42. Mati Kamu Aldo.

1.1K 55 0
                                    

Mama Lilis hari ini sangat sedih. Anak pertamanya sedang hancur.

Cinta!

Banyak orang mati bunuh diri hanya karena kata itu. Cinta bertahta diatas segalanya. Cinta mampu memporak-porandakan perasaan seseorang.

Kita tidak bisa memilih kapan kita ingin jatuh cinta, kepada siapa kita ingin jatuh cinta, dan bagaimana kita membangun cinta.

Cinta datang dengan sendirinya dan menghilang tanpa bisa kita cegah. Ketahuilah, kebanyakan orang mati hanya karena terjerat perasaannya sendiri.

"Mama tidak tahu lagi harus bagaimana, Van? Setelah kepergian Tika, dia jadi gila kerja. Bahkan mengurus dirinya sendiri dia tidak sempat. Kadang Mama kasihan sama kakak kamu." Ucap Lilis, sambil menghela nafas kasar. Wanita paruh baya itu terus memikirkan anak pertamanya hingga membuat kepalanya pusing.

"Entahlah, Ma. Vania juga pusing. Pengaruh Kak Tika dalam kehidupan Kak Rehan sangat besar. Sepertinya Kak Rehan sangat mencintai Kak Tika." Balas Vania, dia menerawang keatas. Kasihan kakaknya jika harus seperti ini terus. Kakaknya juga butuh pendamping hidup yang siap mendampinginya dalam keadaan susah maupun senang. Kakaknya juga butuh sandaran ketika tertimpa banyak masalah.

"Apa Tika juga begitu? Mencintai Rehan seperti Rehan yang sangat mencintainya?" Tanya Lilis, spontan. Vania diam seribu bahasa. Mau menjawab seperti apa lagi, dia bukan para normal yang tahu segalanya.

"Entahlah, Ma. Vania tidak tahu." Jawab Vania, lesu. Untuk memikirkannya saja Vania tidak sanggup.

***

"Papa, Mama, Tika berangkat kerja dulu." Pamit Tika sambil mencium kedua pipi dan tangan orang tuanya.

"Makan dulu sayang." Suruh Eva. Tika menggeleng, pelan. Dia sangat terlambat hari ini. Sekretaris papanya memberi tahu dia bahwa hari ini dia ada rapat dadakan.

Papanya tidak bisa datang karena harus menemani mamanya kontrol hari ini.

"Aku anterin." Tawar Aldo yang sedang mencuci mobil di halaman rumah.

"Gak, makasih. Kamu urus aja Kevin. Kalau dia udah bangun langsung suruh makan dan mandi. Aku lagi buru-buru." Tolak Tika. Dia melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahnya.

"Gak ada berubahnya dari dulu, keras kepala." Cibir Aldo, sambil kembali mencuci mobilnya.

***

"Maaf, saya terlambat. Ada kendala sedikit di rumah." Ucap Tika, dia duduk di kursi kosong yang tepatnya di samping Rehan.

Semua mata menatap kearah Tika. Sadar dirinya di lihatin oleh semua orang, Tika menegakkan kembali tubuhnya. Dia mengangkat kepalanya yang sedang menunduk dan kembali menatap mereka satu-persatu.

"Oke, baiklah. Berhubung ibu Tika sudah datang, ayo kita mulai rapatnya." Ucap seseorang yang Tika sendiri tidak kenal. Maklumlah, dia 'kan baru saja kembali ke Jakarta kemarin.

"Mengenai proyek kita yang akan kita laksanakan di Kota Malang, kita akan membangun sebuah hotel di dekat kebun apel. Kalian semua pasti tahukan kalau Kota Malang itu banyak segali pengunjungnya? Terutama turis dan anak milenial. Mereka akan memilih hotel yang dekat dengan pariwisata untuk mereka jadikan tempat menginap dan........" Orang itu terus mengoceh. Tika mendengarkan dengan baik semua yang orang itu sampaikan. Tapi tidak dengan Rehan.

Lelaki tampan yang sekarang sedang mengenakal setelan jas berwarna hitam sedari tadi sibuk mencuri pandang kepada Tika.

Wajah manis dan menggemaskan itu tidak ada yang berubah, tetap sama seperti lima tahun lalu.

Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang