Rara duduk menghadap jalanan. Sekarang ia sedang menunggu ojek online pesanannya di dekat gerbang. Sejak dua hari yang lalu Rara bungkam pada ayahnya karena tidak diberi izin untuk datang ke Surabaya. Padahal Rara tidak minta ditemani Rara cuma minta izin untuk pergi selama beberapa hari untuk menengok Radit. Tapi ayahnya tetap bersikukuh menolak dengan alasan jika di sini ayahnya sedang sibuk.
Ya hari ini adalah hari pembukaan Hotel itu, dan hari ini juga adalah hari ulang tahun Radit.
"Bandung beberapa hari ini mendung terus ya? Kayak mau hujan, tapi hujannya ketahan" Rara melihat Kak Edric berdiri di sebelahnya. Kenapa si dia tuh ada dimana-mana kayak setan gitu.
"Hmm, cuacanya lagi enak. Adem" Rara bergumam sendiri. Tidak menyatukan arah pembicaraan Kak Edric.
"Lagi banyak masalah ya? Kenapa?" Kali ini bicaranya bukan lagi sindiran tapi langsung masuk pointnya.
Rara diam. Tak menjawab sepatah katapun. Karena yang ada di otaknya sekarang tak perlu dibagikan pada orang lain.
"Kadang orang yang kita anggap nggak penting justru adalah orang yang akan membantu kita. Jangan terlalu keras dengan presfektif yang ada di kepala mu itu. Kalau nggak mau terbuka ya nggak masalah. Tapi kalau di pendam sendiri masalahnya nggak akan selesai"
"Aku duluan kak"
Kebetulan ojek online yang Rara pesan sudah sampai dan Rara bisa meninggalkan obrolan dengan Kak Edric.
Sesampainya di rumah Rara melihat ada mobil asing terparkir di depan rumah. Seperti kenal tapi Rara ragu.
"Acara nya udah selesai ya?" ucapnya dalam hati.
Rara baru saja ingin memutar kenop pintu, tapi pintu nya terbuka sendiri. Menampilkan wajah seseorang yang menyebalkan.
"Lo ngapain di sini?" Tanya Rara pada Iffer yang muncul di pintu dengan senyumnya yang lebar.
"Makin cantik aja Lo Ra. Waktu SMA perasaan buluk"
"Minggir ah ngapain sih Lo di sini?" Rara langsung menerobos masuk ke dalam rumah nya.
Baru saja kaki Rara melangkah masuk ke dalam rumah, matanya menemukan Radit sedang meminum teh manis di ruang tengah. Air mata Rara mau jatuh, tapi ia tahan. Tidak tahu kenapa Rara menangis saat orang yang mengelilingi pikiran justru kini berada tepat di depannya. Jarak yang tadinya jauh kenapa secara tiba-tiba menjadi dekat.
"Samperin kali Ra. Diem aja" Suara Iffer membuat Rara tersadar. Ia berlari menuju kamarnya dan mengunci kamar itu rapat-rapat. Rara menangis dalam dekapan bantal.
Semesta seakan bercanda. Orang yang sedang Rara khawatir kan keadaannya kenapa tiba-tiba ada di sini? Di rumah Rara, bahkan di depan matanya Rara.
"Neng, ini ada mas Radit mau ngomong. Keluar dulu neng" suara mba Anna terdengar oleh telinga Rara. Tapi Rara enggan keluar untuk menemui Radit.
Padahal kemarin Rara yang sangat ingin bertemu Radit. Tapi kenapa sekarang saat melihat Radit bisa berdiri tegak di depan Rara bahkan sampai bisa minum teh, Rara merasa bodoh. Seakan dibohongi. Rasa khawatirnya Rara tidak berarti jika tahu Radit ya baik. Itu yang terlihat oleh matanya.
"Iya mas itu neng Rara udah berapa hari makannya susah, bapak aja sampe bingung takutnya neng Rara sakit lagi." Rara mendengar Mba Anna bicara dengan Radit di depan pintu kamar Rara, "Si neng tuh kalau abis dari kampus suka langsung masuk kamar, nggak mau makan, kadang mba lihat suka ngelamun sendiri di depan laptop. Dia khawatir banget waktu dengar mas Radit sakit"
"Ra, keluar dulu. Aku mau cerita" kini suara Radit terdengar oleh telinga Rara.
Rara menyekat air matanya, harusnya Rara senang jika Radit sudah ada di sini. Itu tandanya dia sudah sembuh. Dia sudah baik. Tapi kenapa Rara menangis? Bukannya harus senang ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Mu, ATAU pacar Mu?
RandomSebuah kisah mainstream antara laki-laki dan perempuan yang bersahabat, yang tak bisa bohong pada dua rasa yang dilanda ketakutan oleh sebuah perpisahan. "Ra, jangan terlalu cepat bicara cinta" sebuah kata yang akhirnya terbukti pada sebuah kisah y...