58. Jangan Jadi Pecundang.

941 40 0
                                    

Entah kebetulan atau tidak Tika dan Rehan bertemu di tempat yang sama.

Keduanya saling tatap, namun ada yang membuat Tika bingung hingga dia sampai mengerutkan keningnya. Benarkah lelaki di depannya abis menangis? Di lihat dari matanya yang memerah dan basah.

"Maaf, kamu habis na...."

Belum sempat Tika bertanya, Rehan sudah pergi begitu saja. Tika mengedikkan kedua bahunya acuh. Dia mencoba tidak perduli dengan urusan mantan suaminya.

Dengan mata sendu Tika menaburkan bunga mawar merah keatas gundukan tanah merah di depannya.

"Aku kangen." Isak Tika, dia memeluk batu nisan yang bertulis nama Mika Guana. Dia menangis sambil mengusap batu nisan kakaknya.

Tidak ada yang berubah memang, hanya saja.....

Bunga Lily, benarkah ini?

Tika tersenyum kecut. Pasti itu ulah Rehan. Lelaki itu masih ingat bunga apa yang saudara kembarnya sukai.

"Sudah?" Tanya Atala, tiba-tiba. Tika mengganggukkan kepalanya singkat. Sebelum dia kembali ke bandung, dia menyempatkan untuk mampir ke makam kakaknya.

Tika berjalan lebih dulu, dia meninggalkan Atala sendiri di belakangnya.

"Restuin kita, Kak." Ucap Atala, dia mengusap batu nisan atas nama Mika Guana.

Atala menyusul Tika yang berjalan menghampiri mobilnya. Lalu dia melajukan mobil putih miliknya dengan kecepatan sedang. Dilain tempat lelaki yang menggunakan kemeja putih di lapisi jas hitam sedang menatap mobil putih milik Atala dengan ekspresi wajah datar.

***

Nadia menatap Rehan iba. Ada suatu hal mengganjal yang perlu dia katakan kepada lelaki dewasa di depannya.

"Rehan, bukan?" Tanya Nadia, dia duduk di depan Rehan. Rehan yang awalnya menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya mengangkat kepalanya dan menatap Nadia bingung.

"Kenalin, saya Nadia. Ingat gak? Tunangannya Aldo." Jelas Nadia. Rehan menganggukkan kepalanya singkat. Dia membalas uluran tangan Nadia dengan bibir tersenyum.

"Ada titipan surat dari Atala buat kamu. Kemarin malam dia mau ngomong langsung ke kamu, cuma gak enak aja, banyak orang soalnya." Ucap Nadia sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Rehan, titipan dari Atala.

Rehan menerima surat yang Nadia berikan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kayaknya kalian masih saling mencintai." Nadia berkata sambil tersenyum kepada Rehan. Sepertinya perempuan itu murah senyum.

"Maksudnya?"

Kalimat ini yang sedari tadi Nadia tunggu. Akhirnya Rehan mau membuka suaranya setelah lama terdiam.

"Masih mau pura-pura tidak perduli padahal hati masih saling mencintai? Kalian sama-sama egois." Desis Nadia, pelan. Rehan mengernyitkan keningnya, tanda dia tidak paham dengan apa yang Nadia ucapkan.

"Kamu dan Tika sebenarnya masih mempunyai rasa cinta. Tapi kalian berdua sama-sama egois. Apa susahnya mengakui kalau perasaan cinta kalian tidak menghilang dan tetap utuh? Kalau kalian masih saling mencintai kenapa tidak saling memperjuangkan?" Nadia menatap Rehan dengan tatapan lembut. Rehan terdiam dengan pandangan lurus kedepan.

"Berhentilah bersikap layaknya anak kecil." Tangan Nadia.

Setelah berkata seperti itu Nadia kembali ke dapur dan melihat dari kejauhan seorang lelaki dewasa yang gengsi untuk mengakui rasa cintanya.

***

Atala dan Aldo sedang memakan keripik kentang sambil menonton sepak bola kebanggaan mereka, sebelum suara anak lelaki kecil membuat keduanya mendesah kesal.

Air Mata PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang