SMAPM 43

399 20 0
                                    

Pagi ini sama seperti pagi kemarin, tapi tak tahu dengan pagi esok. Rara turun dari motor Radit, pagi ini ia menggunakan motor Vario dengan skotlet hitam yang menjadi pelindung takut jika motornya lecet tergores karena padatnya parkiran.

"Udah potong rambut nih?" Ucap Rara saat Radit membuka helm nya, rambut yang kemarin panjang, kini sudah memendek, sisi kanan kirinya rapih juga bagian depan rambutnya tersisa poni yang pendek pula.

"Iya, enakan gini juga. Lebih ganteng" Ucapnya sambil menebar senyum jahil. Senyum yang sebenarnya Rara akui adalah senyuman paling manis yang  pernah Rara temui di muka bumi.

"Iya terserah kamu lah"

Kemudian mereka berjalan menyusuri koridor sekolah. Layaknya seorang pasangan SMA, semua pasang mata tertuju pada mereka. 

"Nggak ke Warsa?" Tanya Rara karena ternyata Radit mengikutinya sampai ke dalam kelas.

"Nggak. Aku nggak mau kalau aku ke Warsa, nanti bakal ada sesuatu yang terjadi sama kamu. Karena setelah kejadian kemarin, Irfan nggak akan mungkin diam aja"

"Kamu rela kehilangan dunia kamu buat aku?"

"Asalkan kamu aman. Nggak akan ada hal yang perlu aku sesali"

"Radit-"

"Rara, kamu itu adalah titipan ayah dan kakak kamu. Mereka percayain kamu sama aku"

Rara diam. Radit tetap duduk disampingnya, padahal Yunda sudah datang. "Nanti siang belajar di rumah aku ya, mulai dari yang paling susah. Karena aku yakin, kalau yang mudah semua udah ada di luar kepala kamu" 

"Iya. Kamu mau kemana?"

"Tidur di pojok kelas biar nggak ketahuan"

"Radit nanti-"

"Lebih baik aku tidur di kelas atau aku berantem di warsa?"

"Iya terserah kamu"

Kemudian Radit pergi ke ujung kelas, menundukan kepalanya diatas meja.

Dengan menggunakan logikanya, kadang Rara berpikir banyak tentang Radit. Sejak dulu, sejak SMP anak itu senang sekali tidur di kelas. Yang dipikiran Rara adalah, apakah Radit kurang cukup tidur di rumah hingga sekolah dijadikan tempatnya untuk bermimpi, bukan mengejar mimpi.

Dari kejauhan, Rara menatap laki-laki yang semakin hari semakin melekat dengannya. Laki-laki yang tak pernah mau menyerah mengejar Rara. Perasaan untuk Raditpun tak pernah mau hilang. Bahkan semakin besar. Kesungguh-sungguhannya membuat Rara percaya pada apa itu cinta yang sesungguhnya.

Pagi ini bukan hanya Radit yang menjadi pusat perhatian Rara. Tapi ada satu yang tak kalah menarik, yang baru saja dilihat oleh mata Rara saat sedang menatap Radit di ujung ruangan. Rara melihat Iffer datang dari arah pintu masuk. Tidak sendiri, dia berdua. Bersama Yunda. 

"Barengan?" Tanya Rara pada Yunda yang baru saja duduk di samping Rara.

"Iya, gue nggak ada yang anterin. Yaudah gue coba minta nebeng dia. Lagian dia bilang, untuk temenan nggak masalah kan. Yaudah gue minta bantuan dia sebagai teman"

"Di jalan ngobrol?"

"Iya sih. Cuma dia nggak terlalu nanggepin."

Ternyata Iffer tak juga kunjung lelah dengan sandiwaranya. Dia tetap mau melawan perasaannya. Benar kata Radit, Iffer mau usaha, dia mau jadi keras kepala.

"Dia janji nggak akan pernah ninggalin gue"

"Terus? Lo percaya?"

"Gue berusaha nggak percaya. Tapi ini Iffer yang ngomong."

Sahabat Mu, ATAU pacar Mu? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang