radit langsung duduk dihadapan Rara, wanita itu seakan menghiraukan kedatangan Radit. Ia fokus pada laptop milik Radit yang berada di tatapannya.

"Ra," Panggil Radit karena Rara tak kunjung bicara.

"Kenapa selalu telat sih Dit, kenapa lo nggak bisa tepat waktu?" Sudah bisa Radit tebak jika Rara akan marah ssperti ini. Karena Rara adalah orang yang sangat sensitif pada waktu.

"Lo cemburu?"

"Kenapa lo selalu bilang gitu? PD banget"

"Karena itu yang gue lihat dari mata lo" Sambil diiringi dengan tawa, Radit mengubah posisi duduknya menjadi berada di samping Rara. "Sini Laptopnya. Gantian gue yang kerjain"

"Nih" Rara memberikan sebuah handuk kecil kepada Radit. Itu yang Radit suka pada Rara, semarah apapun Rara pada Radit, ia akan tetap luluh jika melihat Radit dalam keadaan tak baik. Termasuk kehujanan. "Jaket lo juga nih. Untung tadi ditinggal nggak ikut dibawa. Coba kalau dibawa bisa basah juga"

"Harusnya gue yang berlaku romantis ke lo Ra, bukan lo yang romantis ke gue"

"Baper banget sih jadi cowo"

Setelah itu Radit memakai jaketnya yang tadi Rara berikan, kemudian Radit mulai mengetik di laptop sambil sesekali melihat Rara yang meletakkan kepalanya di atas meja sambil memainkan pulpennya yang diputar-putar. Pemandangan seperti ini sering sekali Radit lihat, di kelas, di ruang osis, bahkan kadang juga di kantin. 

Radit mengambil handphonenya di saku baju, menyalakan sebuah lagu, dan ikut menyanyi mengikuti lagu itu berputar.

*sound on*

Rara bintang kecilku yang pilu
Coba pahami arti hidupku
Di setiap langkah dari arah yang kau pilih
Tuk dapatkan yang kau cari

Rara berikanlah senyum itu
Buat dunia takluk di kakimu
Walau seribu tombak mengunjung jantungmu
Jangan pernah kau menangis.

Rara rebahkan semua letihmu
Padamkan api kecilmu
Sejenak lelap dalam mimpimu
Hingga pagi menjemputmu.

Rara akan tiba esok hari
Hitam rambutmu memutih
Biar perlahan waktu buktikan indah arti hidup ini.

Lagu terus mengalun, tapi Radit berhenti mengikuti lagu itu. Ia menatap Rara yang menangis. Tapi tangisnya sedikit tersembunyi, hanya butiran kecil air mata yang terjatuh. Sesegera mungkin juga ia selalu menyekat air matanya, tapi Radit tahu seperti apa air mata itu jatuh melewati pipi.

Rara itu penakut, jadi ia sulit untuk mengungkapkan semua keinginannya, semua yang membeban di pundaknya tak bisa ia singkirkan sendiri karena ia tak memiliki kekuatan yang besar. Dan di sinilah Radit, harusnya ia yang membantu Rara menyingkirkan bebannya.

"Masih dengan masalah yang sama Ra?" tanya Radit, tapi Rara hanya mengangguk. "Lo udah coba apa yang gue bilang kemarin?" Kali ini juga Rara hanya mengangguk. "Jangan terlalu banyak nangis, perbanyak cerita dan usaha. Karena batu akan terkikis kalau terus di hujani air"

"Nggak gampang Dit, susah banget" Seperti ada tangis yang ia tahan. Radit bisa mendengar jelas seperti apa suara yang dikeluarkan oleh Rara.

Radit kembali mengikuti arus lagu.

Genggam erat tanganku
Di kala hujan benamkan semua
Indah mimpimu dalam lelap tidurmu
Dan bila engkau terjatuh nanti
Tak kuat ragaku menompang beban ini
Pastikan kau terus berdiri.

"Dengerkan Ra, musik cuma sebagai perantara. Jadi Dewi yang terus berdiri ya. Nggak boleh nangis, kalau nangis lo cengeng"

"Gue emang cengeng!"

"Gue kerjain ini dulu ya, nanti gue anter lo pulang. Udah nih mainin Handphone gue. Banyak game"

Rara mengambil handphone Radit "Gua  nggak bakal nangis, tapi gue mau main ML ya?"

Syok, dengan segera Radit kembali mengambil handphonenya yang ada di tangan Rara. "Kaga dah kalau itu mah. Rank gue turun nanti Ra"

"Oke, awas kalau lagi susah jangan cari gue. Cari aja tuh Layla, Freya, Nana, Rafaela, sama si Miya"

"Iya udah. Lo juga, sono ngegalau bareng binatang ternak lo aja yang di HayDay"

"Iya udah. Gue pulang aja. Di sini juga nggak dibutuhin kan?" Rara mengambil tasnya dan mulai berjalan satu langkah meninggalkan meja.

"Eh Ra, kok baper sih. Anjir. Raa tungguin!" Radit dengan segera menutup laptopnya dan mengambil tas lalu memeluk laptopnya sambil mengejar Rara.

Di koridor, Radit berhasil menggenggam tangan Rara, anak itu malah sedang senyum-senyum sendiri, dan ketika ia memutarkan tubuh Rara untuk menghadapnya, Rara malah tertawa sangat kencang.

"Yess! Berhasill!!" Sambil tertawa Rara berteriak di koridor yang sudah sangat sepi itu.

Radit tersenyum miring, ia tahu maksud Rara, kenapa ia bisa tertawa sebahagia ini. Karena Rara bisa berhasil membuat Radit panik dan mengejarnya. 

"Udah pinter nipu nih ya? Iya? Dasar!" Radit mengacak-acak rambut Rara sampai benar-benar berantakan. Dan Rara sampai terlihat seperti orang gila yang sedang menggunakan seragam SMA.

"Gue seneng lo ketawa Ra" bisik Radit tepat di telinga Rara.

"Raditt, Raraa!!!!!!!" Suara seseorang berteriak di ujung koridor membuat kedua orang yang tadi dipanggil menoleh.

"Ayo beresin dulu. Penunggunya marah tuh" Ucap Radit yang kemudian menarik tangan Rara.

Tak sadar, tapi mengenggam tangan Rara seperti menemukan sebuah potongan puzzle. Merasa lengkap, aman, nyaman. Dan, sudahlah jangan diceritakan lagi. Nanti ada yang ngiri.

Sampai di depan ruang osis, Radit melihat Rama yang sedang membereskan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja. Rara ia tahan berada di sampingnya, genggaman  tangan keduanya juga masih belum terlepas.

"Ram!" Panggil Radit karena Rama masih belum juga menyadari kehadiran Radit yang sudah di ambang pintu.

"Apaan?" Kemudian Rama menoleh, "Anjir! Nggak salah liat gue?"

"Eh, apaan sih" Rara terlihat seperti baru sadar jika ia dijadikan bahan untuk pameran di depan Rama. Rara kemudian langsung melepaskan genggaman tangan Radit, dan segera masuk ke dalam ruangan Osis untuk ikut membantu Rama.

"Kalau udah ditolak mah ya udah Dit, dia kan sahabat lo, masa mau dijadiin pacar lagi, nanti ditolak lagi. Galaunya 7 hari 7 malem, nyusahin orang-orang lo" Ucap Rama sambil ia berjalan ke arah lemari dan meletakkan beberapa dokumen ke dalam lemari.

"Rara mah nggak mau pacaran ya, maunya nikah. Iya nggak Ra?" Tanya Radit pada Rara, dengan menampilkan senyuman mengejek miliknya tentu saja.

"Nggak!"

___________________

Play lagunya saat Radit nyanyi yaaa.

Sahabat Mu, ATAU pacar Mu? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang