Hari demi hari masih tetap sama. Tapi Rara lebih berjarak dengan Radit. Biasanya tiap pagi Radit akan datang ke rumah, tapi untuk beberapa hari terakhir ini setelah pertemuan mereka di Ruang musik, Rara lebih memilih untuk minta antar jemput Kak Andri, kalau Kak Andri tak bisa, maka harus dengan terpaksa meminta bantuan Radit.
Seperti hari ini, Kak Andri tak bisa menjemput Rara karena ia harus pergi ke Depok malam ini juga, jadi pilihan satu-satunya adalah Radit. Tapi Rara harus menunggu Radit selesai belajar di kelas tambahan Pak Sanjaya, pelajaran Bahasa Indonesia yang akan diujikan di Ujian Nasional. Radit lemah, sangat lemah sekali dalam pelajaran Bahasa Indonesia.
Dari koridor depan kelas, Rara sesekali mengintip kelas yang berisi Radit, Kent, Dan 5 orang siswa laki-laki lainnya. Radit sungguh-sungguh, dia mau belajar. Tapi sayangnya telat. Dia belajar diakhir masa ajarannya, tapi tidak ada salahnya juga. Sebenarnya, tak ada sesuatu yang terlambat untuk diperbaiki.
Jam tambahan itu berlangsung selama 1 jam, dan selama itu juga Rara diam duduk di koridor kemudian bangkit menengok Radit lagi di kaca jendela, kemudian duduk lagi. Tapi tak ada hal lain yang bisa Rara lakukan selain menunggu Radit belajar sambil termenung dan sesekali berpikir.
Kejadian yang lalu seharusnya sudah tak usah lagi dipermasalahkan, tapi Rasanya kali ini Rara tak mau mudah memberikan maafnya pada Radit. Percuma, kalau diberikan maaf hanya untuk diulangi, untuk apa?
Seseorang bisa ada dipuncak paling jenuh, paling marah, paling merasa dikhianati saat kepercayaan yang sudah diberikan malah disia-siakan. Nyeri di ulu hati itu lebih sakit daripada luka yang benar-benar terlihat oleh mata telanjang. Ulu hati tak dapat tersentuh oleh tangan manusia, tak bisa dilihat oleh mata manusia. Nuraninya saja belum tentu bisa menjadi teman saat hati sedang terpuruk.
"Bengong aja!" Suara Radit membuat lamunan Rara terhenti. Ia menatap Radit yang berada di depannya sudah membawa tas dan juga sudah siap untuk pulang. "Pasar lama Yuk, laper tahu nggak sih" Ucap Radit saat Rara bangkit.
"Gue mau pulang"
"Sebentar aja. Lo susah gue ajak pergi sekarang. Kenapa sih? Masih marah soal Fasya?"
"Enggak, ngapain dimasalahin"
"Ya kalau enggak, harusnya mau gue ajak kemana-mana kayak dulu"
"Gue kan harus belajar. Gue bukan lo yang jenius"
"Belajar mulu bikin kepala lo sakit, Ayo ah sebentar aja"
"Nggak, gue pulang sendiri aja"
"Raraa, 30 menit aja"
"Nggak, gue udah ngabisin 1 jam gue di sini"
"Kenapa sekarang hitung-hitungan banget sih sama waktu?"
"25 menit. Kalau nggak mau, ya udah"
"Iya 25 menit"
"Terhitung dari sekarang"
Rara langsung berjalan di depan Radit, mendahuluinya yang masih duduk di kursi koridor.
Sepanjang jalan tak ada suara, hanya ada keramaian kendaraan Kota Tangerang pada saat sore hari yang di dominasi oleh kendaraan bermotor dan mobil pribadi. Macet, bahkan mungkin 25 menit yang Rara berikan untuk Radit sama sekali tak cukup karena mengingat Radit juga bisu sekarang.
"Nggak usah ke Pasar Lama deh, 25 menit cuma habis di jalan doang"
"Terus mau kemana?"
"Seketemunya aja dah, makan apa aja"
Rara tak menjawab, ia hanya mengangguk yang Radit lihat lewat kaca spion. Setelah jalan beberapa meter, akhirnya Radit berhenti di pinggir jalan, di tukang ketoprak depan sebuah super market besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
RandomSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...