37. Selamat tinggal A2.

1.6K 60 2
                                    

Hampir satu minggu Rehan, Tika, dan kedua anak mereka di rawat di rumah sakit. Rehan sudah di perbolehkan pulang nanti sore. Semua orang merahasiakan keadaan Tika yang terluka parah dan si kembar yang juga belum sadarkan diri kepada Rehan.

Yang Rehan tahu Tika dan kedua anaknya sudah sembuh dan enggan menemuinya karena masih marah.

"Lagi kak, satu sendok lagi." Paksa Vania, dia mencoba menyuapi Rehan dengan bubur yang dibuat oleh petugas rumah sakit. Lelaki itu selalu saja begitu, tidak mau makan.

"Satu sendok lagi, Kak." Mohon Vania. Dasarnya memang Rehan sangat keras kepala, lelaki itu mendorong pelan sendok yang berada di dapan mulutnya.

"Hanya satu sendok, Vania mohon." Ucap Vania, Rehan masih tetap dalam pendiriannya. Dia sudah tidak mau makan lagi.

Vania mendesah pelan, kakaknya memang selalu begitu, baru 3 suap bubur dia sudah tidak mau makan.

Bian, Alex, dan Juna datang dengan langkah terburu-buru. Kaki lebar ketiganya berjalan mendekat kearah brankar Rehan.

Bastian membisikkan sesuatu ke telinga Vania, hingga membuat mata perempuan cantik itu berair. Rehan yang melihat adiknya menangis menjadi bingung sendiri.

Vania berlari keluar dari ruang inap kakaknya. Dia menggedor pintu kaca di depannya dengan keras. Badannya luluh di lantai bagai lilin yang mencair.

Kalian mau tahu Bian tadi membisikkan apa kepada Vania? Bian mengatakan kepada Vania kalau Agil dan Alea sama-sama kejang. Nafas keduanya sempat hilang tadi.

"Dok, lakukan yang terbaik untuk keponakan saya." Mohon Vania, kepada Dokter anak di depannya. Vania sampai berlutut di kaki Dokter tersebut. Semua orang yang melihat Vania merasa kasihan.

"Bangun Dokter Vania, kita akan berusaha sebaik mungkin untuk keponakan Anda." Ucap Dokter muda tersebut. Dia adalah teman Bastian, Dokter spesialis anak.

Vania menunggu keponakannya dengan resah. Sudah hampir 2 jam, tapi Dokter tersebut tidak kunjung keluar. Vania menggigit ujung bibirnya hingga berdarah. Badannya menggigil takut. Tidak hanya Vania, semua orang pun begitu.

Semua orang berbagi tugas. Orang tua Tika menjaga Tika. Juna dan Alex menjaga Rehan. Dan sisanya menunggu keadaan si kembar.

"Pah..." Panggil Lilis. Perempuan paruh baya itu terus mondar-mandir di depan pintu ruangan cucunya.

"Cucu kita baik-baik saja. Yakinlah, Ma." Ucap Syam. Semuanya hanya diam dengan bibir bergetar.

"Orang tua pasien?" Panggil Dokter tersebut. Vania maju kedepan, karena hanya Vania yang berada paling dekat dengan pintu masuk ruangan si kembar.

"Saya, Dok. Saya tantenya." Jawab Vania, sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Maaf Dokter Vania, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tuhan berkehendak lain. Keponakan Dokter Vania tidak bisa kami selamatkan. Keduanya sama-sama mengalami benturan keras, hingga terdapat gumpalan darah yang bersarang di otak mereka." Jelas Dokter yang menangani Agil dan Alea.

Rehan yang berada di belakang kedua orang tuanya seakan menepis semuanya. Dia menggelengkan kepalanya kuat.

"Gak mungkin, gak mungkin, ini semua pasti mimpi." Rehan menggelengkan kepalanya terus-menerus. Dia berlari masuk kedalam ruangan anaknya.

Kedua anaknya terbaring dengan berbagai alat medis berada di tubuh mereka. Kedua bocah yang sangat Rehan sayangi menutup matanya. Bahkan denyut nadinya sudah tidak ada.

"Sayang, ini papa sayang. Alea, ini papa Nak. Bangun, papa mau kalian bangun. Ayo menangis, Nak. Papa rindu tangisan kalian." Pinta Rehan, sambil mengguncang tubuh kedua anaknya pelan. Dia memeluk mereka dengan sangat erat.

Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang